Menanggulangi Bencana dengan Cinta Kasih

Kita bisa melihat di lobi utama Stasiun Kereta Api Taipei, kita mengadakan pameran foto penyaluran bantuan bencana Tzu Chi di Filipina pascatopan Super Haiyan yang membawa kerusakan parah bagi Provinsi Leyte. Melalui foto-foto itu, kita bisa melihat ada banyak keluarga yang terpecah belah dalam sesaat. Topan Super Haiyan ini merupakan topan terkuat di daratan dalam sejarah. Topan ini menerjang Provinsi Leyte dan memorak-porandakan dua kota besar, yakni Kota Tacloban dan Ormoc. Dalam sekejap, kedua kota itu hancur diterjang topan. Beruntung, insan Tzu Chi di Filipina dengan sangat tanggap segera terjun ke lokasi bencana.

Insan Tzu Chi melihat kondisi di lokasi bencana bagai neraka dunia. Di sana dipenuhi dengan tangisan kesedihan. Selain itu, ada sebagian korban bencana yang tidak bisa menangis dan hanya duduk termangu dengan tatapan kosong. Pemandangan yang terlihat di sana sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata. Saat mendengar laporan relawan melalui telepon dan melihat kondisi setempat lewat telekonferensi, saya merasa sangat tak sampai hati. Karena itu, kita segera menggalakkan program bantuan lewat pemberian upah agar warga di sana tidak hanya duduk termangu dan kehilangan semangat hidup. Kita berharap mereka bisa segera bangkit kembali dan menggunakan kekuatan fisik dan batin mereka untuk membangun kembali kota mereka. Karena itu, insan Tzu Chi terus menghibur dan menyemangati mereka, memberikan bantuan lewat pemberian upah agar mereka mempunyai uang untuk membeli makanan.

Dengan menggunakan cinta kasih yang tulus, insan Tzu Chi terus mendampingi dan menghibur mereka agar mereka perlahan-lahan kembali memiliki harapan dan kekuatan untuk bertahan hidup. Penyaluran bantuan kita berlangsung selama lebih dari 40 hari. Insan Tzu Chi di Filipina membangun ikrar saat terjun ke lokasi bencana. Sebelum memulihkan lokasi bencana dan sebelum menenangkan hati para korban bencana, maka mereka tidak akan kembali ke Manila. Mereka sungguh bagaikan Bodhisatwa Ksitigarbha yang membangun ikrar agung. Selama lebih dari 40 hari, mereka sungguh tidak pulang ke rumah dan terus membantu di lokasi bencana. Setelah lokasi bencana dibersihkan, setelah orang-orang kembali ke kehidupan normal, suasana kota kembali ramai, usaha kaki lima mulai bermunculan, dan transaksi jual beli mulai berjalan, insan Tzu Chi baru perlahan-lahan meninggalkan lokasi bencana.

Apakah kita pergi begitu saja? Tidak. Insan Tzu Chi tetap bergiliran kembali ke lokasi bencana. Tidak hanya insan Tzu Chi di Filipina, insan Tzu Chi dari Taiwan juga membantu merakit ruang kelas rakitan. Setelah semua materi bangunan habis digunakan, mereka kembali ke Taiwan dan tidak beristirahat. Insan Tzu Chi di Taiwan, baik di wilayah utara maupun tengah, tetap bekerja untuk menyiapkan lebih dari 400 unit ruang kelas rakitan untuk dikirimkan ke Filipina. Kita masih akan merakit rumah rakitan untuk lebih dari 2.700 keluarga. Hingga kini, insan Tzu Chi di Taiwan masih tengah menyiapkannya untuk dikirimkan ke Filipina. Inilah bantuan yang diberikan oleh insan Tzu Chi di Taiwan. Insan Tzu Chi yang bolak-balik ke Provinsi Leyte untuk memberikan bantuan pascabencana itu berasal dari belasan negara. Jadi, hingga kini, insan Tzu Chi di Filipina masih terus melanjutkan penyaluran bantuan di sana.

Namun, dunia ini penuh dengan bencana. Karena itu, masih ada banyak hal yang membutuhkan bantuan kita. Contohnya, di Myanmar. Pascabadai Tropis Nargis di tahun 2008, Tzu Chi terjun ke Myanmar untuk menyalurkan bantuan bencana. Setelah itu, kita juga membantu pembangunan tiga gedung sekolah di Yangon. Warga di sana berkata bahwa tiga gedung sekolah yang kita bangun itu merupakan simbol bagi Yangon karena dibangun dengan sangat bagus.

Namun, melihat kondisi anak-anak di pedesaan, saya juga merasa tak sampai hati. Setiap hari, orang tua harus menggendong anaknya dan berjalan lebih dari 10 km untuk ke sekolah. Kadang kala, mereka juga digigit ular atau serangga di tengah jalan. Mereka berharap anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan agar kelak bisa meraih kesuksesan. Jadi, meski hidup serba kekurangan, mereka tetap berupaya menyekolahkan anak mereka. Karena itu, setiap hari, orang tua menggendong anak mereka ke sekolah.

Sekolah dasar mereka adalah sebuah ruangan besar yang sudah sangat bobrok. Anak dari kelas berbeda-beda berdesakan di satu ruangan. Setiap guru mengajar murid dari masing-masing kelas. Murid dari setiap kelas harus fokus mendengar pelajaran yang diberikan oleh guru mereka. Jadi, setelah mengunjungi sekolah-sekolah itu, kita memutuskan untuk membantu pembangunan 12 sekolah di sana dengan total 71 ruang kelas. Sungguh, proyek ini merupakan ujian bagi kita. Truk besar yang mengangkut bahan bangunan tidak bisa masuk karena jalan yang terlalu sempit sehingga harus diganti dengan truk kecil. Namun, truk kecil juga tidak bisa melewati pematang sawah sehingga untuk pemindahan juga dibutuhkan tenaga manusia.

Untuk membangun sekolah-sekolah itu, sungguh bukan hal yang mudah. Wang Shu-tai, perancang proyek sekolah ini mengatakan, “Untuk membangun sebuah sekolah, diperlukan pengangkutan bahan bangunan lebih dari 10 kali. Jika menggunakan truk kecil, maka akan lebih sulit. Namun, dengan cara ini, jalan tidak akan rusak.” Melalui tayangan, kita bisa melihat meski desanya sangat terpencil dan kecil, kita tetap bertekad untuk membangun sekolah di sana dengan baik disertai dengan fasilitas yang lengkap. Liao Jian-sheng, kontraktor Taiwan yang menangani proyek ini mengungkapkan, “Tuntutan Tzu Chi lebih ketat daripada pemerintah. Jadi, kami berharap bisa berbagi keterampilan yang profesional dengan masyarakat local agar mereka tahu bahwa kami juga berkontribusi bagi mereka dengan menggunakan keterampilan kami. Kita tidak hanya berbagi budaya humanis, tetapi juga mewariskan keterampilan kami kepada mereka. Jadi, saya berusaha sekuat tenaga untuk berkontribusi bagi mereka dan membawa cinta kasih dari Taiwan kemari.” Kontribusi dari kontraktor ini sungguh mengagumkan. Dia berkata bahwa dia mencari seniman bangunan local dan warga Myanmar yang bekerja di Taiwan untuk kembali ke Myanmar untuk membangun 12 gedung sekolah itu.

Gedung sekolah itu juga dibangun dengan menggunakan baja yang sangat kuat dengan harapan ia bisa menjadi gedung sekolah yang sangat kokoh. Sementara itu Ye Min Htet, Kepala Desa di sana berkata, “Tidak pernah ada orang luar yang datang kemari. Namun, tahun ini, kalian datang membantu kami. Kami sangat berharap desa kami bisa berkembang. Setelah pembangunan sekolah selesai, kami ingin mengajukan permohonan untuk mengubahnya menjadi sekolah menengah.”

Singkat kata, Badai Tropis Nargis yang menerjang Myanmar pada tahun 2008 menelan lebih dari 100.000 korban jiwa. Di tahun itu, insan Tzu Chi sungguh bekerja keras di Myanmar. Mengingat kembali proses penyaluran bantuan di sana, gambarannya masih sangat jelas dalam pikiran saya. Kini, kita masih tengah membantu pembangunan sekolah di sana. Intinya, baik pada bencana Topan Super Haiyan yang membawa kerusakan besar bagi Filipina maupun Badai Tropis Nargis yang menerjang Myanmar, kita terus melanjutkan penyaluran bantuan bagi warga di sana.


Pameran foto penyaluran bantuan bencana Tzu Chi pascatopan Super Haiyan di Filipina

Mengenang proses pemulihan pascabencana

Mengatasi berbagai rintangan demi mewujudkan impian banyak orang

Melangkah maju dengan semangat cinta kasih universal

Link Video (teks Mandarin dan Indonesia): Ceramah Master Cheng Yen 31 Mei 2014

Sumber: DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Rita, Yuni
Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -