Ceramah Master Cheng Yen: Senantiasa Membawa Manfaat Bagi Sesama dengan Welas Asih

Setiap insan Tzu Chi selalu bersumbangsih di tengah masyarakat bagi orang yang menderita. Ini merupakan arah tujuan kita. Tzu Chi dilandasi oleh ajaran Buddha dan Buddha mengajari kita untuk menapaki Jalan Bodhisatwa.

Bodhisatwa bukanlah patung di kuil yang menanti persembahan, melainkan suatu semangat dan filosofi yang diajarkan oleh Buddha. Terjun ke tengah masyarakat untuk bersumbangsih, ini disebut praktik Bodhisatwa. Buddha datang ke dunia ini untuk mengajari orang-orang bahwa setiap orang memiliki kebajikan dan tidak ada perbedaan antara keluarga ataupun teman kita karena semua adalah manusia. Kita berinteraksi dengan sesama dengan cinta kasih kemanusiaan.

Ini kisah tentang insan Tzu Chi Taitung. Para relawan dalam film ini sudah lanjut usia. Ini bukan untuk merekam relawan kita, melainkan untuk merekam proses kita menjalankan misi. Kehidupan adalah suatu proses. Dalam kehidupana, apa yang telah kita lakukan pada waktu tertentu?

Sebagai insan Tzu Chi, kita hendaknya sering mengenangnya. Kita harus terus melakukan hal yang benar dan mengerahkan kekuatan untuk melakukan hal yang perlu dilakukan. Film Walking Dharma menampilkan kehidupan sehari-hari insan Tzu Chi dan apa yang biasanya mereka lakukan. Dari usia paruh baya hingga usia lanjut, relawan kita mempertahankan tekad selama puluhan tahun.


Melihat Mei-zhi dan Hui-xiong, saya sungguh merasa tidak tega. Dari usia paruh baya dan masih sehat, pasangan suami istri ini sudah mendedikasikan diri. Mereka juga berpartisipasi dalam penyaluran bantuan pascagempa 21 September 1999.

Pada bagian akhir film, kita bisa melihat bahwa satu dari mereka telah tiada dan yang lainnya pun sudah lanjut usia. Saat berkunjung ke Taitung sebelumnya, saya masih melihatnya. Dia tetap bersumbangsih seperti biasa bersama para relawan lain. Demikianlah gambaran kehidupan insan Tzu Chi. Meski hidup manusia tidak kekal, insan Tzu Chi tetap bersumbangsih seperti biasanya.

Saya juga mendengar para relawan kita mengenang sejarah Tzu Chi dan berbagi tentang proses penyaluran bantuan pascagempa 21 September 1999. Mereka menjadi saksi sejarah bagi zaman sekarang dan mengukir sejarah bagi umat manusia.

Relawan Tzu Chi Taiwan, Luo Ming-xian menceritakan pengalamannya:
“Pada malam tanggal 20 September 1999, saya mengikuti rapat di Korea Utara untuk membahas rencana pembagian beras. Rapat berakhir pada pukul dua dini hari. Setelah kembali ke penginapan, kami tidak langsung tidur, melainkan bersiap-siap untuk pulang. Saya dan Kakak Chen Jin-fa menginap di kamar yang sama. Setelah berbaring, kami tidak bisa tidur. Entah apa penyebabnya, kami berdua tidak bisa tidur.

Keesokan paginya, kami pergi ke bandara dan naik pesawat pukul 9 yang transit di Beijing. Seorang relawan di Beijing telah menunggu kita. Begitu melihat kami, dia berkata, ‘Kakak Luo, Taiwan diguncang gempa besar’. Perasaan saya saat itu sulit dideskripsikan dengan kata-kata. Saya terus berpikir, setelah bergabung dengan Tzu Chi dan berikrar di hadapan Master Cheng Yen, saya sering menjangkau lokasi bencana di luar Taiwan. Saya selalu berpikir bahwa bencana terjadi pada orang lain, bukan pada kita. Namun, kali ini bencana terjadi di kampung halaman kita.

 Saya pulang ke rumah dan melihat seorang  petugas keamanan yang menyalakan lilin di kantornya. Saya yang membawa koper saat itu sungguh sangat lelah. Saya memintanya untuk memberi saya sebatang lilin. Saya naik tangga dan berhenti dua atau tiga kali baru tiba di rumah saya di lantai 16. Setelah membuka pintu rumah, saya melihat banyak barang yang jatuh. Saya segera mengenakan seragam biru putih dan langsung berkendara ke Kantor Tzu Chi.


Di kantor kita, semua lampu menyala dan para relawan sudah siap di posisi masing-masing. Setelah kembali, saya sepenuh hati mendedikasikan diri dalam penyaluran bantuan. Saya mendampingi Master Cheng Yen ke lokasi bencana untuk memberi penghiburan dan melakukan survei. Saya sangat tersentuh oleh Master yang bisa memandang jauh. Saat bencana terjadi, Master menunjukkan arah yang jelas bagi penyaluran bantuan kita, yakni menenteramkan batin, fisik, dan kehidupan korban bencana. Jadi, slogan kita saat itu ialah, ‘Bersumbangsih baik cerah maupun hujan; mengambil cuti untuk menjalankan Tzu Chi, tetapi tidak cuti dari menjalankan Tzu Chi’.

Saat terjadi bencana besar, kita tahu bahwa setiap orang harus mengerahkan kekuatan masing-masing agar pembangunan kita bisa dirampungkan dalam waktu yang singkat sehingga kita bisa menyediakan tempat tinggal bagi para korban bencana dan mereka bisa sepenuh hati membangun kembali masa depan mereka tanpa mengkhawatirkan apa pun.

Bencana ini mengubah pola pikir saya. Sebelumnya, saya menyalurkan bantuan bencana di berbagai negara dan melihat penderitaan orang lain. Saya tidak pernah membayangkan bahwa penderitaan ini akan mendatangi kita. Namun, pascagempa 21 September 1999, pola pikir saya banyak berubah. Saya bisa lebih berempati pada penderitaan orang lain dan sepenuh hati memberikan bantuan. Master selalu melihat semuanya dengan jelas, sedangkan kita hanya melihat satu titik. Kita mungkin merasa bahwa menuntaskan tugas kita sudah cukup. Sesungguhnya, itu tidak cukup. Master membuka ladang pelatihan Bodhisatwa agar kita dapat melatih batin kita. Dengan menjalankan misi Tzu Chi, kita dapat belajar, memahami, dan menyesuaikan langkah kehidupan kita. Kita bisa merasakan bahwa jiwa kebijaksanaan kita terus bertumbuh.

Saya bersyukur kepada seluruh insan Tzu Chi yang bekerja sama dengan harmonis dalam menjalankan misi Tzu Chi. Semua orang mendedikasikan diri tanpa pamrih untuk menciptakan berkah bagi sesama. Melakukan hal yang bermanfaat bagi sesama dan ingin melihat orang lain hidup tenteram, inilah semangat insan Tzu Chi.”

Demikianlah pengalaman relawan kita. Saat terjadi bencana alam atau bencana akibat ulah manusia, di mana pun ada orang yang menderita, insan Tzu Chi akan menginjakkan kaki dan bersumbangsih di sana. Jadi, jejak langkah Bodhisatwa dunia pantas kita kenang. Mereka telah menjadi saksi sejarah bagi zaman sekarang dan mengukir sejarah bagi umat manusia.

Relawan Hong juga bergabung dengan Tzu Chi pascagempa 21 September 1999. Kalian semua yang berada di sini bersungguh hati mendedikasikan diri dan memikul tanggung jawab. Rasa syukur saya tidak habis untuk diucapkan. Saya berharap relawan di setiap wilayah dapat mengenang pengalaman mereka dan berbagi dengan orang lain.


Usia kehidupan kita terus berkurang seiring berlalunya detik demi detik. Hal-hal yang kita lakukan menentukan nilai kehidupan kita. Seiring berlalunya detik demi detik, rupa kita akan berubah. Satu-satunya yang tidak berubah ialah ingatan. Namun, kita perlu mencocokkan ingatan kita dengan orang lain. Adakalanya, akibat satu kata yang salah, sejarah yang tercatat juga menjadi tidak benar. Kini satu-satunya harapan saya ialah kalian dapat menjadi saksi sejarah bagi zaman sekarang.

Singkat kata, jangan melupakan sejarah Tzu Chi, orang yang bersumbangsih saat itu, dan niat yang dibangkitkan saat itu. Saya berharap setiap orang dapat mengenang pengalaman masing-masing dan memastikan semuanya akurat agar kelak orang-orang tidak perlu menelusurinya lagi.

Kini kita harus mengukir sejarah dan menjadi saksi sejarah bagi apa yang pernah terjadi di Taiwan. Mengerti? (Mengerti)

Komite dan Tzu Cheng sekalian, saya bukan hanya mengulas hal ini saat berada di sini. Saya juga mengingatkan kalian untuk membangkitkan semangat membawa manfaat bagi sesama dengan welas asih. Mari kita lebih bersungguh hati.

Berpegang pada prinsip kebenaran dengan tekad yang teguh
Melatih diri di tengah penderitaan untuk mencapai pencerahan
Mengukir sejarah Tzu Chi di dalam hati
Senantiasa membawa manfaat bagi sesama dengan welas asih

Ceramah Master Cheng Yen tanggal 20 Juli 2019
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia,
Penerjemah: Hendry, Karlena, Li Lie, Marlina
Ditayangkan tanggal 22 Juli 2019

Jangan takut terlambat, yang seharusnya ditakuti adalah hanya diam di tempat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -