Ceramah Master Cheng Yen: Mewariskan Keteladanan lewat Misi Budaya Humanis
Ketika kekeringan melanda Chigubo, Mozambik, seorang anak bernama Anderito meminjam keledai milik tetangganya untuk mengambil air dari mata air yang lokasinya lumayan jauh dari rumahnya. “Untuk apa kamu datang jauh-jauh kemari? / “Untuk mengambil air guna memasak tepung jagung.” / “Lelah tidak?” / “Tidak.” / “Sudah biasa?” / “Ya.”
Saudara sekaLian, kita melihat kondisi di Mozambik. Gambar ini diambil oleh kru Da Ai TV. Ini adalah kisah nyata. Anak umur 6 tahun harus bertanggung jawab atas kebutuhan air di rumah. Jika tidak hujan, dia harus berjalan 10 km. Inilah yang kerap harus dia lakukan. Saat ditanya apakah dirinya lelah, dia menerima nasibnya dan menjawab tidak.
“Kamu akhirnya pulang juga. Wah, berat sekali. Letakkan di sini, pelan sedikit. Hidup ini susah sekali. Lihatlah, kaki saya terluka. Kadang masih harus membawa cucu berjalan jauh untuk mengambil air, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan menjaga cucu. Kini mereka sudah besar. Tempat tidur sudah tidak cukup lagi. Kami tidak bisa ke mana-mana. Di sini kami masih bisa berlindung dari hujan. Jika bocor, kami masih bisa berkumpul di tempat yang tidak bocor. Jika tidak ada air, kami bisa pergi mencari air. Saat kaki tidak leluasa, saya bisa meminta anak-anak membantu saya. Jika anak-anak bersekolah, beban saya akan menjadi lebih besar,” kata Nenek Celeste, nenek dari Anderito.
“Selain mengambil air, dia juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan berat kebanyakan saya yang kerjakan, tetapi saya juga harus mengajari mereka. Ada yang bilang saya menindas mereka, tetapi kami adalah warga tidak mampu. Jika ingin hidup, maka harus bisa melakukan ini semua,” jelas Nenek Celeste.
Orang tuanya meninggal karena penyakit AIDS. Karena itu, kakak beradik ini tinggal bersama nenek mereka. Mereka tinggal di lingkungan seperti itu, beban kehidupan mereka begitu berat.
Tzu Chi di Mozambik juga membagikan beras dari Dewan Pertanian Taiwan. Kita membagikannya kepada yang paling membutuhkan. Kita melihat yang dibagikan bukan hanya beras, tetapi juga selimut dan kelambu. Selain membagikan kelambu, relawan harus mengerahkan pikiran untuk membuat drama yang menunjukkan kegunaan kelambu. Dikisahkan ada anak yang terserang demam. Obat herbal yang diberikan ibunya malah membuat penyakitnya semakin parah. Kemudian, dia dibawa ke dokter. Dokter mendiagnosis anak tersebut digigit nyamuk dan terkena malaria.
“Halo, kami adalah relawan Tzu Chi. Setelah pergi ke rumah sakit, apa kata dokter? Dokter bilang sakit apa?” / “Dokter bilang putri saya terkena malaria.” / “Malaria?”
Tzu Chi bekerja sama dengan pemerintah untuk membagikan kelambu guna melindungi diri dari nyamuk. Ini bisa mengurangi risiko terkena malaria. Salah satu cara mencegah malaria adalah mencegah untuk tidak digigit nyamuk. Jadi, kita membagikan kelambu yang dipesan dari Zimbabwe. Namun, warga tidak mengerti kegunaan kelambu. Mereka menggunakannya seperti selimut. Jadi, relawan mendapati bahwa warga tidak mengerti cara menggunakannya. Karena itu, di hari pembagian, para relawan mementaskan drama untuk membimbing warga agar mengerti cara membuka, mengikat, dan menggantung kelambu di atas tempat tidur agar tidak lagi digigit nyamuk.
“Anderito, kamu harus menggunakan kelambu. Selimut ini bisa kamu gunakan saat merasa kedinginan. Beras ini untuk dimakan agar kamu memiliki tenaga untuk pergi ke sekolah, oke?” kata relawan.
Bayangkan, daerah itu begitu penuh penderitaan. Kondisi sebagian besar warga sama dengan keluarga Anderito. Rumah mereka juga sudah lapuk. Bagaimana mungkin tidak ada nyamuk? Bukankah mereka menderita? Mereka tidak mengerti cara mencegah gigitan nyamuk dengan kelambu. Jadi, kita membagikan kelambu kepada mereka. Lihatlah kakak beradik itu. Mereka memanggul dan membawa pulang beras. Nenek mereka yang berusia 70 atau 80 tahun, baru pertama kalinya makan nasi.
“Nasinya seharusnya sudah matang. Biar saya periksa apakah sudah tanak. Enak sekali, sungguh enak. Ya Tuhan, saya beruntung sekali,” ucap Nenek Celeste.
Saudara sekalian, lihatlah, dari segi tempat, tempat itu berbeda dari tempat kita berada, tetapi ada di masa yang sama. Mereka hidup di zaman yang sama dengan kita. Kita dapat melihat kondisi mereka. Bayangkan, bukankah kita sangat beruntung? Di dalam hidup kita, hendaknya kita bisa berhemat dan menghimpun kekuatan untuk membantu agar orang-orang ini dapat makan dan memperbaiki kondisi kehidupan mereka.
Kemarin, di dalam rapat empat misi, masing-masing misi mulai dari misi amal memberikan laporan, salah satunya adalah bencana alam. Kita melihat kondisi bencana alam. Kita juga melihat cinta kasih antarmanusia. Banyak orang yang bersumbangsih.
Berikutnya, misi kesehatan melaporkan tentang tim medis yang dengan tulus berusaha meringankan penderitaan pasien. Kita juga melihat laporan dari misi pendidikan. Baik jenjang SD, sekolah menengah, maupun sekolah tinggi, semuanya menunjukkan hasil yang gemilang. Misi budaya humanis juga sudah berusia 20 tahun.
Misi budaya humanis terus berusaha menyebarkan nilai-nilai kebenaran, kebajikan dan keindahan. Ini bukanlah slogan semata, melainkan sesuatu yang nyata. Kita melihat program acara opera Taiwan yang mengangkat biografi para guru Buddhis. Ini adalah wujud usaha demi ajaran Buddha. Kita berharap untuk menyebarkan kisah dan sumbangsih para tokoh Buddhis dalam menyebarkan Dharma. Cerita-cerita itu diangkat dari kisah nyata dan telah melewati pembuktian yang serius. Selain itu, semangat Tzu Chi dan ajaran Jing Si juga terkandung di dalamnya. Program ini tidak dibuat untuk mempromosikan ajaran Jing Si, tetapi dari sana kita dapat melihat bahwa arah kita tidak menyimpang dan sesuai dengan jalan kebenaran. Kita sangat bersyukur.
Kisah-kisah keteladanan masa lalu ini kita sajikan dan teruskan di masa kini lewat suara, tulisan, dan gambar. Semoga dengan ini kita dapat berkontribusi untuk menyebarkan semangat ajaran Buddha. Mendengar semua ini, saya sangat terhibur.
Saya
juga ingin menyemangati mereka untuk lebih bekerja keras dalam mencatat sejarah bagi dunia ini dan menjadi saksi bagi zaman sekarang. Ini berkenaan dengan misi besar menulis kitab bagi Tzu Chi. Kita ingin merekam jejak Bodhisatwa dunia agar dapat diwariskan. Inilah yang saya
harapkan dari misi budaya humanis. Kita semua harus lebih bersungguh hati.
Menyaksikan penderitaan dan kembali menciptakan berkah
Jejak Bodhisattva meninggalkan keindahan dan kebajikan
Membuktikan sejarah dan melangkah tanpa menyimpang
Mewariskan Dharma bagi masa kini
Ceramah Master Cheng Yen tanggal 5 Januari 2018
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 7 Januari 2018
Editor: Metta Wulandari