Suara Kasih : Memiliki Hati yang Murni

 

Judul Asli:

Memiliki Hati yang  Murni
dan Senantiasa Berdana
 

Memiliki hati murni dan niat untuk berdana tidaklah sulit
Insan Tzu Chi Afrika Selatan saling mendukung meski hidup dalam kesulitan
Memiliki budaya humanis agar dapat menjadi teladan
Senantiasa mempertahankan ikrar luhur

 

Tujuan perjalanan saya kali ini adalah dalam rangka Pemberkahan Akhir Tahun. Beberapa hari lalu, Pemberkahan Akhir Tahun mulai diadakan di Aula Jing Si Hualien karena insan Tzu Chi dari 23 negara kembali ke Taiwan. Mereka telah menantikan saat ini selama bertahun-tahun. Setelah melewati berbagai pelatihan, akhirnya mereka memenuhi syarat untuk dilantik.

Beberapa dari mereka adalah orang yang kurang mampu, contohnya seperti  para relawan dari Afrika Selatan. Namun, meski hidup dalam keterbatasan, hati mereka penuh cinta kasih. Saat para relawan dari Afrika Selatan ini berkunjung ke RS Tzu Chi, mereka berlutut di depan pasien untuk memijat kaki mereka. Cinta kasih sekelompok relawan ini sungguh membuat saya sangat tersentuh. Di antara mereka ada seorang laki-laki. Di Afrika Selatan, laki-laki tidak melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh perempuan. Alasannya karena mereka adalah laki-laki.

Kali ini, seorang relawan laki-laki dari Afrika Selatan kembali ke Taiwan untuk dilantik. Ia berkata bahwa sejak kecil ia memiliki satu keinginan, yakni menjadi penolong bagi orang lain. Namun, keluarganya hidup dalam keterbatasan sehingga ia tak dapat menempuh pendidikan untuk menjadi seorang dokter. Kemudian, ia pun berpikir untuk menjadi seorang perawat. Di Afrika Selatan, pemikiran seorang laki-laki yang seperti ini sangatlah aneh. Begitulah kebudayaan Afrika Selatan.

Karena itu, ayahnya memarahinya. Akhirnya, karena tak bisa menjadi  seorang dokter maupun perawat, ia pun belajar memasak dan menjadi seorang koki. Kemudian, ia mengenal Tzu Chi. Dalam satu kegiatan Tzu Chi, ia mendengar salah satu insan Tzu Chi berkata bahwa kita harus mengasihi orang yang tak memiliki hubungan darah dengan kita seperti mengasihi anggota keluarga sendiri.

 

Ia pun merasa bahwa inilah yang ia inginkan sejak kecil. Karena itu, ia pun bergabung dengan Tzu Chi. Banyak orang menertawakannya karena ia membantu orang lain, memandikan seseorang, atau membersihkan rumah. Mereka berpikir bahwa laki-laki tidak pantas mengerjakan semua hal tersebut. Namun, ia merasa bahwa menolong orang lain membuatnya bahagia.

Ia tak merasa malu. Ia sangat bersukacita dan tak menyesal. Tahun ini, sekelompok pekerja setempat berunjuk rasa. Relawan ini bekerja di rumah sakit pemerintah sebagai koki. Saat semua staf rumah sakit melakukan mogok kerja, ia berkata pada diri sendiri bahwa ia tetap harus bekerja  karena semua pasien membutuhkan perhatian dan perawatan. Karena itu, seorang diri ia melihat keadaan para pasien, menghibur, dan mengantarkan makanan. Mendengar apa yang ia lakukan, saya sungguh bersyukur. Di tengah kondisi lingkungan dan masyarakat yang kurang mendukung, di tengah cemoohan banyak orang, ia tetap berkontribusi. Saya sungguh tersentuh melihatnya.

Ada juga relawan lainnya yang bernama Brenda. Ia pernah mengalami  kekerasan dalam rumah tangga. Kehidupannya sungguh tragis. Saat ia berniat mengakhiri hidupnya, insan Tzu Chi muncul untuk mendampingi dan memerhatikannya. Ia tersentuh oleh cinta kasih dan penghiburan dari insan Tzu Chi sehingga batinnya kembali pulih. Tak hanya batinnya kembali pulih, ia pun memiliki cinta kasih yang berlimpah. Jadi, ia mulai memberi perhatian kepada sekelompok anak yatim piatu.

Pada awal tahun ini, ia menderita penyakit parah. Ia terkena TBC. Saat para insan Tzu Chi mengunjunginya, ia berkata kepada mereka, “Saya tidak takut mati, namun saya tak mau meninggal karena anak-anak yatim piatu, orang-orang sakit, dan orang yang kurang mampu masih membutuhkan saya.” Meski sedang sakit, ia tak mau berdiam diri di rumah. Karena itu, ia berkata kepada para relawan  agar mengizinkannya ikut serta dalam kegiatan Tzu Chi.

Lihatlah para relawan yang saling mendukung. Para relawan di Afrika Selatan menjalankan misi Tzu Chi dengan sangat baik. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka saling membantu. Dalam Tzu Chi, kita dapat melihat orang yang tak mampu pun dapat membantu orang lain. Buddha berkata bahwa sangatlah sulit menginspirasi orang tak mampu untuk berdana. Namun, di Afrika Selatan, perkataan ini tak berlaku. Orang-orang di sini berkata, “Saya saja membutuhkan bantuan, bagaimana saya dapat membantu orang lain?” Hal ini tidaklah mungkin. Relawan Afrika Selatan yang kondisinya demikian ada lebih dari 5.000 orang. Namun, dalam kondisi yang serba terbatas, mereka memiliki hati yang terang dan pikiran yang bijaksana.

Lihatlah kita yang tinggal di Taiwan. Semua orang hidup dalam kemapanan, namun batin mereka “penuh bencana”. Batin mereka sungguh gelap. Kegelapan batin membuat hati dan pikiran orang menyimpang. Namun, hati dan pikiran para relawan Afrika Selatan sangat terang dan penuh kebijaksanaan. Beberapa relawan Zulu (Afsel) ini ada di antara para relawan dari 23 negara yang kembali ke Taiwan kali ini. Tentu saja, banyak sekali kisah menyentuh. Salah satunya adalah kisah ini.

Seorang dokter berkata bahwa pada awalnya ia salah paham terhadap Tzu Chi. Ia berpikir, “Mengapa Tzu Chi tak membantu warga Taiwan, malah membantu warga negara lain  seperti Tiongkok?” Kita harus tahu bahwa misi amal dijalankan tanpa memandang segala perbedaan. Semangat humanis bebas dari segala dendam. Menyelamatkan hidup orang lain dan memerhatikan warga kurang mampu adalah semangat humanis. Lagi pula, bukankah Buddha juga berkata bahwa semua makhluk adalah sama?

Setiap makhluk memiliki benih kebuddhaan. Mungkin saja, orang yang Anda tolong hari ini adalah inkarnasi dari Buddha atau Bodhisatwa. Kita hendaknya selalu mencurahkan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kita sungguh harus bersyukur dapat tinggal di Taiwan. Kita harus menghargai berkah ini. Dengan melihat penderitaan orang lain, kita hendaknya dapat mensyukuri berkah kita. Meski kita sangat sibuk dan lelah, namun kondisi kita tak seburuk kondisi para warga di Afrika Selatan. Jika dibandingkan dengan mereka, kita bagaikan hidup di surga. Karena itu, kita hendaknya senantiasa berusaha menunaikan kewajiban kita dan mempraktikkan budaya humanis medis yang penuh cinta kasih. Kita harus menciptakan hubungan yang baik antara dokter dengan pasien. Dokter harus penuh cinta kasih dan pasien harus memiliki rasa syukur, hormat, dan cinta kasih pula.

Contohnya seperti Mingjun. Sewaktu masih menjadi anggota Tzu Ching, ia bertekad untuk memerhatikan para pasien dengan inisiatif sendiri. Ia tak menunggu pasien datang mencarinya, melainkan ia yang mengunjungi pasien. Ia melakukan hal ini hingga sekarang. Jika kita memegang teguh tekad awal, maka kebuddhaan akan tercapai. Asalkan kalian memiliki tekad awal dan senantiasa mempertahankannya, hal ini akan sangat bermanfaat bagi kalian. Menjadi seorang dokter atau perawat tidaklah mudah karena kapan pasien akan sakit atau kondisinya memburuk, tak ada yang tahu.

Berprofesi sebagai tenaga medis sangatlah melelahkan. Terkadang, operasi harus dijalankan selama 24 jam bahkan 36 jam. Bagaimana pun, mereka harus bertahan demi menyelamatkan nyawa pasien. Inilah tekad awal mereka. Semua misi Tzu Chi bagaikan satu keluarga besar. Kita semua memiliki hati dan tekad yang sama. Kita memiliki hati Buddha dan tekad yang tak tergoyahkan. Kita semua harus bertekad agar rumah sakit ini dapat memberikan pelayanan medis yang berkualitas serta dipenuhi budaya humanis sehingga dapat menjadi teladan. Inilah harapan saya. Diterjemahkan oleh: Lena

 
 
Seulas senyuman mampu menenteramkan hati yang cemas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -