Ceramah Master Cheng Yen: Menyalakan Pelita dengan Praktik Welas Asih

Kita melihat di Malaysia, tepatnya di daerah Tawau, ada daerah yang disebut sebagai daerah hitam.

“Warga lokal dan warga Tionghoa tidak mau masuk ke daerah itu,” kata Mei Bao-lian relawan Tzu Chi.

“Semua orang tahu dari surat kabar bahwa segala jenis kejahatan ada di daerah itu,” kata Liang Jing-hua relawan Tzu Chi.

“Berhubung daerah itu adalah daerah hitam, di sana banyak perampokan dan peredaran narkoba. Penggunaan narkoba, penjualan narkoba, perkelahian, pertengkaran, penyelundupan rokok, dan sebagainya banyak terjadi di daerah itu,” kata Guan Bao-jian relawan Tzu Chi.

“Tingkat kriminalitas di sini sangat tinggi,” kata Noorhayati Warga setempat.

“Sepanjang jalan, kita melihat lingkungannya sangat buruk. Kabarnya daerah itu adalah daerah yang sangat gelap,” kata Li Yu-ling relawan Tzu Chi.

“Pejabat pemerintah yang berkunjung ke sana harus dikawal polisi bersenjata yang berjumlah empat sampai lima orang,” kata relawan lainnya.

Tempat yang penuh keburukan dan kejahatan justru adalah tempat yang harus dihampiri Bodhisatwa. Buddha mengatakan kepada kita bahwa manusia pada hakikatnya bersifat bajik. Pada lingkungan yang buruk, apa yang menyebabkannya menjadi buruk? Apakah semua orang di sana jahat? Kita harus percaya bahwa manusia pasti memiliki niat baik.

Jika Anda pergi ke sana dengan sebuah niat baik, mungkin tempat itu akan menjadi daerah yang terang. Tempat itu hanya kekurangan orang yang menyalakan pelita. Tempat yang gelap membutuhkan orang yang menyalakan pelita. Jika hanya mendengar kabar angin, lalu langsung menyimpulkan bahwa tempat itu buruk, orang-orang tentu akan terus menganggap tempat itu buruk dan semakin tidak ada yang berani pergi ke sana.


Insan Tzu Chi mengunjungi daerah itu untuk memahami apa yang disebut daerah hitam. Daerah itu disebut daerah hitam karena para warga di sana sebagian besar tak berkewarganegaraan.

“Kami menelusuri jembatan demi jembatan dan menghampiri rumah demi rumah. Saat pertama kali pergi ke sana, kami merasa agak takut. Setelah beberapa kali, ternyata tidak ada apa-apa. Kita memang harus terjun ke tengah masyarakat,” kata Mei Bao-lian relawan Tzu Chi.

“Kebetulan kami bertemu dengan beberapa polisi. Mereka berkata, ‘Kalian berani sekali. Kalian orang Tionghoa masih berani pergi ke tempat seperti itu. Lebih baik pulang saja.’ Kami berkata kepada para polisi itu, ‘Maaf, kami datang mengantarkan cinta kasih. Guru kami berkata bahwa justru tempat yang paling gelap dan dingin adalah tempat yang harus insan Tzu Chi datangi.’ Kami tidak takut. Sungguh, saya berpikir semangat misi kami juga sangat besar,” kata Guan Bao-jian relawan Tzu Chi.

Para warga hidup di lingkungan yang begitu kumuh. Lihatlah, sekeliling rumah mereka berwarna hitam karena mereka mencuci, makan, minum, buang air, serta membuang sampah dan limbah di tempat yang sama. Karena itu, lingkungan mereka hitam, kotor, dan keruh.

Kita juga melihat anak-anak di sana berjongkok sekelompok demi sekelompok. Apa yang mereka lakukan? Berjudi.

Anak-anak itu tidak mendapat pendidikan. Berjudi, bertengkar, dan berkelahi menjadi bagian dari masa kanak-kanak mereka. Begitulah lingkungan mereka. Tidak heran orang luar terus mengatakan bahwa tempat itu begitu penuh kejahatan dan merupakan daerah yang gelap. Daerah itu bahkan dijuluki sebagai daerah hitam.


“Di daerah itu, orang-orang yang memiliki kartu identitas juga merasa anak-anak itu sangat merepotkan. Mereka tidak berkewarganegaraan sehingga tidak dapat bersekolah,” kata Liang Yan-e relawan Tzu Chi.

“Sepandai apa pun mereka, adakah jalan keluar? Kamu mau bersekolah?” kata Mei Bao-lian relawan Tzu Chi.

“Saya suka melihat orang lain bersekolah, saya juga mau bersekolah,” kata Cici anak tanpa kewarganegaraan.

“Mereka menginginkan pendidikan. Jadi, kita harus mulai dari pendidikan. Pertama, kita harus mencari tempat. Kedua, kita harus mencari guru,” kata Luo Zhen-ai relawan Tzu Chi.

“Kita berharap mereka memiliki pengetahuan dasar. Setidaknya, mereka dapat menguasai beberapa pengetahuan seperti bahasa dan matematika agar dapat bertahan hidup. Pengetahuan dasar ini sungguh mereka butuhkan,” kata Kata Liang Yan-e relawan Tzu Chi.

Jadi, insan Tzu Chi masuk membawa misi ini. Mereka menjadi penolong bagi warga daerah itu. Mereka menyalakan pelita di daerah itu. Anak-anak di sana pada mulanya sangat tidak beraturan. Insan Tzu Chi datang ke daerah itu, perlahan-lahan membimbing mereka, mengajari mereka mencuci rambut dan mandi, serta memberikan pakaian seragam kepada mereka agar mereka bisa bersekolah.

Kini mereka sudah berbeda. Anak-anak ini jauh lebih baik dari 2 tahun lalu. Insan Tzu Chi sudah memberi perhatian bagi daerah itu selama dua tahun. Kini anak-anak itu juga sudah lebih besar. Mereka juga bisa mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih, Kakek Guru. Kami sudah tumbuh besar. Kami sudah rajin belajar. Kami menyayangi Kakek Guru,” kata semua anak-anak.

Saya sangat gembira melihatnya. Ini karena ajaran Buddha ada dalam hati manusia. Hati manusia telah menyerap ajaran Buddha sehingga dapat menjalankan praktik welas asih di dunia. Para relawan telah mengubah penderitaan dunia.

Setiap keluarga memiliki kesulitan masing-masing. Setelah bertemu dengan insan Tzu Chi, mereka merasakan kebahagiaan yang manis. Yang mereka harapkan tidak banyak, hanya berharap melihat anak-anak bisa bersekolah dan berbagi tentang prinsip kebenaran di rumah. Hanya itu yang mereka harapkan. Mereka berbahagia. Semua ini terwujud berkat praktik welas asih agung. Inilah ajaran Buddha kepada kita.

 

Kita hendaknya membuka hati kita dan menerima ajaran Buddha. Kita mengerahkan usaha semaksimal mungkin untuk bisa menjangkau daerah tersebut. Selama memiliki cara, kita harus berusaha untuk membantu mereka. Para relawan juga menyadari berkah setelah melihat penderitaan. Mereka sadar bahwa diri mereka berkecukupan dan dapat membantu orang lain. Jadi, mereka sangat bersukacita.

Mereka dapat memberi kebijaksanaan Buddha kepada semua makhluk. Mereka dapat memberikan banyak kebijaksanaan kepada semua makhluk. Mereka menyerap banyak kebijaksanaan Tathagata, yakni kebijaksanaan yang Buddha ajarkan kepada kita, sehingga dapat menjangkau daerah tersebut dan bersumbangsih di tempat yang penuh penderitaan itu. Kita memiliki kekayaan batin berlimpah.

Selain menerima ajaran Buddha yang telah dibabarkan, berlandaskan ajaran itu, kita juga melihat langsung kondisi penderitaan sehingga menambah kebijaksanaan kita. Inilah Jalan Bodhisatwa di dunia, yakni terjun ke tengah masyarakat untuk menolong makhluk yang menderita. Kita memberikan Dharma agar semua makhluk memperoleh kebahagiaan sejati. Jadi, kita harus membimbing semua makhluk agar semua makhluk memperoleh kebahagiaan sejati.

Setelah bersumbangsih, kita akan merasakan kebahagiaan, bukan malah menyesal atau tidak rela. Setelah bersumbangsih, kita merasa sukacita. Inilah kebahagiaan sejati. Kita harus memahami hal ini. Kadang, kita bersumbangsih dengan senang hati, tetapi setelahnya, kita tidak senang atau tidak nyaman.

Dalam bersumbangsih, kita harus penuh sukacita dari awal hingga akhir. Inilah kebahagiaan dalam Dharma yang sesungguhnya.

Mengantarkan kehangatan tanpa rasa takut
Menjadi penyelamat yang menyalakan pelita
Mencabut penderitaan di masyarakat dengan welas asih dan kebijaksanaan
Membina tunas muda demi menyambut hidup baru

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 12 Juni 2020     
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, Stella
Ditayangkan tanggal 14 Juni 2020
Orang yang selalu bersumbangsih akan senantiasa diliputi sukacita. Orang yang selalu bersyukur akan senantiasa dilimpahi berkah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -