Suara Kasih: Berbagi Melalui Celengan Beras

 

Judul Asli:

Tekun Menumbuhkan Berkah dan Kebijaksanaan

     

Petani di Myanmar  membantu sesama lewat celengan beras
Menjalani pola hidup sederhana dan cukup makan 80 persen kenyang
Menyadari berkah dan kembali menciptakan lebih banyak berkah
Menjalani kehidupan dengan tekun demi menumbuhkan berkah dan kebijaksanaan

Setiap hari, sebelum matahari terbit, saya harus keluar untuk memberikan ceramah pagi. Setiap kali akan beranjak keluar, saya pasti berdiri di koridor dan memandang ke langit. Dunia ini sungguh indah. Saat melihat langit yang tidak bertepi, saya akan teringat Buddha Sakyamuni, Yang Maha Sadar di Alam Semesta, kebijaksanaan-Nya juga tidak bertepi. Saat itu, lingkungan sekitar sangat hening. Saya pun berdiri di sana dan seakan mendengar dengan jelas alam yang sedang bernapas. Suara napas alam terdengar sangat bermelodi dan indah. Saya juga memandangi setiap bintang dengan hening. Meski bintang-bintang berada jauh dari saya, namun saya bagaikan mendengar Buddha sedang membabarkan Dharma bagi alam.

Setelah itu, saya beranjak ke aula untuk melakukan penghormatan kepada Buddha dan memberikan ceramah. Setiap orang berada dalam kondisi batin yang sangat hening dan jernih. Saya dapat melihat batin setiap orang begitu harmonis dan bebas dari pikiran yang kompleks serta pikiran yang keliru. Jika terdapat pemikiran yang kompleks dan keliru, keharmonisan tidak akan terwujud. Jadi, untuk menyucikan batin manusia tidaklah sulit, asalkan kita bisa  menyebarkan Dharma di masyarakat.

Saya sering mengulas tentang waktu, ruang, dan hubungan antarmanusia. Mengenai waktu, kita bisa melihat Tzu Chi yang telah berdiri sekitar 46 tahun. Waktu berlalu dengan sangat cepat. Empat puluh enam tahun yang lalu, misi amal Tzu Chi dimulai dari 30 ibu rumah tangga yang menyisihkan 50 sen setiap hari. Asalkan kita membangkitkan sebersit niat baik, maka kebajikan kecil dari setiap orang akan dapat terhimpun menjadi kekuatan. Saya sering berkata bahwa butiran padi dapat memenuhi lumbung.

Suatu hari, saat berada di Taichung, terdapat seorang anggota komite di samping saya. Saat itu, ada ide yang terlintas di benak saya. Saya pun meminta anggota komite tersebut mengambil segenggam beras. Sambil bingung dia pun bertanya,“Master, untuk apa menyuruh saya mengambil segenggam beras?” Saya menjawab, “Jangan tanya dulu, pokoknya ambil saja.” Dia pun segera melakukan yang saya minta. Lalu, dia kembali ke hadapan saya sambil menggenggam beras di tangannya. Saya meminta dia untuk menghitung berapa jumlah beras di dalam genggamannya. Dia merasa sedikit heran, namun tetap menghitung beras-beras tersebut. Selesai menghitung dia pun kembali dan berkata, “Master, berasnya ada 1.300 sekian butir.”Saya lupa jumlah pastinya. Yang saya ingat, jumlahnya adalah seribu tiga ratus sekian. Saya berkata, “Ya, jumlah itu bermula dari sebutir demi sebutir beras.”Saya pun berbagi dengannya tentang filosofi segenggam beras.

Beberapa tahun lalu, Myanmar dilanda bencana yang sangat parah. Karena jalinan jodoh itulah, insan Tzu Chi bisa berangkat ke Myanmar dan segara menyalurkan barang yang dibutuhkan warga, seperti pakaian, kebutuhan sehari-hari, makanan, selimut, dan lainnya. Lalu, kita pun mulai memikirkan cara untuk memulihkan perekomomian setempat. Berhubung mayoritas warga adalah petani, kita pun memberikan bibit padi dan pupuk kepada mereka. Warga setempat sangatlah polos dan merupakan umat Buddha yang sangat tulus dan taat. Setiap orang pasti mengetahui bahwa Myanmar adalah negara Buddhis. Meski mengalami gagal panen dan tidak memiliki beras untuk makan, mereka masih  mengantarkan persembahan ke vihara. Mereka sangat tulus.

Saat menyalurkan bantuan ke Myanmar, insan Tzu Chi berbagi kepada para warga bahwa Tzu Chi berasal dari Taiwan dan bermula dari 50 sen; sebagai praktisi Buddhis, mereka harus memahami hukum sebab akibat. Kita juga berbagi dengan warga bahwa setiap orang bisa menjadi orang yang membantu sesama dan berdana melalui celengan bambu. Ada banyak kisah yang dibagikan kepada mereka. Mereka baru pertama kali mendengarnya. Meski mereka semua meyakini Buddha, Dharma, dan Sangha, tetapi mereka tidak pernah mendengar ajaran untuk menjadi orang yang menolong sesama. Setelah mendengarnya, mereka sangat senang dan ingin turut membantu sesama. Insan Tzu Chi berkata kepada mereka bahwa mereka bisa turut membantu sesama dengan menyisihkan 50 sen ke dalam celengan bambu. Uang 50 sen dalam mata uang Myanmar adalah jumlah yang sangat sedikit, namun mereka tetap bisa memasukkannya ke dalam celengan bambu.

Ada orang yang berkata bahwa mereka bahkan tidak memiliki beberapa sen untuk ditabung. Salah seorang dari mereka berkata bahwa dia bisa makan lebih sedikit saat makan. Dia berkata pada istrinya, “Keluarga kita terdiri atas 4 orang, setiap kali akan memasak, kita bisa menyisihkan segenggam beras.” Setelah beras dimasukkan ke dalam panci, dia akan mengambil satu genggam dari panci dan menaruhnya kembali di sebuah guci plastik. Setelah beberapa hari, guci plastik tersebut  juga penuh dengan beras dan bisa digunakan untuk membantu  keluarga orang tua tunggal yang lebih kekurangan. Berhubung baru pertama kali bisa menolong sesama, mereka merasa sangat senang. Sejak saat itu, banyak warga yang kurang mampu terinspirasi untuk membantu orang lain.

Jadi, saya berkata pada anggota komite tadi, “Lihat, dengan menyisihkan segenggam beras yang dapat dimasak menjadi semangkuk nasi, setiap orang dalam keluarga di Myanmar tadi hanya makan 80 persen kenyang. Jadi, mereka dapat menghemat semangkuk nasi dan menggunakannya untuk membantu orang lain.” Belakangan ini, insan Tzu Chi di Taiwan terus mensosialisasikan pola makan cukup makan 80 persen kenyang untuk membantu sesama. Cerita tadi adalah asal mulanya. Sebelum meninggalkan  kantor cabang Tzu Chi di Taichung, saya mendapatkan ide tersebut.

Setelah kembali ke Hualien, saya mulai berbagi pola makan cukup kenyang 80 persen ini. Ketahuilah bahwa manusia masa kini sangatlah boros dan menciptakan banyak sampah dapur. Jika kita bisa meminimalisasi sampah dapur dan cukup makan 80 persen kenyang, itu akan baik untuk kesehatan tubuh kita dan sampah dapur juga akan berkurang. Inilah cara yang bisa digunakan untuk menolong orang lain. Sesungguhnya,  kita tidak perlu menghamburkan banyak uang. Dalam kehidupan sehari-hari, sesungguhnya ada banyak hal yang dapat dihemat sehingga kita dapat membantu orang lain. Jadi, beramal bukanlah sesuatu yang sulit. Yang sulit adalah mengembangkan rasa syukur dan rasa hormat. Selain bersumbangsih tanpa pamrih, kita pun harus berterima kasih kepada penerima karena dengan melihat penderitaan merekalah karena dengan melihat penderitaan merekalah kita baru dapat menyadari bahwa kita adalah orang yang penuh berkah.

Jadi, lewat penderitaan mereka, kita dapat memahami betapa beruntungnya kita. Karena itu, kita harus merasa puas dan rela memberi. Kita yang memiliki berkah harus berbagi. Janganlah terus-menerus merasa kurang. Kita harus menyadari berkah dan berbagi. Jadi, kita harus membangkitkan cinta kasih, bersumbangsih tanpa pamrih, serta mengucapkan terima kasih. dan berterima kasih kepada penerima bantuan. Di Tzu Chi,  kita berharap setiap orang memiliki hati yang seperti ini. Janganlah meremehkan sebutir beras atau memboroskan air setetes pun. Kelak, di seluruh dunia sumber daya air akan semakin berkurang. Jadi, dalam kehidupan sehari-hari, selain menolong orang lain, kita juga harus menerapkan pola hidup hemat. Dengan berhemat, kita bisa lebih banyak memberi. Alangkah baiknya jika setiap orang bisa menjadi orang yang kaya lahir dan batin. Diterjemahkan oleh: Laurencia Lou.

 
 
Kesuksesan terbesar dalam kehidupan manusia adalah bisa bangkit kembali dari kegagalan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -