Menerima Ketidakkekalan dalam Hidup

Ketidakkekalan membawa penderitaan di hati banyak orang. Kehidupan sungguh penuh penderitaan, salah satunya karena sulit merelakan kepergian orang-orang yang dikasihi. Entah berapa lama waktu yang diperlukan untuk itu. Sungguh menderita. Bagi orang-orang yang meninggal, jalinan jodohnya dengan kehidupan ini sudah berakhir. Mereka akan terlahir ke kehidupan mendatang.

Pada zaman Buddha hidup, ada seorang tetua di Sravasti. Istrinya melahirkan seorang anak yang sangat rupawan dan mengagumkan. Saat anak ini berusia beberapa bulan, dia tiba-tiba bisa berbicara. Hal yang pertama dia tanyakan adalah apakah Buddha masih ada di dunia. Dia juga menanyakan tentang beberapa murid Buddha. Orang tuanya menjawab pertanyaannya satu persatu. “Semuanya masih ada, kini ada di Sravasti. Mereka tinggal di Vihara Jetavana. Buddha tinggal bersama Sangha untuk membabarkan Dharma di sana.” Anak ini meminta orang tuanya membuat persembahan untuk Buddha dan Sangha. “Dengan hati yang paling tulus, kita harus membersihkan lingkungan kita. Kita harus membersihkan lingkungan dan mempersiapkan persembahan yang paling tulus.”

Akan tetapi, anak ini juga meminta disiapkan tiga buah tempat duduk tinggi. Satu tentu untuk Buddha, yang satu lagi adalah untuk ibunya di kehidupan lampau. Ibunya di kehidupan lampau masih hidup. Dia berharap orang tuanya yang sekarang dapat mencari ibu kehidupan lampaunya dan mengundangnya datang. Tempat duduk ketiga adalah untuk ibunya di kehidupan sekarang. Ini adalah wujud balas budinya. Persembahan itu pun akhirnya dilaksanakan dan berjalan dengan lancar. Seiring berlalunya waktu, anak ini tumbuh dewasa dan menjadi seorang bhiksu. Di dalam Sangha, dia berlatih dengan tekun dan penuh semangat dan dengan cepat menjadi Arahat.

Buddha mulai menceritakan kisah anak ini pada kehidupan lampaunya. Anak ini baru berusia belasan tahun, berarti kehidupan lampaunya belum lama berakhir. Pada kehidupan lampaunya, dia terlahir di sebuah keluarga yang terpandang. Mulanya keluarganya sangat berada. Namun, setelah ayahnya meninggal, keadaan keluarganya mulai berubah. Sejak kecil, anak itu sudah melihat penderitaan dan ketidakkekalan dalam hidup. Jadi, dia memiliki sebuah keinginan untuk memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha. Namun, dia tidak punya kemampuan untuk itu.

Jadi, dia memutuskan untuk mencari seorang majikan. Dia berkata kepada majikannya bahwa dia berharap dapat bekerja sepenuh jiwa raga dalam satu tahun, tetapi dia minta dibayar seribu keping perak. Setahun kemudian, majikan ini bertanya kepada anak itu,  “Engkau meminta upah yang begitu besar, apakah engkau ingin menikah ataukah memulai sebuah usaha?” Anak itu menjawab, “Tidak.” “Keinginanku adalah memberi persembahan kepada Buddha, Dharma, Sangha.” Majikannya ini merasa gembira dan berkata, “Engkau memiliki hati yang murni, Biar aku menyediakan rumahku dan sekelilingnya sebagai tempat pelaksanaan persembahan.”

Jadi, upah anak itu dalam setahun seluruhnya digunakan untuk memberi persembahan kepada Buddha dan Sangha. Persembahan itu dilakukan di rumah sang majikan. Setelah upacara persembahan bagi Buddha, Dharma, dan Sangha selesai dilaksanakan dan berjalan dengan lancar, tak lama kemudian anak ini meninggal dunia dan terlahir dalam keluarga sang majikan. Begitulah peralihan dari kehidupan ke kehidupan. Di mana kita akan dilahirkan nanti, kita tidak tahu. Ini ditentukan oleh karma. Kita akan lahir di keluarga yang berjodoh dengan kita.

Jadi, dalam mempelajari ajaran Buddha, kita harus memahami dengan jelas tentang kelahiran dan kematian. Contohnya, sepuluh hari yang lalu, sebuah pesawat Malaysia Airlines mengalami kecelakaan. Di antara para korban kecelakaan itu, ada Tuan Fan, istrinya, dan ibu mertuanya. Dia adalah orang Hong Kong. Istrinya adalah orang Malaysia. Ibu dari istrinya adalah anggota komite Tzu Chi yang aktif di Penang. Tuan Fan dan istrinya memiliki restoran di Belanda. Mereka adalah relawan Tzu Chi yang aktif menggalang dana untuk korban bencana Topan Morakot di Taiwan, gempa bumi di Jepang, pusat cuci darah di Penang, dll. Mereka juga sering mendukung kegiatan bazar Tzu Chi.

Jika kecelakaan itu tidak terjadi, akhir tahun ini atau tahun depan, mereka akan dilantik sebagai anggota komite. Namun, kali ini ibu mertuanya berkunjung ke Belanda dan tinggal di rumah mereka untuk berlibur. Lalu, dia dan istrinya menemani ibu mertuanya kembali ke Malaysia dengan pesawat yang mengalami kecelakaan itu. Jadi, banyak orang merasa kehilangan. Ini menunjukkan betapa mereka dikasihi banyak orang. Di Malaysia, para relawan juga mengadakan upacara perkabungan bagi sang ibu mertua. Semua orang yang hadir memberikan doa mereka yang paling tulus.

Penderitaan dalam kehidupan disebabkan oleh berbagai karma yang kita ciptakan pada masa lampau. Dalam kehidupan ini, kita menerima akibat dari perbuatan di masa lampau sekaligus menanam benih untuk masa depan. Jadi, terhadap hukum karma ini, kita harus waspada. Hari ini adalah hari pertama bulan 7 Imlek. Buddha menyebut bulan ini sebagai bulan berbakti dan berbuat kebajikan. Kita harus senantiasa berbuat kebajikan dan selalu berbakti. Dengan begitu, kita akan selalu selamat dan dipenuhi berkah. Akhir kata, banyak penderitaan dalam hidup ini. Kita harus mengenal Dharma yang terkandung dalam segala hal. Ketidakkekalan bisa datang kapan saja. Bagaimana kita menghadapi perubahan yang bisa terjadi sewaktu-waktu, bagaimana kita menerima kenyataan dan membimbing orang lain, inilah yang harus kita pelajari.

Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Rita

Ditayangkan tanggal 29 Juli 2014.


Semua manusia berkeinginan untuk "memiliki", padahal "memiliki" adalah sumber dari kerisauan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -