Suara Kasih : Menciptakan Berkah bagi Dunia

 
 

Dunia selalu penuh dengan penderitaan
Menghargai berkah setelah melihat penderitaan
Mengenang pembangunan sekolah di Dominika
Membangun manusia yang berbudaya humanis

 

“Apa yang kalian dapatkan dari perjalanan ke Indonesia kali ini?” waktu itu saya bertanya pada kru Da Ai TV yang baru saja berkunjung ke sana. Mereka menjawab, “Saya pernah mendengar orang berkata bahwa ada warga yang hidup dari sisa makanan. Ini sungguh sulit dipercaya. Saat melihat mereka mencari sisa makanan, kami serasa tak percaya. Mereka membawa pulang sisa makanan untuk digoreng lalu dimakan. Kami pun berpikir apakah makanan itu layak dikonsumsi?” Kemudian mereka masih lanjut bercerita, “Kami membayangkan mereka hidup dari sisa makanan selama hampir 40 tahun atau seumur hidup. Bahkan anak-anak mereka pun hidup demikian. Bagaimana perasaan orang yang melihatnya? Sepulangnya ke sini, saya terus memikirkan hal ini. Saya kini tak berani hidup boros.”

Saat kru Da Ai TV kembali dari Indonesia, mereka berkata kepada saya, “Master, kami ingin menunjukkan sebuah tayangan kepada Anda.” Para kru yang masih muda ini sangat terkejut melihat penderitaan hidup sesamanya. Mereka menunjukkan dokumentasi dari Indonesia untuk saya saksikan. Beberapa bulan lalu, relawan Tzu Chi Stephen Huang berkunjung ke Indonesia. Insan Tzu Chi setempat mengajaknya berkunjung ke tempat pembuangan akhir sampah. Saat mereka menuju ke sana, sekitar 2 mil dari lokasi, tercium bau tak sedap. Mereka berkata bahwa semakin mendekati lokasi, mereka semakin tak tahan akan bau tersebut. Dalam hati mereka ingin membatalkan kunjungan tersebut, namun tak ada yang berani mengatakannya. Karena itu, mereka terus berjalan. Setibanya di lokasi, mereka merasa ingin muntah. Namun, mereka berusaha menahannya.

Dalam tayangan itu, ada kutipan wawancara. “Masih ingatkah Anda saat datang ke sini pertama kali?” tanya reporter Da Ai TV. “Saya tak bisa makan selama seminggu,” jawab warga di sana. “Apakah Anda muntah?” tanya reporter lagi. Dan warga menjawab, “ Ya. Saya muntah. Benar. Orang yang pertama kali datang ke sini pasti tak tahan akan baunya. Saya juga demikian bahkan jatuh sakit.” Reporter masih melanjutkan bertanya, “Namun Anda tetap tinggal di sini. Apa yang Anda harapkan di sini?” “Saya tak berharap apa pun. Saya hanya tak ingin istri dan anak saya mati kelaparan. Yang terpenting adalah saya memiliki pekerjaan dan dapat menghidupi keluarga,” jawab warga itu.

Kita dapat membayangkan bagaimana kondisi tempat ini. Dalam Sutra Ksitigarbha diceritakan tentang neraka yang penuh kotoran. Di dalam Sutra tersebut, sampah digambarkan bagai kotoran. Bau yang sangat tak sedap ini digambarkan dalam Sutra Ksitigarbha bagaikan kondisi di neraka.

Tempat ini tak hanya berbau tak sedap, kotor, dan dipenuhi sampah, tak hanya demikian, saat truk sampah menumpahkan muatannya. Di tempat ini, lebih dari 5.000 orang menggantungkan hidupnya pada sampah. Mereka tak hanya memulung, saat truk sampah menumpahkan muatannya, banyak orang akan berlari ke sana untuk membongkar kantongan-kantongan sampah dan melihat apa isinya.

Mereka mencari sisa makanan yang tak habis dimakan oleh orang dan dibuang begitu saja. Sisa makanan biasanya bercampur dengan makanan atau sampah lain. Mereka mencari sisa makanan dengan cermat demi menyambung hidup. Saat mereka mencari sisa makanan, makanan dan sampah lainnya akan bercampur menjadi satu. Setelah menemukan sisa makanan, mereka akan membawanya pulang, lalu dicuci dan dimasak kembali. Inilah makanan mereka. Seorang warga lain yang diwawancarai berkata, “Pada malam hari, saya berdoa pada Allah. Hidup saya sangat sulit, untuk memberi makan keluarga saya, harus meminjam uang pada orang lain. Kadang-kadang, kami tidak punya makanan apapun untuk makan. Saya sering menangis, saat mengorek sampah.”

Inilah kehidupan sebagian warga di Indonesia. Saat melihat TPA di Indonesia, saya pun teringat akan TPA di Dominika. Kita ingat pada tahun 1998, sebanyak 8 negara dilanda Badai Georges. Dominika adalah salah satunya. Saat Tzu Chi akan menyalurkan bantuan di sana, salah satu reporter Da Ai TV melihat saat truk sampah tiba, banyak orang tua dan anak-anaknya, entah ada berapa keluarga, datang mengerumuni truk tersebut. Saat truk sampah menumpahkan muatannya, mereka pun segera mencari sisa makanan dan langsung memakannya.

Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu. Melihat kehidupan warga setempat saat itu, kita sungguh merasa tak tega. Anak-anak setempat yang sudah besar pun tidak bersekolah. Kita pun memikirkan cara untuk mengubah kehidupan mereka agar terbebas dari kemiskinan. Karenanya, kita pun merencanakan pembangunan gedung sekolah di lokasi itu.

Kini, gunung sampah tak lagi terlihat di tempat itu. Setelah bermusyawarah dengan pemerintah lokal, kita pun membangun gedung sekolah di tempat tersebut. Setelah gedung sekolah selesai dibangun dan tumpukan sampah tak ada lagi, lokasi tersebut pun terlihat sangat indah. Setelah ada gedung sekolah, perumahan pun dibangun di sekitar lokasi ini.

Kini, di Dominika, terdapat perumahan mewah di sekitar sekolah dasar yang Tzu Chi bangun dan pemandangan setempat sangatlah indah. Awalnya, sekolah yang kita bangun tersebut adalah sekolah dasar. Namun, setelah para siswa mulai bersekolah, fasilitas gedung sekolah pun berubah. “Ada sebagian anak yang putus sekolah karena orang tuanya tak mampu membiayai pendidikannya. Saya pun membujuk orang tua mereka agar anak-anak dapat melanjutkan sekolahnya,” kata relawan setempat. Karena itu, gedung sekolah pun bertambah fungsinya. Pagi untuk kelas sekolah dasar dan siang untuk kelas menengah. Bahkan kini pada malam hari pun dibuka kelas untuk orang dewasa. Warga setempat kini telah banyak berubah baik dalam hal cara hidup maupun kualitas hidup. Kepintaran mereka pun bertambah karena kini semua warga dapat membaca  dan tahu apa yang tengah terjadi di dunia. Dengan bertambahnya wawasan dan pengetahuan, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik pun terbuka lebar. Inilah buah dari cinta kasih kita semua.

Setelah bencana melanda, insan Tzu Chi menyalurkan bantuan dengan dibantu oleh pengusaha Taiwan yang tinggal di sana. Setelah insan Tzu Chi kembali ke Taiwan, merekalah yang meneruskan program bantuan ini. Insan Tzu Chi dari Amerika Serikat rutin berkunjung ke Dominika untuk membagikan semangat dan prinsip Tzu Chi. Kita dapat melihat warga setempat, baik orang dewasa maupun anak kecil, sungguh memiliki tata krama. Inilah hasil didikan yang baik. Mereka dibimbing agar memiliki tata karma dan etiket yang baik. Inilah yang disebut budaya humanis. Dengan adanya budaya humanis, gunung sampah pun berubah menjadi lokasi yang indah. Singkat kata, sungguh banyak penderitaan di dunia. Kita yang hidup dalam lingkungan yang baik harus dapat menghargai berkah. Di dalam dunia Tzu Chi, kita sering melihat penderitaan. Kita juga melihat banyak bencana yang terjadi di dunia. Setelah melihat penderitaan, kita hendaknya dapat menghargai berkah serta menciptakan berkah. Jadi, insan Tzu Chi penuh berkah karena mereka tahu bersyukur, menghargai berkah,serta menciptakan berkah. Akhir kata, kita yang penuh berkah ini hendaknya dapat memanfaatkan waktu untuk membantu sesama. Diterjemahkan oleh: Lena

 
 
Jika menjalani kehidupan dengan penuh welas asih, maka hasil pelatihan diri akan segera berbuah dengan sendirinya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -