Ceramah Master Cheng Yen: Menumbuhkan Cinta Kasih dan Welas Asih untuk Menjalankan Praktik Bodhisatwa


“Pascasiklon, kami kehilangan segalanya. Yang terpenting ialah air minum. Ada yang menjual air, tetapi sangat mahal. Kami yang kekurangan tak mampu membelinya,” kata Ko Htun, warga Sittwe.

“Mereka terpaksa mengungsi karena konflik, persekusi, diskriminasi, dan kekerasan yang sering kali bercampur dengan motif lain, terlebih dampak perubahan iklim. Kita berada di dunia yang sangat terpolarisasi. Ketegangan internasional terus berkembang menjadi masalah kemanusiaan. Ini benar-benar sangat mengkhawatirkan,” jelas Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi.

“Kondisi kami sangatlah sulit. Saat kami datang ke kamp pengungsi, anak sulung saya baru berusia empat tahun. Kini, dia telah berusia 15 tahun dan masa depannya telah hancur,” tutur Hekmat Al Sifri, pengungsi Suriah.


Betapa banyaknya orang yang menderita di dunia ini. Mereka terbagi atas berbagai jenis. Ada yang menderita karena perubahan iklim, ada pula yang menderita karena ulah manusia. Saat pikiran seseorang tidak selaras dan diliputi kegelapan batin, dia akan membangkitkan pikiran buruk dan berbuat buruk. Jika dia adalah orang yang berkuasa, dengan satu perintah saja, dia bisa membuat orang-orang mengalami penderitaan yang tak terkira bagai di neraka.

Ketidakselarasan pikiran manusia dapat menimbulkan bencana bagi dunia ini. Inilah bencana akibat ulah manusia. Bencana akibat ketidakselarasan unsur angin, air, dan tanah juga merupakan bencana besar. Jadi, kita bisa melihat berbagai jenis bencana yang terjadi di seluruh dunia. Karena itulah, Buddha mengatakan bahwa dunia ini penuh dengan penderitaan.

Di negara mana pun bencana terjadi, insan Tzu Chi selalu berusaha untuk memberikan bantuan. Insan Tzu Chi menjalankan praktik Bodhisatwa dan tidak tega melihat penderitaan makhluk lain. Di mana ada bencana dan penderitaan, para insan Tzu Chi akan berhimpun di sana untuk menjalankan praktik Bodhisatwa guna bersumbangsih bagi orang yang menderita.


“Kita mendirikan bangunan yang sangat kokoh. Melihat Sekolah Menengah 4 Thingangyun beroperasi kembali, saya sangat gembira. Kini, sekolah ini telah diserahterimakan kepada Kementerian Pendidikan,” kata Wang Ming-de, relawan Tzu Chi.

“Saat terjadi bencana, seperti badai, yang menghancurkan rumah warga, orang-orang juga dapat mengungsi ke sini,” ujar Aung Thein, relawan.

“Setiap kali menyisihkan segenggam beras, saya selalu mendoakan semoga semua orang sehat dan bahagia, menumbuhkan cinta kasih dan welas asih, dan mencurahkan lebih banyak cinta kasih,” jelas Daw Khin Yee, warga.

Kita bisa melihat insan Tzu Chi di Myanmar membantu pembangunan kembali pascabencana. Para relawan Tzu Chi pergi ke sana untuk menyalurkan bantuan. Semangat menyisihkan segenggam beras pun telah dipraktikkan belasan tahun di sana. Meski tidak memiliki uang, mereka cukup makan 80 persen kenyang dan menyisihkan 20 persennya untuk menolong sesama. Ini bagaikan menyisihkan segenggam dari lima genggam beras. Empat genggam beras tetap bisa dimakan oleh lima orang. Ini disebut makan 80 persen kenyang.

Warga setempat telah melakukannya selama belasan tahun. Mereka pun telah membentangkan jalan. Sebelumnya, mereka harus menarik satu sama lain saat melewati jalan yang penuh lumpur itu. Kini, mereka telah memperbaiki jalan tersebut. Mereka membuat lempengan beton secara manual, lalu menggunakannya untuk membentangkan jalan yang lebih lapang.


Lewat telekonferensi, saya melihat sebuah kereta lembu. Relawan di sana berkata bahwa mereka hendak menunjukkan hasil panen yang melimpah. Mereka terlebih dahulu membersihkan kereta lembu itu dan menaruh sebuah alas duduk merah di atasnya. Mereka membuatnya terlihat sangat agung. Mereka bahkan menyediakan sebuah bangku kecil agar saya dapat naik ke kereta lembu. Mereka mengajak saya menaiki kereta lembu untuk melihat hasil panen mereka yang berlimpah. Agar saya tidak terjatuh, mereka juga memasang pagar di kedua sisi kereta lembu. Mereka sangat bersungguh hati.

Relawan kita juga mengajak saya ke pedesaan untuk melihat kaum perempuan yang belajar keterampilan di luar musim tanam. Jadi, pada musim tanam, mereka membantu di sawah. Di luar musim tanam, mereka bisa membuat kerajinan. Relawan kita menyediakan mesin jahit untuk mereka agar mereka dapat belajar menjahit. Awalnya, mereka belajar menjahit dengan kain bekas atau kain perca. Jadi, mereka belajar setahap demi setahap. Kini, mereka sudah menguasainya dan dapat menjahit pakaian. Inilah kesungguhan hati.

Relawan kita terus memberikan bimbingan dan warga setempat terus mengalami kemajuan. Para relawan di sana sangat bersungguh hati dan tekun.

Kita juga pernah menjangkau Pusat Meditasi Thabarwa di Myanmar. Banyak orang-orang kurang beruntung yang ditampung di sana. Ada sebagian yang merupakan lansia sebatang kara dan orang yang berketerbatasan fisik. Insan Tzu Chi Malaysia telah berkunjung ke sana dan bersumbangsih dengan cinta kasih. Melihat orang-orang yang jatuh sakit, kekurangan, atau sekarat tinggal di tempat yang kurang layak, kita pun mendirikan rumah rakitan sementara agar mereka dapat tinggal di sana sementara waktu.

Saya berkata kepada para relawan Tzu Chi Malaysia, “Kita hendaknya memperhatikan yang sakit parah. Jadi, meski hidup mereka hanya tersisa sehari, mereka tetap dapat melihat cahaya surga.”


Pada hari pindah ke rumah rakitan sementara, kita bisa melihat salah satu penghuni yang sangat puas. Sehari setelah pindah, beliau pun meninggal dunia. Meski kita mendirikan rumah rakitan sementara, tetapi sesungguhnya, tujuan kita ialah membangun sebuah apartemen bagi mereka. Akan tetapi, jalinan jodoh belum matang. Meski kini hampir tidak ada harapan untuk memberikan bantuan lebih, tetapi setidaknya kita telah menunjukkan cahaya surga kepada salah satu penghuni pada akhir hidupnya. Jalinan jodoh yang menakjubkan sungguh tidak habis untuk diceritakan. Bagaimanapun, kita selalu berusaha semaksimal mungkin.

Kita bisa demikian karena kita selalu bertekad untuk bersumbangsih hingga selamanya. Karena itu, kita harus terus membentangkan jalan ini. Saya berharap setiap orang dapat menggenggam jalinan jodoh untuk menciptakan berkah bagi dunia dan membentangkan jalan bagi jiwa kebijaksanaan sendiri. Ini hendaknya menjadi ikrar kita dari kehidupan ke kehidupan.  

Pikiran manusia yang tidak selaras diliputi kegelapan batin
Bencana kerap terjadi sehingga kedamaian sulit terwujud
Bersumbangsih bagi orang banyak dan membentangkan jalan yang lapang
Menumbuhkan cinta kasih dan welas asih untuk menjalankan praktik Bodhisatwa

Ceramah Master Cheng Yen Tanggal 23 Juni 2023
Sumber: Lentera Kehidupan – DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Felicia
Ditayangkan Tanggal 25 Juni 2023                                
Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -