Memanfaatkan Waktu untuk Bersumbangsih dan Belajar Dharma
Kemarin, di perbatasan Meksiko dan Guatemala terjadi gempa bumi berkekuatan besar yang menyebabkan banyak bangunan rusak. Ada pula korban luka-luka dan meninggal. Singkat kata, segala sesuatu di dunia tidaklah kekal. Akibat ketidakselarasan unsur tanah, terjadilah gempa bumi yang begitu kuat. Sesungguhnya, kerak bumi terus bergerak, hanya saja pergerakannya sangat halus sehingga kita tidak merasakannya. Sama seperti tubuh kita, saat berada dalam kondisi sehat, sesungguhnya tubuh juga terus berproses. Metabolisme terus berlangsung, kita pun terus bernapas. Akan tetapi, saat terjadi ketidakselarasan unsur tanah, air, api, atau angin dalam tubuh, kita akan merasa tidak sehat. Inilah yang disebut sakit. Bukankah alam juga demikian?
Saat berada dalam kondisi tenteram, kita harus selalu bersyukur. Saat kita tidak merasakan pergolakan yang terjadi di tubuh bumi, berarti kita berada dalam kondisi tenteram. Ini sama dengan tubuh manusia. Saat tidak merasa sakit, berarti kita dalam keadaan sehat. Jadi, saat berada dalam kondisi tenteram, kita harus bersyukur. Rasa syukur harus diwujudkan dalam sumbangsih. Kita harus menggenggam waktu saat berada dalam kondisi tenteram, saat masih bisa berbuat, berucap, bersumbangsih, melayani sesama, dan berbuat kebajikan, untuk berkontribusi. Inilah yang disebut menghargai waktu dan menyayangi kehidupan.
Dalam kehidupan ini, kita hendaknya memanfaatkan waktu dan ruang untuk mengembangkan potensi kehidupan kita. Kita harus mengembangkan potensi diri agar tak menyia-nyiakan hidup ini. Para insan Tzu Chi di Malaysia juga sangat tekun dan bersemangat. Melihat banyak warga asli yang hidup dalam kesulitan, insan Tzu Chi memberi perhatian dangan sungguh-sungguh dan membantu biaya pendidikan anak-anak mereka. Banyak hal telah dilakukan oleh insan Tzu Chi. Insan Tzu Chi selalu bersumbangsih di mana pun berada. Itu yang kita lihat di Malaysia.
Begitu pula di Singapura. Singapura sangat mementingkan pendidikan anak. Anak-anak diajarkan untuk menyuguhkan teh. Mereka juga diajarkan untuk meringankan beban orang tua dan membantu pekerjaan di rumah. Mereka dididik selangkah demi selangkah. Mereka juga diajarkan untuk mengembangkan cinta kasih. Demikian pula di Taiwan. Dalam perjalanan kali ini, di setiap tempat saya melihat banyak anak. Para relawan cilik ini sangat menggemaskan.
Kita melihat para Bodhisatwa cilik di Tainan. Mereka membawa serai yang mereka tanam sendiri. Salah seorang anak berkata, “Ini serai yang kami tanam. Untuk Kakek Guru meredakan panas dalam.” Mereka sungguh perhatian. Mereka juga membawa banyak sayuran. Mereka berkata, "Ini kangkung. Ada juga daun ubi di bawah untuk makan siang." Sungguh penuh kehangatan. Mereka juga berkata bahwa demi membantu korban bencana di Filipina, mereka menjual sayuran yang mereka tanam. Mereka juga memperlihatkan kepada saya sebuah kartu besar yang mereka buat sendiri. Pada kartu itu, mereka menulis apa yang ingin mereka katakan kepada saya. Tulisan mereka juga sangat indah.
Kita melihat anak-anak ini sudah berada di Tzu Chi sejak kecil. Mereka sangat menaati aturan dan mampu menyelaraskan batin. Ini semua sungguh membuat orang tersentuh. Masih di Tainan, sekelompok relawan cilik lain berbagi tentang pengalaman mereka mendengar ceramah di pagi hari. Akan tetapi, kebetulan hari itu adalah hari ujian akhir. Karena itu, sebagian anak tidak bisa hadir. Meski tak bisa datang, mereka juga sangat bersungguh hati. Salah seorang dari mereka meminta ibunya menyampaikan isi hatinya kepada saya.
“Saya ingin berbagi dengan Kakek Guru bahwa berkat mengikuti ceramah di pagi hari, tulisan saya menjadi lebih baik. Saya bisa menulis dengan lebih cepat dan rapi. Selain itu, saat Kakek Guru melakukan perjalanan, saya menggunakan buku elektronik untuk mengulang isi ceramah. Saya merasa buku elektronik sangat berguna,” ucap Chen Yan-he.
Anak yang bernama Chen Yan-he ini berbagi tentang manfaat yang didapatnya dari mengikuti ceramah pagi. Dia sungguh belajar banyak dari kegiatan itu. Dia juga sangat tekun dang sungguh-sungguh. Dia layak untuk dipuji.
Selain itu, di Kaohsiung ada seorang Bodhisatwa lansia yang juga sangat tekun. “Saat sibuk bertani, saya tidak punya waktu untuk membaca buku. Saya lalu membawa buku elektronik. Dengan fungsi pembaca yang ada, saya bisa mendengar ajaran Master sambil bekerja,” ucap Lin Zheng-jin. Dia selalu membawa buku elektronik dan mendengar ceramah saya sambil bekerja, bagaikan saya hadir menemaninya bekerja. Karena itu, dia sangat gembira.
Selain itu, saat berada di Taoyuan, saya bertemu seseorang yang sangat saya hormati. Dia sudah berusia 67 tahun. Selama delapan tahun ini, ternyata setiap hari dia selalu mendengar ceramah Dharma saya dan membuat catatan. Dia juga menyalin Sutra. Setiap perkataan saya pun dia catat. Tulisannya sangat kecil. Meski sangat kecil, tulisannya tetap sangat rapi. Ini membutuhkan kesabaran. Pantas saja saat berbagi di atas panggung, kata-katanya penuh Dharma. Ketekunan, semangat, dan kegigihannya sungguh membuat orang tersentuh.
Banyak orang membawa buku elektronik atau buku catatan mereka untuk diperlihatkan kepada saya. Waktu saya tidak cukup untuk menceritakan semuanya. Saya sungguh melihat anak-anak yang berbakat dan para lansia yang penuh kesabaran. Semua ini sungguh menggugah hati saya.
Buddha berkata bahwa hati, Buddha, dan semua makhluk pada hakikatnya tiada perbedaan. Melihat para relawan tadi, saya sungguh merasa kagum dan tersentuh. Kita harus memanfaatkan waktu dengan baik dan tidak membiarkannya berlalu sia-sia. Tiada hal yang tak dapat dicapai. Jadi, manfaatkanlah waktu untuk melakukan yang harus dilakukan.
Banyak menciptakan berkah saat berada dalam kondisi tenteram
Membangkitkan cinta kasih dan senantiasa bersumbangsih
Para relawan baik tua maupun muda sangat tekun mendalami Dharma
Giat menggarap ladang batin dengan Dharma
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Rita
Ditayangkan tanggal 10 Juli 2014.