Suara Kasih : Menerima Karma dalam Kehidupan


Judul Asli:
Menghargai Dharma dalam Kehidupan yang Tidak Kekal

Karma buruk dari banyak kehidupan lampau kini telah berbuah
Ketenangan dan kedamaian batin merupakan pelimpahan jasa yang terbesar
Menghargai Dharma dalam kehidupan yang tidak kekal
Senantiasa bersemangat menumbuhkan kebijaksanaan

“Saat Kakak Run Lian sakit, ia tidak pernah menyerah. Setiap kali kami mengunjunginya, ia selalu tersenyum menyambut kami dengan penuh kebijaksanaan, ketenangan, keuletan, dan keberanian. Sesungguhnya, ia adalah Bodhisattva yang paling teladan. Ia juga memperlihatkan kepada kita bahwa hidup manusia sungguh tidak kekal. Ketika penyakit atau kesulitan datang, bagaimana kita menghadapinya? Kita harus menggunakan kebijaksanaan murni untuk menghadapi segala kesulitan. Tadi kita dapat merasakan rasa kehilangan yang ada di hati setiap orang. Semua orang sungguh merasa kehilangan.” (seorang relawan Tzu Chi, sahabat almarhumah Run Lian Shijie)

Murid saya yang baik, Run Lian telah menderita sakit dalam waktu yang panjang. Sungguh khawatir dan tidak tega melihatnya. Meskipun begitu, saya merasa terhibur oleh keteguhannya dalam melatih diri. Saya merasa terhibur karena ia dapat melatih diri di tengah penyakitnya. Sungguh tidak mudah. Tadi kita sudah mendengar semua orang berkata bahwa ia sungguh-sungguh merupakan teladan budi pekerti. Ia bahkan menulis untuk saya, “Master, karma buruk saya dari banyak kehidupan kini telah berbuah.” Bagaimana saya tidak sedih mendengarnya? Hatinya sangatlah lapang, murni, dan begitu menyelami Dharma. Murid baik seperti dirinya, alangkah baiknya jika dapat hidup beberapa tahun lagi. Namun, saya memahami hukum sebab akibat. Segala jalinan jodoh memiliki batas waktu. Karena kehidupan merupakan fenomena yang berkondisi, maka ia bersifat tidak kekal.

Setiap orang termasuk saya tak luput dari ketidakkekalan, masalahnya hanya cepat atau lambat. Sesungguhnya, kelahiran dan kematian berawal dari kekotoran batin. Oleh sebab itu, untuk terbebas dari kelahiran dan kematian, kita harus melenyapkan kekotoran batin. Yang terpenting, Dharma di dalam hati kita tak boleh lenyap dan harus senantiasa ada. Jika Dharma meresap ke dalam hati, barulah kehidupan kita akan abadi. Apakah artinya? Jiwa kebijaksanaan kita terus bertumbuh. Kebijaksanaan kita akan terus bertumbuh dari kehidupan ke kehidupan.

Meski kita merasa kehilangan atas meninggalnya Run Lian, namun suaminya lebih merasa kehilangan. Rasa kehilangan ini ia ubah menjadi keikhlasan. Ia berkata pada saya bahwa ada yang mengusulkan apakah perlu mencari bhiksu atau bhiksuni untuk datang mendoakan serta membacakan Sutra untuk istrinya? Namun, Run Lian merasa tidak perlu karena menurutnya  insan Tzu Chi adalah Bodhisattva dunia yang memiliki Tiga Permata yang hakiki. Saya sangat tersentuh mendengarnya. Run Lian pun berkata bahwa ia menggunakan tubuhnya sebagai pelimpahan jasa. Saya pun semakin tersentuh lagi.

Benar, saat ia berada dalam kondisi sakit, hatinya tetap tenang dan damai, serta terus mengingat Dharma sehingga tak merasa risau sama sekali. Keyakinannya kian bertambah terhadap Tiga Permata. Kata-katanya bahwa, “Karma buruk dari banyak kehidupan kini telah berbuah,” bukankah merupakan perlimpahan jasa? Inilah perlimpahan jasa yang paling nyata. Ia menerima buah karma buruk dari kehidupan lampaunya dengan sukarela.

Saya pernah bercerita tentang kisah Maha Maudgalyayana yang unggul dalam kekuatan batin. Suatu hari, sebelum berangkat beliau bersujud kepada Buddha dan berpamitan. Dengan pandangan penuh welas asih, Buddha mengantar kepergian Maha Maudgalyayana. Pada saat itu, Sariputra berkata kepada Buddha, “Yang Dijunjung, kepergian Maha Maudgalyayana tidak seperti biasanya.” Buddha pun menjawab, “Benar, namun keadaan batinnya penuh kedamaian.” Buddha pun menghela napas panjang dan melanjutkan, “Karma buruknya sangat berat bagai Gunung Sumeru. Kini semuanya akan berbuah.” Saat mendengar hal ini, semua orang bertanya-tanya. Sementara itu, di suatu siang Maha Maudgalyayana memilih sebuah batu datar sebagai tempatnya beristirahat. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh menimpanya hingga mati. Ketika berita ini diterima oleh Buddha, semua orang baru memahami maksud Buddha dan bertanya apakah karma buruk Maha Maudgalyayana pada kehidupan dulu. Sebenarnya, apakah penyebabnya dan apakah buahnya?

Buddha mulai menceritakan kehidupan lampau Maha Maudgalyayana. Ia adalah seorang nelayan. Entah sudah berapa nyawa yang dibunuh olehnya. Jadi, dalam hukum karma, benih perbuatan akan terakumulasi dari kehidupan lampau. Jika kita menerima buahnya pada kehidupan ini, maka pada kehidupan mendatang kita tak akan membawa banyak benih karma buruk. Dengan batin yang murni, dari kehidupan ke kehidupan kita akan senantiasa berjalan di Jalan Bodhisattva dan memperoleh pencapaian dalam melatih diri.

Tadi kita telah mendengar bahwa Run Lian menyadari hal ini meski berada dalam keadaan sakit dan membuat saya merasa tersentuh. Ia berkata,“Master, karma buruk saya dari banyak kehidupan kini telah berbuah.” Saya sungguh kagum dengannya.

Bagaimana dengan upacara pelimpahan jasa? Ia berkata, “Saya akan menggunakan tubuh saya sebagai pelimpahan jasa.” Begitulah, setiap hari ia melimpahkan jasanya. Apakah kita mampu melakukannya? Ini sangatlah sulit. Saya merasa tenang terhadap Run Lian. Meski merasa kehilangan, saya tetap merasa tenang. Saya sungguh berterima kasih kepada insan Tzu Chi yang mendampinginya. Terima kasih atas cinta kasih kalian terhadapnya. Namun, saya ingin mengatakan bahwa walapun kita sangat berduka, kita tetap harus menjadikan dirinya sebagai teladan. Ini lebih penting daripada berduka.

Saudara sekalian, karena pada kehidupan lampau kita telah menanam banyak benih karma, maka kita harus menerima buahnya dengan penuh pengertian. Kita harus melatih keuletan kita dan menghadapi kenyataan. Segala hal yang berkondisi di dunia ini bersifat tidak kekal. Tubuh kita mengalami penuaan setiap hari. Jadi, saya ingin menekankan kembali bahwa dengan berlalunya satu hari, usia kita pun berkurang satu hari. Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.

Diterjemahkan oleh: Erni & Hendry Chayadi
Foto: Da Ai TV Taiwan
Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -