Membalas Budi Luhur Orang Tua dan Bersumbangsih dengan Sukacita
Upacara kelulusan yang diadakan setahun sekali merupakan sebuah momen penting dalam hidup bagi setiap murid. Tak peduli berapa banyak upacara kelulusan yang pernah dialami, mulai dari TK, SD, SMP, dan seterusnya, semuanya merupakan momen penting dalam kehidupan mereka. Upacara kelulusan di perguruan tinggi, merupakan momen yang lebih langka lagi. Kita harus menyadari bahwa orang yang dapat memakai topi dan toga wisuda adalah orang yang memiliki berkah.
Pada zaman dahulu, jika dalam sebuah keluarga ada dua atau tiga orang anak yang harus bersekolah, maka orang tua akan sangat terbebani. Apakah semua anak bisa bersekolah? Beberapa orang anak bisa memahami kesulitan orang tua mereka dan memutuskan untuk membantu orang tua dengan bekerja menjadi pekerja anak, agar adik atau kakak mereka memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Inilah yang terjadi di zaman dahulu. Bersekolah merupakan hal yang tidak mudah, hingga ke perguruan tinggi. Ini sungguh tidak mudah.
Bagaimana dengan saat ini? Kini, hampir semua orang berkuliah. Ini tampaknya sudah menjadi hal yang biasa. Namun, murid yang mencintai diri sendiri hendaknya tahu untuk bersyukur karena bisa memperoleh pendidikan yang begitu tinggi. Mereka hendaknya berterima kasih kepada orang tua yang telah membesarkan dan memberi mereka kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Mereka juga harus berterima kasih kepada masyarakat karena jika hanya mengandalkan kedua orang tua mereka saja, semua ini tidak akan bisa terwujud. Diperlukan peranan masyarakat sehingga di dalam lingkungan kita bisa ada begitu banyak sekolah yang dapat memberikan pendidikan bagi semua orang.
Oleh karena itu, semua orang yang berhasil menyelesaikan pendidikannya sungguh berutang budi terhadap orang tuanya dan masyarakat dan harus membalasnya dengan berkontribusi bagi sesama. Tujuan kita bersekolah adalah agar dapat berkontribusi bagi masyarakat. Inilah pandangan yang harus dimiliki dalam menyelesaikan pendidikan kita. Dengan demikian, pendidikan yang kita terima akan menjadi sangat bermakna.
“Saat baru masuk kuliah, semua mahasiswa baru naik ke atas panggung untuk memikul sebuah pikulan. Sebenarnya, beban yang ada di pundak kami itu terasa sangat berat. Hal yang paling berkesan adalah saat Master memasangkan stetoskop di pundak saya. Seketika itu juga, saya merasa bahwa misi kita sangat berat,” ucap Xu Jin-yi, seorang mahasiswa lulusan Universitas Tzu Chi.
Dia mengungkapkan bahwa dia bersedia memikul tanggung jawab berat. Di dalam masyarakat sekarang, tekanan yang ada sungguh besar. Namun, ada orang yang bersedia menegakkan ikrar. Inilah hati Bodhisatwa. Mereka tidak bekerja demi uang, melainkan demi memenuhi panggilan hidup. Mereka membangkitkan tekad dan menegakkan ikrar untuk menggarap ladang pelatihan ini. Tempat kerja merupakan ladang pelatihan, terlebih lagi di dalam dunia medis.
Pada zaman sekarang, bagaimana cara kita membina orang-orang untuk menjadi Bodhisatwa dunia? Bagaimana cara kita mendidik siswa-siswa agar bersedia untuk mendedikasikan diri bagi masyarakat? Orang yang dapat berkontribusi bagi masyarakat adalah orang yang sangat berbakti karena mereka sangat taat terhadap norma dan menggunakan tubuh yang diberi oleh orang tua untuk berdedikasi dan memberi pelayanan bagi umat manusia. Pahala yang diwujudkan dari tubuh ini juga ada berkat orang tua. Jadi, ini merupakan pelimpahan jasa bagi orang tua. Oleh karena itu, sejak kecil, kita harus mendidik anak-anak dengan baik agar menjadi sehat secara fisik dan mental. Jika sejak kecil kita membina dan menjaga agar mereka memiliki pola pandang benar maka saat menyelesaikan pendidikan, mereka akan menjadi orang berbakat bagi masyarakat.
Melihat upacara kelulusan kita, saya merasa sangat tersentuh. Selain upacara kelulusan di Hualien, kita juga melihat upacara kelulusan di Indonesia. Murid-murid Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Indonesia menampilkan drama musikal Sutra Bakti Seorang Anak. Pada saat latihan, mereka terlebih dahulu melihat video untuk memahami makna dan pesan yang terkandung di dalam setiap lirik lagu dan gerakan tubuh secara satu per satu agar mereka dapat mengekspresikannya dengan sangat jelas. Jadi, melalui pementasan drama musikal Sutra Bakti Seorang Anak, mereka mempelajari prinsip kebenaran hidup.
“Awalnya saya tuh anak remaja yang membangkang sama orang tua, nggak nurut sama nasihat orang tua. Kalau disuruh ini, ntar ah Ma masih capek, selalu membantah. Tapi akhir-akhir ini saya mulai berubah, kalau disuruh, iya, langsung lakukan. Toh masih ada umur buat balas budi orang tua, kalau ditunda-tunda nanti kalau sudah waktunya kita dipanggil Tuhan, mau gimana lagi, belum berbakti sudah dipanggil, nanti kita masuk neraka kan,” cerita Ajeng, salah satu murid SMP Cinta Kasih Tzu Chi.
Setelah menyelami ajaran di dalam Sutra ini,dia menyadari ketidakkekalan hidup. Jika sekarang dia tidak patuh kepada orang tua, mungkin kelak dia tidak akan memiliki kesempatan untuk mengubah diri. Oleh karena itu, dia mulai mematuhi apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Dia juga segera melakukannya agar kelak tidak menyesal. Juga ada seorang murid SMA kelas 12 yang bernama Bryan. Dia juga menyelami Sutra dan menyadari jasa orang tua kepada anaknya. Ia berkata, ”Budi orang tua itu luar biasa, sungguh hebat, bahkan disini diceritakan dalam sutra kalau ada orang yang bisa taruh papanya di pundak kanan, mamanya di pundak kiri, keliling seluruh dunia pun masih tidak terbalaskan itu budi orang tua.”
Dia belajar dari Sutra tersebut bahwa meski memikul beban ayah di pundak kiri dan beban ibu di pundak kanan darah mengalir, dan rasa sakit menusuk tulang, balas budi seperti ini pun masih belum cukup untuk membalas budi orang tua. Demikianlah para murid kita. Saat mementaskan adaptasi Sutra, hati mereka menjadi tersucikan hingga dapat menyadari budi orang tua. Intinya, kita harus bersungguh hati. Semoga anak-anak ini dapat memahami bahwa penyesalan terbesar di dunia ini adalah tidak sempat berbakti kepada orang tua. Sungguh, Sutra Bakti Seorang Anak ini memiliki nilai pendidikan yang sangat tinggi.
Kita juga melihat berbagai bencana terjadi di dunia ini. Lihatlah hujan deras yang mengakibatkan banjir di Afganistan. Banjir parah juga melanda berbagai tempat di wilayah selatan Tiongkok. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bencana akibat ulah manusia, yakni konflik antarsesama yang menyebabkan manusia saling melukai dan membunuh. Melihat berita seperti ini, sungguh membuat orang merasa cemas. Inilah kehidupan manusia.
Demikianlah dunia tempat kita hidup sekarang. Bukankah kita harus menghargai berkah dan menghargai kehidupan kita sekarang? Untuk menjaga apa yang kita miliki sekarang, kita harus menjaga pikiran kita dengan baik. Jika pikiran semua orang damai, maka barulah masyarakat bisa harmonis. Ini merupakan berkah bagi semua orang. Jika ingin memiliki berkah, kita harus berusaha untuk menciptakan berkah. Jika hanya selalu meminta ketenaran, kekayaan, dan kedudukan, kita hanya akan menderita karena tidak akan pernah merasa puas. Jika hanya meminta berkah dan kenikmatan duniawi, maka kehidupan kita akan penuh dengan penderitaan. Jika bisa bersumbangsih bagi sesama setiap hari, maka kita akan merasakan sukacita, kedamaian, dan ketenangan.
Menyadari bahwa budi luhur orang tua setinggi gunung
Membalas budi dengan berkontribusi bagi masyarakat
Mengubah diri hingga selaras dengan kebenaran
Bersumbagsih dengan sukacita dan menumbuhkan hati Bodhisatwa
Link video (teks Mandarin dan Inggris): Ceramah Master Cheng Yen tanggal 8 Juni 2014
Sumber: DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Rita, Yuni