Ceramah Master Cheng Yen: Tekun Menapaki Jalan Bodhi
Kemarin, sekelompok insan Tzu Chi dari daerah sekitar Pelabuhan Taichung, yakni Dajia, Shalu, Wuqi, dan Qingshui, kembali ke Griya Jing Si.
Saat saya berjalan keluar, ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Saya sangat gembira melihat berbagai jenis kerajinan tangan di atas meja. Saya sangat gembira melihatnya. Mereka menggunakan rumput untuk menganyam berbagai jenis kerajinan tangan. Tangan mereka sangat terampil.
Melihat caping itu, saya teringat akan masa kecil saya. Agar tidak terkena sinar matahari, saya mengenakan caping seperti itu saat berangkat ke sekolah. Saya pernah mengenakannya saat masih kecil.
Melihat caping itu, saya teringat bahwa saat saya kecil, setiap keluarga duduk bersama di halaman rumah untuk mengobrol sambil menganyam caping. Inilah yang muncul di dalam benak saya saat melihat caping itu.
Sebuah topi besar diletakkan di meja, sedangkan topi-topi kecil diletakkan di dalam sebuah keranjang. Di antara 20 hingga 30 relawan itu juga terdapat relawan lansia.
Saat saya memegang satu barang, mereka akan berkata, “Master, saya yang membuatnya.”
Saat saya memegang topi, seseorang berkata, “Saya yang membuatnya.”
Saat saya memegang lentera, ada yang berkata, “Saya yang membuatnya.”
Banyak relawan yang berkata demikian.
Setiap relawan mengembangkan potensi mereka untuk membuat kerajinan tangan dengan keterampilan dan kreativitas.
Saya juga melihat lonceng angin. Saya mengambil lonceng angin itu dan menggoyangkannya hingga ia bergemerincing. Saya berkata, “Kalian hebat sekali. Lonceng ini begitu kecil, bagaimana kalian membuatnya?”
Mereka berkata, “Master, saat membabarkan Sutra, bukankah Master mengatakan bahwa lonceng permata mengeluarkan suara indah saat ditiup angin? Karena itu, saya berpikir tentang lonceng permata itu dan bagaimana cara membuat lonceng.”
Mereka menggunakan rumput untuk menganyam lonceng dengan bandul di dalamnya. Saat lonceng digoyang, akan terdengar bunyi gemerincing. Setelah mendengar Dharma, mereka membuat kerajinan tangan.
Melihat sepatu, saya mengambilnya untuk dilihat lebih dekat. Mereka berkata pada saya, “Master selalu mengulas tentang keharmonisan. “Keharmonisan (hexie) ini ibarat sepasang sepatu yang selalu bersama-sama (he xie).”
Mereka juga membuat miniatur topi yang sangat kecil. Saat saya mengambil topi-topi itu, mereka berkata, “Master, bukankah Master sering berkata bahwa kita harus meningkatkan Bodhisatwa dunia agar bertumbuh rimbun (mao)?”
Benar, topi-topi itu juga rimbun (mao). Mereka membuat banyak topi dan menumpuknya menjadi satu sehingga terlihat sangat rimbun (mao).
Insan Tzu Chi di daerah sekitar Pelabuhan Taichung sangat bersungguh hati mendengar Dharma. Setelah mendengar Dharma, mereka menyimpannya di dalam hati. Saya berkata pada mereka, “Janganlah melupakan keterampilan ini. Dahulu, orang-orang menganyam untuk berdagang dan mencari nafkah. Jadi, kalian harus mewariskan budaya ini.”
Saya berkata pada mereka, “Manfaatkanlah Aula Jing Si Qingshui sebagai ladang pelatihan untuk mewariskan budaya tradisional. Bukalah kelas untuk mengajari orang-orang. Di komunitas sendiri, kita hendaknya mempertahankan budaya kita. Wariskanlah keterampilan ini kepada kaum muda. Jangan biarkan budaya kita hilang.” Jadi, bernostalgia itu perlu.
Kita harus menggenggam waktu untuk mempelajarinya. Ini termasuk ilmu pengetahuan. Pengalaman diperoleh dari apa yang dilihat dan kebijaksanaan diperoleh dari pengalaman. Jadi, kita harus lebih banyak melihat dan belajar agar kebijaksanaan kita bertumbuh. Sesungguhnya, mengenang masa lalu juga dapat mencegah demensia.
Kemarin, ada seorang relawan yang menderita penyakit langka. Dokter berkata padanya, “Perlahan-lahan, ingatanmu akan hilang hingga tidak ada yang tersisa.” Setelah didiagnosis oleh dokter, kondisinya terus memburuk. Dia sangat waspada, keluarganya juga terus mengingatkannya.
Para insan Tzu Chi juga tidak membiarkan pikirannya beristirahat. Mereka berkata padanya, “Buatlah kreasi baru. Kamu harus ingat keterampilan menganyammu. Pikirkanlah apa yang ingin kamu anyam.”
Begitu ada waktu luang, dia terus memikirkannya. Dengan memikirkan sesuatu, membicarakan sesuatu, dan bertemu seseorang, pikirannya tidak beristirahat.
Saat sendirian, dia akan membuat kerajinan tangan dan memikirkan kreasi baru. Karena itu, kondisinya membaik. Di antara kerajinan tangan itu, ada banyak yang merupakan kreasinya. Jadi, mari kita menapaki jalan yang kita ketahui menuju keluhuran.
Saat berada di jalan yang benar, kita harus mempertahankannya dan terus maju selangkah demi selangkah. Kita membimbing pikiran kita untuk menapaki jalan itu. Jika kita menambahkan aksara “inci” di bawah aksara “jalan”, ia akan menjadi “membimbing”, yakni membimbing menuju keluhuran. Jadi, mari kita menapaki jalan yang kita ketahui menuju keluhuran. Kita harus menapaki jalan itu seinci demi seinci.
Dalam penggalan ini, saya memberikan penjelasan ekstra. Saya menggunakan kata “jalan” agar kita tidak melupakan jalan pelatihan kita. Sutra menunjukkan jalan dan jalan harus dipraktikkan. Kita harus menapaki jalan itu dan maju selangkah demi selangkah. Janganlah berhenti di tengah jalan. Karena itulah, saya setiap hari berkata bahwa kita harus lebih bersungguh hati.
Mari kita mempelajari ajaran Kendaraan Tunggal dan menapaki Jalan Bodhi yang lapang dan lurus. Jika kita bersungguh-sungguh, sangat mudah untuk menapaki jalan yang lurus ini. Jalan Bodhi sangat lapang dan lurus jika kita bersungguh hati menapakinya dengan hati yang murni. Setelah menentukan arah yang benar, kita harus berfokus melatih diri dan terus melangkah dengan tekun. Inilah hal benar yang harus dilakukan.
Menganyam cinta
kasih dengan bijaksana dan terampil
Mewariskan budaya
tradisional hingga selamanya
Bertekad menuju
keluhuran tanpa menyimpang
Terus melangkah dengan tekun di Jalan Bodhi
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 20 Juli 2020