Suara Kasih: Mempraktikkan Dharma dan Membina Batin

 

Judul Asli:

Mempraktikkan Dharma dan Membina Batin

Mempraktikkan Dharma dalam tindakan nyata dan membina batin
Menumbuhkan tunas kebajikan melalui Program Kampus Bahagia
Memahami Dharma dalam kehidupan
Mengembangkan cinta kasih universal dengan berkontribusi bagi masyarakat

Waktu berlalu dengan cepat detik demi detik. Hari ini sudah menginjak hari kelima setelah Tahun Baru Imlek. Semua orang melewati liburan Tahun Baru dengan aman dan tenteram. Dalam keluarga besar Tzu Chi, semua orang dengan penuh sukacita memberi ucapan selamat Tahun Baru Imlek melalui video konferensi. Ini sungguh baik. Semua orang menyambut tahun baru yang aman dan tenteram serta penuh sukacita.

Mereka juga tidak lupa untuk membina hati, memperbaiki tabiat buruk, menyerap Dharma ke dalam hati, dan mempraktikkannya lewat tindakan nyata. Meski bergembira merayakan Tahun Baru Imlek, mereka tetap menyerap Dharma ke dalam hati dan merasakan sukacita dalam Dharma. Melihat mereka menyerap Dharma ke dalam hati, saya sungguh merasa senang. Insan Tzu Chi di Taiwan dan Tiongkok merayakan Tahun Baru Imlek, bagaimana dengan insan Tzu Chi di negara lainnya?

Di Malaysia, Tzu Chi menggalakkan “Program Kampus Bahagia”. Mereka menemukan 94 orang murid SD yang berasal dari keluarga kurang mampu. Untuk pergi ke sekolah, para murid harus mengenakan seragam sekolah. Akan tetapi, ada keluarga yang kurang mampu sehingga anak-anaknya harus memakai seragam secara bergantian  untuk bisa ke sekolah. Mengetahui kondisi keluarga ini, insan Tzu Chi tidak sampai hati. Mereka segera melakukan pengukuran badan, lalu membagikan seragam dan sepatu sekolah agar anak-anak bisa bersekolah dengan memakai baju dan sepatu baru.

“Apakah kamu senang bisa memiliki seragam sendiri?” tanya relawan, “Senang,” jawab murid. “Melihat seragam yang mereka pakai ukurannya sesuai, saya juga merasa sangat senang,” ucap relawan Tzu Chi.

Lihatlah, ini semua berkat adanya cinta kasih. Ini merupakan hal yang begitu penuh kehangatan. Insan Tzu Chi begitu memperhatikan dan mengasihi mereka tanpa mementingkan hubungan darah sehingga anak-anak  dapat tersenyum bahagia. Ini sungguh begitu indah. Saya sering berkata bahwa kita tidak mengetahui seberapa panjang usia kita, tetapi kita bisa memperkaya dan memperdalam makna kehidupan kita.

Kita telah melihat Hui-zhen, Bodhisatwa dari Taoyuan yang meninggal pada usia 50 tahun lebih. Dia dia sangat giat melatih diri di Jalan Bodhisatwa Tzu Chi. Dia mengurus keluarganya dengan sangat baik dan merupakan seorang istri yang budiman. Dengarlah apa yang dikatakan suami dan anak-anaknya kepadanya.

Sang anak berkata, “Selama beberapa hari ini, kami telah lebih memahami banyak hal, termasuk kehidupan dan kematian. Ibu, pergilah dengan tenang. Jangan mengkhawatirkan kami. Ibu telah menolong lebih banyak orang. Sebenarnya, kamilah yang paling terharu. Karena kebaikan hati Ibu, Ibu bisa menyelamatkan banyak nyawa dan keluarga. Ibu, saya sayang Ibu.”

Lalu suaminya berkata, ”Istriku, kamu sungguh berani. Kami sekeluarga bangga kepadamu. Kamu bersedia mendonorkan organ tubuh kepada orang lain. Kamu adalah seorang Bodhisatwa.”

Lihatlah, hidupnya begitu singkat, hanya selama 53 tahun. Akan tetapi, kehidupannya begitu kaya dan dalam maknanya. Sang suami dengan penuh cinta kasih membantunya mewujudkan tekad untuk mendonorkan organ tubuh. Sang suami juga berjanji kepadanya untuk mencurahkan segenap hati dan tenaga untuk terjun menjadi relawan Tzu Chi. Dia telah menginspirasi anggota keluarganya dengan mendonorkan organ tubuhnya. Dia merupakan ibu dan istri teladan dalam keluarga, juga teladan di tengah masyarakat. Dia telah memanfaatkan waktu dalam hidupnya untuk berdedikasi. Relawan Tzu Chi lainnya juga menyayangi dan memujinya. Mendengar berita kematiannya, banyak orang yang merasa kehilangan. Ini semua karena dia telah melakukan kebaikan dan menjalin jodoh baik dengan banyak orang.

Kita juga telah melihat Hui-mei, relawan Tzu Chi di Amerika Serikat. Suaminya menderita penyakit Parkinson. Jadi, dia merawat suaminya selama bertahun-tahun. Sebelum menjadi relawan Tzu Chi, dia selalu mengeluh saat merawat suaminya. Akan tetapi, kini dia telah menyerap Dharma ke dalam hati dan merawat sang suami dengan sukarela, lemah lembut, dan penuh kesabaran.

“Dia sakit seperti ini sudah 34 tahun. Awalnya, dia masih bisa bekerja dan berjalan. Sepuluh tahun kemudian, dia sudah tidak bisa bekerja. Jadi, selama sepuluh tahun itu, saya menjadi lebih tidak sabar. Saat merasa marah, saya akan melambaikan handuk dan kadang mengenai tubuhnya. Jadi, dia berpikir bahwa saya memukulnya. Benar tidak? Dipukul dengan handuk tidak akan terasa sakit. Akan tetapi, saya melambaikannya seperti ini. Kakak Ci Ming berkata, ‘Kamu tidak benar.’ Saya bertanya, ‘Mengapa?’ Dia berkata, ‘Kamu harus berbicara dengan lembut.’ Akan tetapi, seperti yang dikatakan anak saya, kami tidak pernah bisa saling mengatakan ‘Saya menyayangimu.’ Dia pun menyuruh saya untuk mengatakan ‘Apa kabar, Wang Neng-shan?’ Saya harus mengatakannnya dengan lemah lembut. Saya tidak bisa mengatakannya.”

“Saya ingat Master pernah berkata bahwa kita harus memiliki tatapan penuh kasih. Jadi, saya berpikir bahwa jika saya lebih menyayangi dan memperhatikannya, mungkin dia tidak akan menjadi begitu rendah diri. Sejak saat itu, saya berusaha mengubah sikap saya terhadapnya. Anda bisa menanyakannya kepada suami saya. Apakah akhir-akhir ini dia menjadi lebih lemah lembut? Saya sendiri merasakannya. Bagaimana mungkin dia tidak merasakannya? Saat Neng-shan berkata bahwa saya tidak galak lagi, saat itulah saya benar-benar telah berubah. Saya bertekad untuk mengubah diri dan saya harap hal itu bisa segera terwujud.”

Ini semua karena adanya jalinan jodoh. Menghadapi jalinan jodoh itu, dia pun bekerja dengan sukarela dan menerima dengan sukacita. Saat bertemu dengan masalah, dia bisa mengatasinya dengan tenang dan damai. Inilah kehidupan manusia. Di dunia ini, masalah yang dihadapi setiap orang berbeda-beda. Akan tetapi, dengan mempelajari ajaran Buddha, hati kita bisa menjadi lebih lapang, jalan hidup kita juga lebih mudah dilalui karena cara pandang kita sudah berubah. Dengan hati yang lapang, jalan hidup kita akan terhubung dengan Jalan Bodhisatwa. Kehidupan seperti ini akan semakin dalam dan luas serta lebih bermakna. Inilah kehidupan yang benar-benar bernilai. (Diterjemahkan Oleh: DAAI TV)

 
 
Menyayangi diri sendiri adalah wujud balas budi pada orang tua, bersumbangsih adalah wujud dari rasa syukur.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -