Ceramah Master Cheng Yen: Menyatu dengan Dharma dan Tanpa Pamrih
“Saya mengerti bahwa dalam berjudi, setelah beberapa kali menang di awal, orang akan ketagihan dan terus berjudi. Selalu begitu. Dia sering berjudi sejak menjadi sopir truk pasir,” tutur Wu Qiang Xiu-jiao, Istri Wu Fang-ji.
“Saya selalu bangun sekitar pukul tiga pagi untuk pergi mengatur tambang pasir. Di sana banyak truk yang mengantre. Sambil menunggu, kami mulai berjudi. Setiap kali kalah, saya selalu penasaran. Karena itulah, saya sering berjudi,” kata Wu Fang-ji.
“Dia kalah banyak. Dia juga membeli lotre dan kalah banyak juga. Jika tidak, rumah kami mungkin bukan hanya satu. Entah berapa yang bisa terbeli dengan uang itu. Hasil jerih payah menjadi sia-sia. Sungguh,” ungkap istri Wu Fang-ji.
“Setelah bergabung dengan Tzu Chi, semua berbeda. Pemahaman saya juga berbeda. Saya berterima kasih kepada Master yang telah menciptakan dunia Tzu Chi sehingga kami para lansia dapat berkesempatan untuk menciptakan berkah. Setelah bertemu Tzu Chi, saya harus menjalin jodoh lebih dalam lagi agar bisa terus berada di sini dari kehidupan ke kehidupan,” terang Wu Fang-ji yang akhirnya menjadi relawan Tzu Chi.
Saya sering membahas tentang arah. Di manakah arah kita? Setiap orang dari kita harus memiliki sebuah arah. Buddha telah memberi kita arah agar kita memiliki arah yang jelas dan benar.
Jalan yang kita bentangkan pada arah ini, apakah merupakan jalan yang rata ataukah bergelombang bagi kehidupan mendatang? Kita tidak tahu. Kita belum tahu kondisi kehidupan mendatang kita. Namun, kini kita harus tahu bagaimana cara mengarahkan ke mana kita akan terlahir kelak.
Hukum sebab akibat adalah sesuatu yang pasti. Saat ditanya, "Master, ke mana Anda ingin lahir kelak?" saya selalu menjawab dengan yakin, "Saya ingin kembali ke alam manusia dan tidak ingin terjatuh ke neraka." Jadi, saya selalu waspada. Jangan sampai menanam sebab terlahir di neraka, karena jika menanam sebab terlahir di neraka dan benar-benar terlahir di sana, kita sulit untuk membebaskan diri. Ini disebut karma tetap.
Karma kita sudah menetapkan kelahiran kita di sana. Karena itu, kita tak bisa membebaskan diri dan hanya bisa menerima buah karma itu. Sampai buah karma ini habis diterima, barulah kita berkesempatan untuk terbebas dari kondisi itu. Di alam manusia, saya bisa memilih untuk melatih diri dan membimbing semua makhluk di masa depan. Inilah praktik Jalan Bodhisatwa.
Sekaranglah saatnya bagi kita untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Belakangan ini saya terus berinteraksi dengan insan Tzu Chi di seluruh dunia lewat telekonferensi. Saya juga berinteraksi dengan relawan di Mozambik. Mereka mendengar perkataan saya lewat terjemahan. Saya mendengar respons mereka juga lewat terjemahan.
Meski penerjemahan membutuhkan waktu, tetapi hati mereka amat dekat dengan hati saya. Mereka memahami hati saya dan menyatu dengan Dharma. Ini membuat saya gembira.
Kita mengirimkan buku Kata Renungan Jing Si ke sana. Setelah melihat dan menerima buku Kata Renungan Jing Si itu, mereka berkata bahwa stupa permata hadir di rumah mereka. Mereka bagai telah memiliki segalanya. Mereka berada di tempat yang jauh, memiliki warna kulit yang berbeda serta bahasa yang juga berbeda dengan saya, tetapi mereka dekat dengan hati dan ucapan saya.
Kata-kata saya meresap ke dalam hati mereka. Kata-kata yang saya ucapkan telah terukir di hati mereka. Segala yang mereka lakukan, tiada yang bukan praktik Dharma. Mereka mempraktikkan Dharma di Jalan Bodhisatwa.
Kita melihat kondisi mereka begitu sederhana. Mereka bisa duduk di tanah dengan permukaan yang berpasir. Mereka terbiasa duduk di atas tanah. Namun, kita melihat mereka selalu sukacita dan optimistis.
Melihat mereka bersukacita, hati saya pun turut merasakan sukacita dalam Dharma. Saya membagikan Dharma kepada mereka, mereka membalasnya dengan membawa rasa sukacita bagi saya. Saya merasakan sukacita dalam Dharma. Beginilah interaksi kami.
Dharma dalam kehidupan tidaklah begitu dalam. Selama kalian dapat memahami makna dari yang saya sampaikan, Dharma akan dapat meresap ke dalam hati kalian dan kalian dapat sungguh-sungguh mempraktikkannya. Ini sangat sederhana.
“Terima kasih atas bimbingan Master bagi kami sehingga kami berkesempatan untuk bersumbangsih dengan cinta kasih dan membantu orang-orang yang membutuhkan.”
“Terima kasih, Master. Terima kasih, Master. Bimbingan Master membuat saya memahami bahwa meski saya tidak memiliki uang untuk berdonasi, tetapi saya memiliki tenaga dan cinta kasih. Saya tetap bisa membantu orang lain.”
Saya sering berkata bahwa kita harus bersumbangsih tanpa pamrih. Meski memiliki keinginan, adakalanya keinginan kita ini tidak tercapai. Masa lalu pun tidak dapat diubah. Keinginan ini membawa penderitaan. Sebaliknya, kita akan merasa tenang dan damai jika dapat menerima nasib dan kondisi saat ini.
Kehidupan setiap orang dari kita memiliki nilai yang tak terbatas. Namun, nilai ini bergantung pada hati, pemikiran, dan tangan kita. Meski memiliki hati dan pemikiran, jika kita tidak mengulurkan tangan, pemikiran itu akan menjadi pemikiran belaka. Selain itu, meski kita memiliki hati dan pemikiran serta telah melangkah untuk bertindak, tetapi jika kita masih terbelenggu oleh kemelekatan, noda batin, dan ketidaktahuan sendiri, kita tidak akan dapat melangkah maju.
Kita tak dapat mengambil langkah selanjutnya. Karena terintangi oleh noda batin sendiri, kita menghalangi diri sendiri untuk dapat melangkah lebih jauh. Pertama, noda batin membelenggu kita. Kedua, kegelapan batin kita bertambah. Ketiga, kemelekatan muncul. Kemelekatan ini dibarengi dengan berbagai noda dan kegelapan batin lain dan membuat kita tidak dapat melangkah maju dengan tekun dan bersemangat.
Di sini saya ingin mengingatkan bahwa sebagai manusia, kita hendaknya mengingat sebuah ungkapan. "Manusia yang tanpa pamrih berbudi pekerti luhur." Kita tidak memiliki ekspektasi. Kita hanya mencari ketenangan batin. Setelah bersumbangsih, kita merasa tenang. Selain tenang, batin kita juga damai. Kita merasa damai karena bertindak sesuai kebenaran.
Batin kita terasa damai dan ringan. Bukan hanya tenang, kita juga merasa ringan. Ini karena batin kita bebas dari kemelekatan. Karena kita bersumbangsih tanpa memiliki pamrih, secara alami batin kita akan damai tanpa beban.
Inilah yang harus kita capai dalam mempelajari ajaran Buddha. Terlebih lagi, jika rela bersumbangsih tanpa pamrih, meski tidak mengharapkan apa-apa, yang kita dapatkan justru akan lebih banyak.
Menetapkan
arah dan memahami hukum sebab akibat
Membimbing
semua makhluk dan giat melatih diri
Menyatu
dengan Dharma dan memperoleh rasa sukacita
Hati
tenang dan damai bebas dari pamrih
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 20 September 2020