Membangkitkan Cinta Kasih untuk Bersumbangsih bagi Sesama

Kita melihat bahwa di Lesotho, Relawan Mei-juan terus berusaha untuk menaburkan benih Tzu Chi. Pada tanggal 18 Mei, insan Tzu Chi di Lesotho berbagi tentang Tzu Chi kepada warga dari 10 desa. Ini sungguh tidak mudah. Bagaimana cara mereka menyebarkan informasi ini ke sepuluh desa? Dari mulut ke mulut. Saat warga di salah satu desa mendengar tentang kegiatan ini, mereka akan menyebarkannya kepada warga desa lainnya, begitulah seterusnya. Dengan demikian, pada hari diadakannya kegiatan itu, para warga dari berbagai desa datang dan berkumpul bersama. Inilah kekuatan cinta kasih.

Dalam waktu 2 hari, diadakan 3 sesi pertemuan. Untuk menuju ke lokasi acara, mobil mereka harus melalui jalan yang tidak rata dengan kecuraman satu meter. Bagaimana cara mereka melewatinya? Mei-juan berkata bahwa dia sungguh merasa takut. Namun, salah seorang relawan yang ada di mobil itu mulai melantunkan nama Buddha sehingga hati Mei-juan menjadi tenang.

Mereka bersumbangsih dengan penuh sukacita dan bersedia melalui jalan yang tidak rata seperti ini. Untuk apa mereka melakukan ini semua? Sungguh, seperti yang telah saya ulas dalam ceramah pagi, di tengah dunia yang penuh Lima Kekeruhan ini, mereka ingin menyebarkan benih cinta kasih. Mereka tidak gentar menghadapi kesulitan. Mereka berharap agar semua orang dapat menyerap Dharma ke dalam hati dan memahami prinsip kebenaran sehingga dapat mengatasi nafsu keinginan, noda batin, dan berbagai kegelapan batin. Di samping itu, mereka juga berusaha untuk menumbuhkan cinta kasih warga setempat agar dapat saling menolong. Contohnya, tetangga menolong tetangga, warga desa satu menolong warga desa lainnya, sesama manusia saling menolong.


Kita juga telah melihat Bodhisattva dari Afrika Selatan berkontribusi di Swaziland. Lihatlah, meski berada di Swaziland, mereka masih tetap mendengar ceramah saya dan mematuhi tata krama Tzu Chi setiap hari. Meski warna kulit, suku, gaya hidup, dan lingkungan mereka jauh berbeda dengan kita yang berada di Taiwan, tetapi mereka lebih tekun dan bersemangat daripada kita. Mereka mampu mengatasi berbagai kesulitan yang ada.

Lihatlah Ci Bi. Dia pernah mengalami kecelakaan mobil sebanyak dua kali dan sudah berusia 71 tahun. Ada relawan yang tidak sampai hati melihatnya mendaki bukit dan memintanya beristirahat. Namun, dia tidak bersedia beristirahat dan terus berjalan sambil bernyanyi dengan gembira. Dia berkata, “Saya ingin melintasi gunung dan hutan gelap yang ada di depan mata karena saya ingin selalu mengikuti Master berjalan di Jalan Tzu Chi.” Inilah lagu yang dinyanyikannya. Dia bisa berjalan sambil bernyanyi dengan gembira dan bersemangat. Usianya sudah lebih dari 70 tahun. Kakinya cedera akibat kecelakaan mobil, tetapi dia masih bersikeras untuk setapak demi setapak melintasi gunung dan hutan gelap. Lihatlah, dia begitu bijaksana dan gigih. Dia sungguh mengagumkan.


Kini, mereka akan mengadakan pelatihan relawan di Swaziland. Insan Tzu Chi dari Afrika Selatan akan mengajak relawan setempat pergi ke rumah orang yang membutuhkan, sakit, memiliki keterbatasan fisik, dll untuk berinteraksi dengan mereka dan menolong mereka. Insan Tzu Chi dari Afrika Selatan memberi contoh bagaimana cara melakukannya. Untuk berbagi mengenai Tzu Chi dengan penduduk setempat, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Mereka menggunakan berbagai cara untuk melakukannya. Mereka mendirikan sebuah tenda sederhana untuk berteduh dari sinar matahari agar dapat berbagi tentang mazhab Tzu Chi dan ajaran Jing Si dengan warga setempat. Lihatlah, mereka sangat giat menyebarkan Dharma.

Meski Jalan Bodhisattva di dunia ini tidak rata dan sulit dilalui, tetapi mereka dapat mengatasi kesulitan dan bisa melakukan praktik nyata. Bagimana mungkin saya tidak mengasihi mereka? Mereka adalah murid saya yang baik. Setiap kali membahas tentang mereka, hati saya bagai disinari oleh seberkas cahaya yang terasa seperti mentari pagi. Apakah kalian melihat cahaya mentari pagi di belakang saya? Benar. Bagi saya, insan Tzu Chi di Afrika Selatan sungguh bersinar bagai mentari pagi dan berkilau bagai mutiara hitam. Mereka dengan tulus hati menerima dan menyerap Dharma ke dalam hati. Mereka terlebih dahulu menyucikan diri sendiri. Dharma sudah secara alami ada di dalam setiap sel tubuh mereka.


Dengan adanya Dharma di tubuh, hati, dan pikiran, maka semua yang mereka lakukan akan sejalan dengan Dharma. Karena itu, saya mengatakan bahwa mereka tidak hidup dalam keduniawian, tetapi hidup dengan kebijaksanaan. Mereka mengembangkan jiwa kebijaksanaan dan menjauhkan diri dari noda batin sehingga mereka dapat bersumbangsih dengan penuh cinta kasih di berbagai tempat. Ini sungguh membuat orang tersentuh. Di tempat yang dipenuhi oleh penderitaan, diperlukan Bodhisattva seperti ini. Bodhisattva dunia datang ke dunia untuk bersumbangsih bagi sesama. Lihatlah, begitu banyak orang yang bergandengan tangan. Ribuan, bahkan puluhan ribu orang bergandengan tangan. Dengan bergandengan tangan, barulah jalan ini bisa lebih mudah dilalui.

Mereka menghormati kehidupan sehingga bisa menyatukan hati untuk membentangkan jalan di dunia dengan cinta kasih universal. Meski jalan mereka tidak rata dan sulit dilalui, tetapi asalkan ada niat, maka tak ada yang sulit dilakukan. Mereka sungguh adalah murid yang paling saya kasihi. Mereka begitu murni, bersungguh hati, dan selalu menyerap Dharma ke dalam hati. Mereka membentangkan jalan dengan penuh cinta kasih dan tetap teguh meski jalan itu tidak rata. Ini sungguh membuat orang tersentuh.

Dunia ini penuh dengan ketidakkekalan. Kita sungguh harus meningkatkan kewaspadaan. Terjadi banjir di wilayah tengah dan barat Sri Lanka, termasuk Kolombo. Insan Tzu Chi di Hambantota, Sri Lanka yang tidak terkena bencana bergerak melakukan survei bencana. Insan Tzu Chi Malaysia tentunya juga menaruh perhatian terhadap bencana ini. Di dunia ini, antartetangga harus saling membantu, begitu pula dengan warga antardesa. Kita harus saling menolong.


Kita juga melihat benih cinta kasih juga semakin tersebar di Tiongkok. Kini, di Kabupaten Heping, Provinsi Guangdong, insan Tzu Chi mulai membagikan beasiswa kepada murid sekolah menengah yang membutuhkan. Saat mengunjungi rumah beberapa orang murid, insan Tzu Chi menemukan bahwa anak-anak ini sungguh merupakan benih yang memiliki harapan di masa depan. Meski menerima beasiswa dari Tzu Chi, tetapi mereka juga bersedia menyisihkan beberapa sen setiap hari untuk dimasukkan ke dalam celengan bambu demi menolong sesama. Setiap tetes cinta kasih mereka merupakan benih-benih kebajikan. Dengan melakukan kebajikan, secara alami mereka akan mendapatkan berkah. Demikianlah kita menginspirasi mereka untuk menciptakan berkah, menumbuhkan kekayaan batin, dan mendorong mereka untuk menghimpun benih kebajikan dengan bersumbangsih bagi sesama.


Insan Tzu Chi memperkenalkan Tzu Chi kepada warga desa di Lesotho

Terus melangkah meski jalan sulit dilalui

Para murid penerima beasiswa Tzu Chi membantu sesama melalui celengan bambu

Menumbuhkan benih-benih kebajikan di dunia

Link video (teks Mandarin dan Inggris): Ceramah Master Cheng Yen tanggal 6 Juni 2014
Sumber: DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Rita, Yuni
Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -