Mewariskan Dharma dan Menyebarkan Rasa Bakti di Afrika

“Kakek Guru yang terkasih, lihatlah sawah kami. Benih-benih cinta kasih telah bertunas dan bertumbuh. Terima kasih, Kakek Guru,” ucap relawan Mozambik.

Kita bisa melihat Mozambik yang penuh kehangatan. Warga setempat meletakkan foto saya di sana agar saya bisa melihat bahwa benih di sawah mereka telah bertunas dan bertumbuh. Mereka merasa sangat bersyukur. Setiap kali membagikan bantuan, mereka selalu melakukannya dengan sangat berbudaya humanis. Mereka juga mengajari anak-anak untuk berbakti dan mewujudkannya lewat tindakan nyata. Anak-anak setempat mempersembahkan teh kepada orang tua dan membasuh kaki orang tua mereka. Sungguh, di wilayah Afrika, kita bisa melihat benih-benih cinta kasih telah bertunas dan terus bertumbuh menjadi pohon besar.

Kita juga bisa melihat Zimbabwe. Jalinan jodoh kita di Zimbabwe bermula dari tahun 2008 saat Relawan Zhu kembali ke Taiwan. Saat kembali ke Taiwan, dia belajar dengan bersungguh-sungguh. Setelah kembali ke Zimbabwe, dia sangat tekun dan bersemangat. Setiap kali insan Tzu Chi di Afrika Selatan mengadakan pelatihan relawan, dia selalu menempuh perjalanan sejauh ribuan kilometer untuk mendalami Dharma dan belajar. Dia ingin melihat bagaimana insan Tzu Chi di Afrika Selatan membimbing relawan setempat. Tahun lalu, dia telah berhasil menginspirasi beberapa orang relawan lokal. Ini karena dua tahun lalu, sekelompok insan Tzu Chi dari Taiwan pergi ke Zimbabwe untuk merakit ruangan kelas sementara di sana. Kita memahami bahwa anak-anak di sana sangat membutuhkan ruangan kelas karena ruang kelas mereka sebelumnya sudah sangat bobrok dan tidak layak digunakan. Melihat pemandangan seperti itu, kita merasa tidak sampai hati. Karena itu, kita membantu merakit ruangan kelas sementara bagi mereka.

Insan Tzu Chi Taiwan pergi ke sana dengan membawa material bangunan dan tenaga manusia. Namun, untuk meratakan tanah di sana bukanlah hal yang mudah karena batunya sangat banyak. Selain itu, sebagian besar pekerja di sana adalah wanita. Sekelompok wanita itu terus menggali batu-batu yang besar. Jadi, untuk meratakan tanah di sana, sungguh tidak mudah. Setelah ruangan kelas sementara dibangun, akhirnya para guru dapat mengajar di tempat yang lebih baik. Mereka juga mulai belajar bagaimana mengemban misi amal Tzu Chi dan bersumbangsih bagi dunia pendidikan. Inilah kehidupan mereka. Relawan Zhu adalah benih Tzu Chi yang telah bertunas dan bertumbuh menjadi pohon besar di sana. Dia telah berikrar dan bertekad untuk mengajak relawan setempat mengikuti pelatihan di Afrika Selatan. Dia juga mengajak relawan dan guru setempat kembali ke Taiwan. Tahun lalu, dia mengajak sekelompok relawan beserta kepala sekolah dan guru kembali ke Taiwan. Mereka terlebih dahulu mencukur rambut sendiri.

Saat melihatnya, saya bertanya, “Mengapa kalian semua menggunduli kepala?” Mereka berkata bahwa mereka telah bertekad setelah kembali dari Taiwan, mereka akan memulai kehidupan baru di Zimbabwe. Usai berbagi kisah, mereka lalu berikrar di hadapan saya. Kali ini, mereka mengadakan sebuah kamp pelatihan relawan selama enam hari lima malam yang diikuti oleh 133 peserta. Selain itu, ada lebih dari 50 relawan yang menjadi tim konsumsi dan tim pelayanan. Mereka merupakan benih Tzu Chi di Zimbabwe. Benih-benih inilah yang membimbing warga setempat. Saat peserta kamp pelatihan datang, relawan setempat menyanyikan lagu Selamat Datang dalam bahasa Mandarin.

Mereka berbaris rapi untuk menyambut para peserta. Setelah masuk ke dalam, mereka memberi para peserta sepasang sepatu putih, sebuah kantong hijau, sehelai selimut, dan sebuah buku tulis. Tempat tidur mereka sangat sederhana. Mereka hanya membentangkan kardus di atas lantai. Itulah tempat tidur mereka. Mereka juga tidur bagaikan busur. Baik saat berjalan, berdiri, duduk, maupun berbaring, semua mereka lakukan dengan tertib. Lihatlah, koridor yang begitu sempit pun mereka gunakan untuk tidur berdua. Mereka sangat rajin dan tahan cobaan. Sungguh membuat orang tersentuh melihatnya.

Mereka sudah bangun pukul 4 pagi, sama seperti kita yang berada di Taiwan. Mereka bangun pada pukul 4 waktu setempat. Ada perbedaan waktu antara Taiwan dan Zimbabwe. Di Zimbabwe, saat langit masih gelap, mereka sudah bangun. Mereka juga melakukan kebaktian. Berhubung di dalam ruangan sudah tidak muat, beberapa orang bahkan berdiri di luar dan tetap mengikuti kebaktian dengan tulus. Mereka juga bisa menyanyikan Mars Tzu Chi. Mereka begitu tertib dan penuh tata krama. Saat makan, mereka juga memegang mangkuk dan sumpit dengan benar. Yang mereka lakukan tidak berbeda dengan di Taiwan. Ini sungguh tidak mudah. Bimbingan mereka memenuhi standar atau tidak? Sangat memenuhi standar.

Relawan kita juga mengajari mereka cara melipat selimut, posisi tidur, melipat dan menyusun selimut bagaimana posisi saat tidur, dan bagaimana menyusun selimut setelah bangun tidur. Jadi, saat mereka meninggalkan tempat tidur, semua selimut sudah tersusun rapi. Inilah cara kita membimbing warga setempat. Inilah yang terjadi di Zimbabwe, Afrika. Mereka juga sangat berhati tulus saat mendengar ceramah saya. Lewat program Sanubari Teduh, mereka mendengar Dharma dan membuat catatan dengan melihat teks bahasa Inggris. Lihatlah, mereka yang hidup kekurangan dan tinggal di tempat yang demikian sederhana rela menempuh perjalanan jauh untuk mengikuti pelatihan.

Relawan dari sepuluh wilayah berkumpul bersama untuk melatih diri. Semua peserta merupakan benih Tzu Chi. Lihatlah, saat meninggalkan kelas untuk pergi makan, langkah kaki mereka begitu serentak. Saat berbelok, mereka juga membentuk sudut 90 derajat. Lihatlah, mereka berbaris dengan tertib untuk masuk ke ruang makan. Sungguh, setelah melihat mereka, mari kita pikirkan diri kita sendiri. Dharma selalu ada di sekeliling kita. Apakah kita sudah giat mempelajarinya? Mereka yang hidup kekurangan bisa demikian tekun dan tahan cobaan demi mempelajari Dharma. Mereka sangat tekun dan bersemangat meski memiliki kendala bahasa.

Sungguh, meski tidak mengerti perkataan saya, tetapi mereka sangat berniat untuk belajar. Mereka bisa membacakan Sepuluh Sila Tzu Chi dan Ikrar Anggota Komite Tzu Chi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Melihat mereka begitu tertib, tekun, dan bersemangat, saya sungguh merasa kagum pada mereka. Saya juga merasa sangat tergugah. Kemarin, saat staf divisi kerohanian kita memberi tahu saya tentang hal ini, saya merasa sangat tersentuh dan gembira.

Sekelompok murid saya ini juga mendengar Gatha Tiga Perlindungan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sambil melihat lirik Gatha Tiga Perlindungan itu, mereka sambil menitikkan air mata. Mereka menyadari bahwa mereka bisa terlahir di tempat yang begitu penuh penderitaan karena buah karma sendiri. Lihatlah, mereka merupakan murid-murid saya yang berada di tempat yang jauh. Meski demikian, kita bisa melihat bahwa mereka telah menerima Dharma dan sangat tekun dan bersemangat. Singkat kata, saya berharap setiap orang dapat menghargai berkah.

 

Mengadakan pembagian bantuan beras cinta kasih dengan tulus dan penuh hormat

Membimbing warga Mozambik berbakti kepada orang tua

Menebarkan benih cinta kasih di Zimbabwe

Memberikan harapan dengan membabarkan Dharma

 

Sumber: Lentera Kehidupan  - DAAI TV Indonesia, Penerjemah: Karlena, Marlina

Ditayangkan tanggal18 November 2014


Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -