Menghargai Kehidupan yang Tenteram dan Melenyapkan Kegelapan Batin
Pada empat tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 Maret, Jepang diguncang gempa dahsyat. Bencana gempa ini mengguncangkan seluruh dunia. Saat itu, Jepang mengalami kerusakan besar. Pada hari itu, saya berdiri sangat lama di ruang tamu untuk menonton berita. Para staf bagian kerohanian kita segera mendirikan pusat koordinasi bencana dan melakukan kontak dengan insan Tzu Chi Jepang. Kita bisa melihat insan Tzu Chi Jepang yang berada di sana hari itu juga tidak sedikit. Saya bertanya, “Apakah semuanya selamat?” Mereka menjawab, “Gempa kali ini kuat sekali. Kami semua merasa sangat takut. Meski demikian, kami semua selamat. Kami telah menelepon setiap relawan. Mereka semua selamat. Akan tetapi, di Tokyo, seluruh akses transportasinya terputus.”
Seluruh akses transportasi di Tokyo terputus. Kereta listrik di sana tidak bisa beroperasi akibat putusnya aliran listrik. Banyak orang yang kesulitan untuk pulang ke rumah. Hari itu, saya berkata kepada mereka untuk segera membuka kantor cabang kita untuk umum agar para warga bisa masuk untuk minum teh, menggunakan kamar kecil, atau memperoleh sedikit makanan. Selama beberapa waktu itu, Kantor Cabang Tzu Chi Tokyo dan insan Tzu Chi setempat telah mengembangkan potensi kebajikan yang sangat besar. Saya terus mengadakan telekonferensi dengan mereka. Setiap hari, saya duduk seharian untuk mendengar laporan mereka.
Selain itu, kita juga mulai melakukan persiapan. Saat itu, cuaca di Tohoku sangat dingin. Di sana turun salju lebat dan banyak orang kehilangan tempat tinggal. Banyak di antaranya yang merupakan lansia, perempuan, dan anak-anak. Tempat pengungsian juga sangat penuh. Berhubung melarikan diri dengan panik, mereka tidak sempat membawa apa pun. Ada rumah yang ditelan tsunami, ada rumah yang runtuh, ada pula orang yang bahkan tidak mengetahui nasib anggota keluarganya.
Melihat bencana yang begitu parah dan menyedihkan, insan Tzu Chi merasa tidak tega. Karena itu, kita segera bersiap-siap untuk bergabung dengan insan Tzu Chi Jepang. Selain terus menghibur insan Tzu Chi Jepang agar mereka tidak merasa takut dan tetap meningkatkan kewaspadaan, kita juga memberi tahu mereka untuk melakukan persiapan dan menghimpun kekuatan banyak orang. Jadi, kita berharap insan Tzu Chi setempat dapat terlebih dahulu menenangkan hati. Setiap mengadakan telekonferensi dengan mereka, saya bisa melihat benda di sekeliling mereka bergoyang. Saya lalu bertanya kepada mereka, “Apakah terjadi gempa lagi?” Mereka menjawab, “Ya, gempa yang sangat kuat.” Gempa susulan terus terjadi selama beberapa hari itu.
Namun, saya sangat kagum kepada insan Tzu Chi. Saat mengadakan telekonferensi dengan saya, mereka tetap tenang meski terjadi gempa. Melihat hal ini, saya bertanya, “Apakah kalian tidak takut?” Mereka menjawab, “Kami tidak boleh takut.” “Master berkata bahwa kami harus tenang dan tidak boleh takut.” Pascagempa, insan Tzu Chi terus menuju lokasi bencana yang mengalami kerusakan parah untuk menyediakan makanan hangat. Di tengah cuaca yang sangat dingin, banyak orang kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi ke tempat pengungsian. Insan Tzu Chi membawa peralatan dapur ke sana untuk menyediakan makanan hangat bagi mereka, seperti bihun kuah, mi kuah, bubur, dan lain-lain. Insan Tzu Chi terus menyediakan makanan.
Pada saat yang bersamaan, selimut dari Taiwan juga terus kita kirimkan ke sana lewat pesawat. Insan Tzu Chi juga menyarankan untuk memberikan syal kepada para korban bencana. Karena itu, para relawan di Kompleks Tzu Chi Neihu segera bersiap-siap untuk memotong selimut menjadi syal. Jadi, selimut dan syal adalah barang yang sangat dibutuhkan para korban bencana pada saat itu. Di Kompleks Tzu Chi Neihu inilah, kita menyiapkan barang-barang itu. Saat insan Tzu Chi terus masuk ke lokasi bencana, banyak warga Jepang malah ke luar negeri karena mereka mengkhawatirkan radiasi nuklir akibat meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir.
Insan Tzu Chi Taiwan pergi ke Jepang untuk bergabung dengan insan Tzu Chi setempat. Sepanjang perjalanan, mereka membawa alat detektor radiasi untuk menjaga keselamatan diri. Mereka sangat berhati-hati dalam setiap langkah. Jadi, orang yang merasa takut mengungsi ke luar negeri, sedangkan insan Tzu Chi yang penuh cinta kasih malah masuk ke lokasi bencana untuk menyalurkan bantuan. Bencana ini telah berlalu selama 4 tahun. Kini, saat melihat kondisi setempat, masih ada banyak tempat yang belum pulih. Masih ada banyak orang yang hingga kini belum memiliki tempat tinggal.
Ini membuat saya teringat akan gempa yang pernah mengguncang Taiwan pada tanggal 21 September. Agar para korban bencana tidak perlu tinggal di dalam tenda, kita mendirikan Rumah Cinta Kasih yang aman dan bersifat sementara bagi mereka. Dalam jangka waktu tiga tahun, kita membangun Rumah Cinta Kasih untuk mereka sehingga mereka dapat berfokus untuk bekerja dan membangun kembali rumah mereka. Sendi kehidupan setiap orang bisa pulih dengan sangat cepat. Pada saat yang bersamaan, kita juga membantu pembangunan kembali 50 gedung sekolah di Nantou dan Taichung serta satu gedung sekolah di Taipei. Jadi, kita membantu pembangunan kembali 51 gedung sekolah. Dalam jangka waktu dua tahun, kita membangun kembali gedung sekolah dengan struktur yang sangat aman dan kokoh.
Dengan adanya sekolah untuk belajar, anak-anak merasa sangat tenang dan gembira. Dengan adanya tempat tinggal, setiap orang dapat memulihkan sendi kehidupan mereka dengan tenang. Inilah yang dilakukan oleh insan Tzu Chi, yakni senantiasa melindungi Taiwan. Di mana pun bencana terjadi, insan Tzu Chi selalu bersumbangsih tanpa pamrih. Setiap orang menyumbangkan uang dan tenaga. Dari begitu banyaknya insan masyarakat yang bersumbangsih, kita bisa mengetahui betapa besarnya kekuatan cinta kasih yang tercipta.
Namun, isu-isu yang menyebar belakangan ini membuat banyak insan Tzu Chi merasa khawatir. Saya terus meminta setiap orang untuk menenangkan hati dan menjaga semangat diri sendiri. Kita harus mempertahankan tekad pelatihan kita dan melindungi tanah yang harmonis ini. Semoga setiap orang dapat mawas diri dan tulus. Belakangan ini, yang membuat kita khawatir adalah isu krisis air. Waduk air kita sudah hampir kering. Inilah yang benar-benar harus dikhawatirkan. Kita harus mawas diri dan tulus. Kita harus mendoakan dengan tulus semoga segera turun hujan yang merata dan bersahabat di wilayah waduk yang paling membutuhkan air agar persediaan air bagi para warga bisa stabil. Ini adalah hal yang paling penting.
Mengenang kembali gempa di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011
Menghargai kehidupan yang aman dan tenteram serta melenyapkan kegelapan batin
Menjaga semangat dengan baik dan melatih diri dengan tulus
Senantiasa mawas diri, menghemat air, dan menghargai sumber daya alam
Sumber: Lentera Kehidupan - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Marlina
Ditayangkan tanggal 11 Maret 2015