Ceramah Master Cheng Yen: Menyatukan Kekuatan Cinta Kasih
Kemarin, kita mengadakan kamp di Aula Jing Si Hualien. Staf badan misi bersama-sama mengikuti kamp untuk memperkuat pemahaman tentang ajaran Jing Si dan mazhab Tzu Chi. Setiap kepala departemen, baik kepala RS, wakil kepala RS, maupun yang lainnya sangat bersungguh hati dalam membimbing para staf mereka. Mereka kembali untuk mengikuti kamp selama 3 hari berturut-turut. Saya melihat mereka semua berinteraksi dengan penuh kegembiraan.
Kemarin, saya mendengar Bapak Liao dari Academia Sinica berbagi tentang iklim yang ekstrem. berbagi tentang iklim yang ekstrem. Setiap hari dilaporkan banyak bencana terjadi di dunia. Mengapa bisa ada begitu banyak bencana?
Badai Michael di Amerika Serikat sudah menyebabkan ada orang yang meninggal dunia. Di Amerika Serikat, antisipasi bencana telah dilakukan, tetapi tak mampu menahan angin kencang dan hujan deras. Badai menerjang dan menghancurkan segalanya. Kita juga bisa melihat Portugal diterjang badai tropis. Ini merupakan badai terkuat yang melanda Portugal dalam 176 tahun terakhir. Itu menyebabkan kerusakan berat. Badai kali ini telah membawa kerusakan yang sangat parah.
Selain itu, Indonesia tiba-tiba diguncang gempa pada tanggal 28 September. Gempa berkekuatan 7,5 SR telah menyebabkan bencana besar. Kerusakannya sangat serius.
Empat unsur alam tidak selaras. Ketika unsur tanah tidak selaras, akan terjadi gempa yang sangat menakutkan. Unsur angin juga tidak selaras. Kita tak bisa hidup tanpa udara; angin adalah aliran udara. Namun, ketika unsur angin tidak selaras, kekuatannya bisa terlalu besar dan menakutkan. Kita tak bisa hidup tanpa air. Namun, ketika unsur air tidak selaras, bisa menyebabkan tanah longsor yang menyebabkan banyak keluarga tak sempat melarikan diri dalam sekejap.
Di Indonesia, gempa di Sulawesi baru berlalu tak lama. Pulau yang lain juga dilanda hujan deras yang menyebabkan bencana. Kita masih berupaya untuk berkoordinasi dalam hal bantuan lanjutan bagi korban gempa.
Dua hari yang lalu, kita baru mengadakan konferensi video dengan insan Tzu Chi Indonesia. Tak disangka, saat itu Sumatera juga sudah dilanda bencana akibat hujan deras. Kita bisa melihat pohon yang berusia lebih dari seratus tahun tumbang hingga akar-akarnya ikut tercabut. Kerusakan itu disebabkan oleh angin, air, dan tanah longsor. Inilah yang terjadi di Indonesia.
Ada begitu banyak pulau di Indonesia. Ketika bencana datang pada saat yang bersamaan, untuk menyalurkan bantuan saja tentu sudah sangat melelahkan. Pascagempa di Lombok, saat insan Tzu Chi dari Jakarta pergi untuk memberikan bantuan, masih dilaporkan terjadinya gempa susulan. Ketika mereka memberikan bantuan, gempa susulan masih terjadi. Sebelum bantuan selesai disalurkan, terjadi lagi gempa berkekuatan 7,5 SR di Sulawesi.
Pascagempa di Sulawesi, saat kita masih merencanakan penyaluran bantuan lanjutan, terjadi lagi angin kencang dan hujan deras di Sumatera. Sungguh menderita. Masih banyak orang yang menunggu kita untuk datang membantu mereka. Kali ini saya mendengar tiga pulau besar di Indonesia dilanda gempa, angin kencang, dan banjir.
Saya sangat berterima kasih kepada insan Tzu Chi di lebih dari 30 negara yang bergerak untuk menggalang dana bagi korban gempa di Indonesia. Orang-orang turut bersumbangsih. Seorang pastor di Filipina juga membantu Tzu Chi menggalang dana. Seorang biarawati di Ekuador juga mengikuti pelatihan relawan. Selama lebih dari 2 tahun insan Tzu Chi memberi bantuan kepada orang-orang di Ekuador, beliau selalu ikut berpartisipasi dan sangat aktif terjun ke tengah masyarakat.
“Saya memahami bahwa tujuan Tzu Chi memiliki banyak kesamaan dengan ajaran kami, terutama sangat dekat dengan 10 Perintah Allah di agama Katolik. Sangat luar biasa. Saya melakukannya dengan sukarela dan sangat gembira. Saya telah belajar banyak dari semangat dan filosofi Tzu Chi. Sangat luar biasa. Yang paling membuat saya sukacita adalah semangat Tzu Chi dibangun atas fondasi cinta kasih; memberi perhatian kepada orang-orang yang kurang mampu dengan hati yang penuh welas asih, serta menghormati dan melindungi Bumi,” kata Suster Yolanda Gil, Franciscan Missionary Sister of Maria Auxiliadora.
“Insan Tzu Chi tidak membeda-bedakan agama. Mereka mengadakan kegiatan untuk menghimpun cinta kasih di dalam gereja,” imbuh Suster Yolanda Gil.
Kita harus membangkitkan cinta kasih orang-orang dan menyatukan kekuatan ini dalam satu arah. Dengan demikian, kekuatan ini barulah bisa kukuh. Kita harus menyatukan cinta kasih dan kekuatan antarmanusia.
Kita sering membahas "xieli" (gotong royong). Aksara Tionghoa "xie" terdiri atas tiga buah aksara "li" (kekuatan). Jadi, ada empat aksara "kekuatan" dalam istilah "xieli" (gotong royong). Jika empat aksara "kekuatan" ini digabung, terbentuklah frasa "xieli" (gotong royong). Di Tzu Chi, keempat kekuatan itu adalah bersatu hati, harmonis, saling mengasihi, dan gotong royong. Jadi, kita harus menyatukan kekuatan.
Misi kesehatan kita juga sama. Kepala rumah sakit dan para dokter juga membantu penggalangan dana dengan berbagai cara, termasuk membuat kerajinan tangan dan makanan. Saya sangat berterima kasih. Yang terpenting adalah kita harus mengetuk hati setiap orang untuk bersama-sama melakukan perbuatan baik dengan kekuatan cinta kasih.
Saya berharap orang-orang dapat lebih memahami penderitaan di dunia. Kita harus lebih mengembangkan kekuatan cinta kasih untuk menciptakan berkah bagi diri sendiri. Setelah melihat penderitaan, kita harus menyadari berkah dan menciptakan berkah.
Kita harus bersatu hati, harmonis, saling mengasihi, dan gotong royong. Semoga dunia ini aman dan tenteram serta bebas dari bencana. Kita harus tetap waspada meski berada dalam kondisi aman. Saya berharap semua orang lebih bersungguh hati.
Bencana alam telah membawa banyak kerusakan
Bersama-sama melakukan perbuatan baik ketika berada dalam kondisi aman
Bersatu hati tanpa membeda-bedakan agama
Menyatukan kekuatan cinta kasih
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 15 Oktober 2018
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina
Ditayangkan tanggal 17 Oktober 2018
Editor: Metta Wulandari