Suara Kasih : Batin bebas Penderitaan

 

Judul Asli:

Batin yang Kaya
Membebaskan Orang dari Penderitaan
 

Insan Tzu Chi dari berbagai tempat datang untuk memerhatikan saudara se-Dharma
Insan Tzu Chi pulang ke kampung halaman batin untuk dilantik
Batin yang kaya membebaskan orang dari penderitaan
Berikrar luhur untuk membabarkan Dharma

 

Para insan Tzu Chi di seluruh dunia kembali ke kampung halaman batin mereka. Insan Tzu Chi dari 23 negara ini memiliki kondisi ekonomi yang berbeda, namun di dalam Tzu Chi, semua orang adalah sama. Inilah yang diajarkan Buddha kepada kita.

Buddha mengajarkan kita untuk memiliki Empat Sifat Luhur dan Enam Paramita. Hal-hal tersebut harus kita praktikkan dalam keseharian. Sebagian dari insan Tzu Chi yang pulang kali ini berasal dari negara yang sangat makmur dan maju, namun mereka tetap berikrar untuk mengemban misi Tzu Chi di negara mereka. Meski mereka hidup dalam kemapanan, kita tetap harus menginspirasi mereka agar mereka memiliki hati penuh cinta kasih. Kita harus menyebarkan cinta kasih ke tengah umat manusia dan menyadarkan mereka akan ketidakkekalan hidup.

Saat buah dari karma buruk matang, ketidakkekalan akan terjadi. Untuk menyelamatkan dunia, kita harus menyucikan hati manusia terlebih dahulu. Saat berada dalam keadaan tenteram, kita harus sungguh-sungguh menyelami Dharma. Membimbing orang yang hidup dalam kemapanan tidaklah sulit. Kita dapat membimbing mereka untuk menyadari, menghargai, dan lebih banyak menciptakan berkah. Inilah cinta kasih tanpa penyesalan.

 

Begitu juga dengan welas asih yang kita curahkan di negara kurang makmur. Kita dapat melihat banyak warga Afrika Selatan yang hidup dalam kondisi minim. Meski berbeda ras dan warna kulit, para insan Tzu Chi dari Taiwan tetap mendedikasikan dirinya untuk menginspirasi warga setempat. Meski tak paham bahasa setempat, mereka dapat menginspirasi sekelompok besar suku Zulu untuk menjadi relawan Tzu Chi. Hal ini sungguh tidak mudah. Terlebih lagi, jumlah warga setempat yang terinspirasi tidak sedikit.

Pada saat pelatihan di Durban, lebih dari 5.000 relawan dari suku Zulu turut serta. Beberapa tahun ini, banyak dari mereka yang kembali ke Taiwan untuk dilantik. Sesungguhnya, banyak di antara mereka yang telah memenuhi syarat, namun mereka menemui kesulitan untuk kembali ke Taiwan karena harga tiket pesawat yang sangat mahal bagi mereka. Kali ini, ada 12 relawan Zulu yang kembali ke Taiwan. Hal ini sungguh tidak mudah. Mereka harus transit pesawat 4 kali untuk tiba di Taiwan. Setibanya di Taiwan, mereka segera bergabung dengan relawan lain untuk pergi ke RS Tzu Chi di Hualien guna menghibur para pasien di sana. Mereka juga berkunjung ke rutan di Hualien untuk berbagi kisah dengan para tahanan. Sungguh, tiada orang yang hidup lebih sulit dan menderita dibanding mereka. Mereka sungguh hidup dalam keterbatasan. Namun, di tengah kondisi yang sulit, mereka menjaga diri sebaik mungkin dan membangkitkan cinta kasih. Mereka harus mengatasi berbagai rintangan agar dapat bebas dari kesulitan pribadi dan lingkungan sekitarnya.

Sekelompok relawan dari suku Zulu ini sungguh memiliki hati Bodhisatwa dalam membimbing orang lain. Mereka bagaikan Bodhisatwa Ksitigarbha yang berikrar untuk menolong semua makhluk di neraka. Para relawan dari suku Zulu sungguh datang ke dunia dengan ikrar luhur. Saya sungguh tersentuh melihatnya. Kita juga melihat cara mereka menyebarkan semangat Tzu Chi di tengah kondisi yang sulit.

Lihatlah, mereka mengadakan pertemuan di tempat yang sangat sederhana. Meski memiliki layar dan proyektor, namun mereka tak dapat melihat apa pun.  Mengapa begitu? Karena atap rumah itu berlubang dan sinar matahari masuk ke dalamnya. Para relawan mengembangkan kebijaksanaan di tengah kesulitan. Mereka  menutupi lubang-lubang tersebut agar tayangan dapat terlihat di layar. Di tengah hari yang panas, mereka menyaksikan tayangan dengan sabar. Melihat mereka yang sabar dan bersemangat untuk mempelajari Tzu Chi di tengah berbagai kesulitan, saya sungguh merasa tidak tega. Saya bertanya pada diri sendiri apakah dapat seperti mereka. Saya rasa saya tak dapat seperti mereka.

Lihatlah Relawan Ci Bu. Ia hidup dalam kondisi minim dan pernah mengalami  masa-masa sulit dalam hidupnya. Pada awal tahun ini, ia menderita sakit parah. Namun, ia berkata pada setiap orang bahwa ia tak boleh meninggal karena ia ingin terus hidup untuk membantu orang yang lebih menderita darinya. Meski hidup dalam kondisi minim dan sakit, namun batinnya sangat damai karena ia dapat membantu orang lain. Ia ingin membabarkan Dharma yang ia tahu kepada orang lain agar mereka juga dapat terbebas dari penderitaan seperti dirinya. Inilah ikrar luhur darinya. Dengan dukungan dari para relawan lain, ia pun pulih secara perlahan dan dapat ”kembali” ke Taiwan.

”Saya ingin berterima kasih kepada Buddha, Master, dan seluruh insan Tzu Chi atas perhatiannya kepada saya. Lihatlah di mana saya berada kini. Saya kembali lagi ke Taiwan. Kami sering menyanyikan sebuah lagu tentang Master yang senantiasa menolong dan menjaga kami. Setiap kali menyanyikan lagu itu, saya selalu merasa sangat tersentuh karena lagu itu adalah suara hati saya. Terima kasih,” kata Ci Bu.

Lihatlah, asalkan ada niat, maka akan ada jalan. Asalkan orang yang mapan memiliki niat, mereka tetap dapat melatih diri. Orang yang hidup dalam kondisi minim dan sakit juga dapat memberi manfaat bagi orang lain asalkan mereka memiliki niat.

Di antara para relawan dari suku Zulu, ada seseorang yang bernama Zakhele. Pria Zulu dianggap sebagai prajurit. Di Afrika Selatan, pria tak boleh melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh wanita. Mereka tidak melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka beranggapan bahwa hal-hal tersebut seharusnya dilakukan oleh wanita. Namun, sejak bergabung dengan Tzu Chi, Zakhele tak takut orang membicarakan dan menertawakannya karena melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh wanita. Ia tidak peduli dan sangat tegar.

Zakhele sungguh mengagumkan. Ia berikrar setelah kembali ke Afrika Selatan, ia akan menginspirasi kaum pria setempat. Menurut kalian, apakah ia miskin? Batinnya lebih kaya dari siapa pun. Mereka sangat tegar dan tabah menghadapi kehidupannya. Saya sungguh kagum terhadap mereka. Karena itu, asalkan kita memiliki cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin, maka tiada hal yang tak dapat kita capai dan kita berikan. Kita pasti dapat bersumbangsih dengan penuh sukacita dan terus membantu orang lain dengan cinta kasih. Inilah hal yang pasti dapat dilakukan oleh setiap orang. Diterjemahkan oleh: Lena

 
 
Saat membantu orang lain, yang paling banyak memperoleh keuntungan abadi adalah diri kita sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -