Suara Kasih: Menapaki Jalan Bodhisatwa

 

Judul Asli:

 

Saling Membimbing dalam Menapaki Jalan Bodhisatwa

 

Perang menghancurkan keluarga
Kerja sama internasional dalam meringankan penderitaan sesama
Mempertahankan niat yang hening, jernih, dan tanpa noda
Bersumbangsih dapat mengembangkan pelatihan spiritual

Topan Songda telah meninggalkan Taiwan, namun ia melanda Jepang. Hal ini sungguh mengkhawatirkan, setelah menghadapi banyak bencana, Jepang dikhawatirkan kembali mengalami kerusakan. Karena itu, setiap hari kita harus berdoa dengan hati yang paling tulus. Semoga doa yang kita panjatkan dengan hati yang hening, murni, dan penuh ketulusan dapat menjangkau para Buddha dan Bodhisatwa. Semoga dunia dapat bebas dari bencana.

Sungguh, segala bencana yang terjadi bersumber dari pikiran manusia dan tak lepas dari pikiran manusia. Kita harus meningkatkan kewaspadaan dan menyadari penyebab terjadinya bencana. Kita harus mengantisipasi bencana, mawas diri, dan tidak terus berbuat kesalahan. Karena itu, kita harus senantiasa berikrar untuk bersumbangsih dengan penuh sukacita. Dengan demikian, barulah kita dapat mengembangkan spiritual.

Mari kita melihat sejarah Tzu Chi tentang Ethiopia. Tanggal 30 Mei 2000 adalah hari peresmian Rumah Sakit Debre Brihan yang renovasinya dibantu oleh Tzu Chi. Rumah sakit tersebut memberikan pelayanan medis kepada 1,8 juta orang. Dengan kata lain, di wilayah yang seluas itu, hanya rumah sakit ini yang bisa mengobati penyakit berat serta memiliki ruang operasi dan kamar bersalin. Pada tahun 1992, perwakilan dari Medecins du Monde (MdM) datang ke Hualien untuk bertemu dengan saya. Mereka membawa informasi tentang kesulitan dan penderitaan di Ethiopia. Saya sungguh tidak tega melihatnya. Karena itu, kita memutuskan untuk bekerja sama dengan MdM. Pada tahun 1993, untuk pertama kalinya relawan Tzu Chi menginjakkan kaki di Ethiopia dan melihat penderitan warga setempat.

 

Mengapa mereka hidup dalam penderitaan? Hal ini terjadi akibat ulah manusia. Sebagian besar warga Ethiopia bermata pencaharian sebagai petani. Akibat perang jangka panjang, banyak pria muda yang dikirim ke medan perang dan yang tertinggal hanyalah wanita dan anak-anak. Bagaimana mereka dapat menggarap ladang? Ditambah lagi dengan bencana kekeringan, wilayah tersebut bagaikan neraka dunia.

 

Saya sungguh berterima kasih kepada para staf dari Yayasan Buddha Tzu Chi dan RS Tzu Chi yang berangkat ke sana pada saat itu. Di antaranya ada Hsu Hsiang Ming yang kini menjabat sebagai kepala dinas kesehatan di Hualien. Saat itu, ia adalah staf Yayasan Buddha Tzu Chi. Bersama dengan Dokter Lin Chein Hsi dan relawan Willson Lin yang sangat bersungguh hati, serta Pan Ming dari Majalah Tzu Chi di Amerika Serikat, dibentuklah sebuah tim menuju Ethiopia untuk pertama kalinya. Saat tiba di sana, mereka melihat kerusakan yang terjadi akibat perang. Kondisi setempat sungguh memprihatinkan.

Sangatlah sulit bagi para relawan untuk mencapai tempat tujuan karena akses jalan yang sulit dan berbahaya. Di sekitar sana tidak ada rumah warga sehingga mereka harus bermalam di pinggir jalan. Saat tiba di sebuah pusat kesehatan di kota terpencil, mereka melihat seorang wanita yang mengalami kesulitan bersalin. Ia digotong oleh 4 orang pria secara bergiliran selama 8 jam untuk tiba di pusat kesehatan tersebut. Kebetulan sekali saat itu dr. Lin juga baru tiba di sana. Melihat wanita tersebut mengalami kesulitan bersalin dan berada dalam bahaya, ia segera membantu menyelamatkannya. Selain itu, mereka juga melihat beberapa pasien yang mengalami patah tulang dan mengikatkan kakinya pada sebuah keranjang berisi batu besar untuk membantu meregangkan kaki mereka. Saya sungguh sedih melihatnya. Sungguh sulit membayangkan bagaimana mereka bertahan hidup.

Kemudian, kita bekerja sama dengan MdM untuk membantu membangun fasilitas medis yang terdiri dari 13 klinik dan 2 pusat kesehatan. Proyek tersebut tidaklah terlalu besar. Tzu Chi bertanggung jawab atas proyek konstruksi, sedangkan Mdm bertanggung jawab untuk melakukan penyuluhan kesehatan dan melatih 300 tenaga medis agar bisa berbahasa Inggris dan melakukan perawatan dasar. Dalam waktu 3 tahun, mereka melatih 300 tenaga medis yang akan ditempatkan di klinik maupun pusat kesehatan.

Tzu Chi juga bertanggung jawab untuk menyediakan air bersih bagi warga setempat. Setiap hari para wanita setempat harus mengambil air. Pagi-pagi sekali, mereka harus berjalan sejauh belasan kilometer untuk menimba air. Mereka meletakkannya di atas kepala. Seember air tersebut berasal dari sebuah kolam yang keruh. Meski terdapat banyak belatung, namun mereka tetap menimba air dari sana. Melihat lingkungan mereka yang tidak sehat, bagaimana saya bisa merasa tenang?

Karena itu, Tzu Chi mengambil tanggung jawab untuk menyediakan air bersih. Kita memasang pipa untuk mengalirkan air dari gunung dan membangun 14 titik penampungan air bagi warga setempat. Mereka sangat senang dan merasa luar biasa karena hanya dengan memutar kran, maka air bersih akan segera mengalir keluar. Mereka sangat kagum dengan air yang mengalir keluar. Warga di Taiwan selalu merasa air leding datang dengan sendirinya. Di mana pun ada air leding. Di Ethiopia tidaklah demikian.

Singkat kata, Ethiopia sungguh tempat yang penuh penderitaan. Insan Tzu Chi telah berkunjung ke sana dan melihat penderitaan warga setempat. Bodhisatwa sekalian, saya sering berkata bahwa kita yang berada di Taiwan sungguh harus bersyukur, banyak orang yang masih tidak berpuas diri. Apa lagi yang kita inginkan? Kita harus senantiasa bersyukur, saling berpengertian, dan saling membantu untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Jalan Bodhisatwa dapat menciptakan Tanah Suci di dunia. Bila setiap orang adalah Bodhisatwa, maka masyarakat akan damai dan harmonis.

 
 
Memberikan sumbangsih tanpa mengenal lelah adalah "welas asih".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -