Suara Kasih: Mengenang Sejarah Perjalanan Tzu Chi dalam Membantu Kaum Papa

 

 

Judul Asli:

Mengenang Sejarah Perjalanan Tzu Chi dalam Membantu Kaum Papa

Mengulas kembali sejarah perjalanan Tzu Chi dalam membantu kaum papa
Mengadakan bazar demi membantu orang yang dilanda bencana
Relawan Tzu Chi Afrika Selatan membantu orang kurang mampu dan orang sakit
Bunga teratai mekar tak ternoda meski tumbuh di tengah lumpur

”Saat itu, saya punya seorang teman di Hualien bernama Li Shi. Nama Dharmanya Jing Fen. Pada tahun 1971, dia datang mengajak saya dan berkata bahwa di Hualien ada sebuah wihara yang ingin mengadakan kegiatan untuk menolong kaum papa. ”Mereka tengah menggalang dana,”cerita Jing Ming. Jing Ming berkata, “Baiklah, saya akan berdana sebesar 100 dolar NT per bulan.” Dua benih Tzu Chi yang pertama di Taipei adalah Jing Fen dan Jing Ming. Jing Fen adalah kakak Li Shi. Jing Ming dan Jing Fen adalah saudara angkat. Berhubung Li Shi bercerita pada kakaknya tentang Tzu Chi di Hualien, maka kakaknya mengajak saudara angkatnya, Jing Ming untuk mengikuti retret pada tahun itu.

Pada tanggal 7 Mei 1972, usai mengikuti retret, Jing Ming menyatakan berguru pada saya. Dia membangun ikrar luhur sebelum kembali ke Taipei. Induk kekuatan dari kedua benih ini adalah Jing Ming. “Setiap kali bertemu orang, saya selalu mengajak mereka untuk berdana. Sebagian besar dari mereka berdana sebesar 20 atau 10 dolar NT. Lalu, tetangga saya memberi tahu saya bahwa ada warga ingin berdana sebesar 40 dolar NT, tetapi dia tinggal di lantai 4. Biasanya, saya harus beristirahat beberapa kali jika menaiki tangga hingga 4 lantai, tetapi begitu mendengar donasi sebesar 40 dolar NT,  saya sangat gembira. Saya menjadi sangat bertenaga.Saya langsung naik ke lantai empat tanpa terengah-engah,” kenang Jing Ming.

Sejak saat itu, dia mulai mengajak banyak orang untuk bergabung dengan Tzu Chi. Tiga orang komite tertua di Taipei juga terinspirasi oleh Jing Ming. “Master menjelaskan kepada kami tentang Tzu Chi. Master berkata bahwa banyak warga Hualien hidup dalam kondisi serba minim. Banyak dari mereka bahkan kesulitan untuk belanja sayur. Karenanya, Master mencari cara untuk membantu mereka. Master bilang, “Untuk sementara ini, saya menggalang dana dengan menggunakan celengan bambu. Sebelum keluar membeli sayur, sisihkan dahulu 50 sen ke dalam celengan bambu. Dari 30 donatur,sebulan bisa terkumpul 450 dolar NT. Master terus berbicara dan kami terus menangis. Kami terus menangis hingga Master selesai bicara. Kami bertiga sudah menangis belasan tahun. Kami terus menangis hingga RS selesai dibangun.”

Master kembali bertanya, “Bagaimana perasaan kalian setelah mendengarnya?” relawan menjawab, “Saya sangat mengagumi Master. Master sangat mulia.” Master menjawab, “Benarkah? Jika begitu, kamu harus membantu saya.” Relawan itu berkata, “Bagaimana cara saya membantu Master? Saya tidak punya uang.” Master bilang, “Saya tidak mau uangmu.Saya mau kekuatanmu dan dirimu.” Sejak saat itulah, benih Tzu Chi terus bertumbuh menjadi tak terhingga. Peristiwa itu sudah berlalu hampir 30 tahun. Akhir tahun lalu, saat menghadiri acara Pemberkahan Akhir Tahun, saya bertemu dengan yang tertua dari mereka. Dia menjadi sangat pelupa. Saat saya bertanya siapa nama anaknya,dia malah bertanya, “Siapa, ya?” Dia bahkan lupa nama anaknya sendiri.

Saya bertanya, “Apakah kamu masih ingat nama saya? Apakah kamu masih ingat nama Master?”. ”Master? Master Cheng Yen. Benar tidak? Saya hebat tidak? .” “Hebat. Hebat sekali,” ujar relawan yang lain. “Dia masih mengingat Tzu Chi. Dia tidak melupakan saya. Sungguh menggemaskan. Karena itu, saya terus berharap setiap orang bisa mempelajari sejarah perjalanan Tzu Chi,” ucap Master Cheng Yen.

Bodhisatwa sekalian, lihatlah Bodhisatwa lansia yang begitu menggemaskan. Kalian harus mewakili saya mengasihi dan memperhatikan mereka. Inilah perhatian antarsaudara se-Dharma. Kita juga melihat insan Tzu Chi di Kaohsiung mengenang kembali bus tujuan Tzu Chi ke Hualien. Mereka membuat sebuah simulasi bus di dalam ruangan dan membuat pemandangan seolah-olah kita kembali pada tahun 70-an. Lihat, mereka sungguh berbakat. Saat itu, insan Tzu Chi Kaohsiung berkunjung ke Hualien dengan menumpang bus. Singkat kata, inilah awal berdirinya Tzu Chi yang dimulai dari 30 celengan bambu, bus tujuan Hualien, kereta api tujuan Hualien,hingga ada pencapaian kita hari ini. Jadi, Bodhisatwa sekalian, janganlah kita melupakan kerja keras setiap benih relawan Tzu Chi.Saya sungguh berterima kasih. Kita juga harus senantiasa meningkatkan kewaspadaan. Ketidakselarasan empat unsur alam di dunia terus mendatangkan kerusakan bagi bumi. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita harus lebih berintrospeksi.

Kita juga melihat ketidakharmonisan dalam masyarakat yang terjadi akibat ulah manusia. Lihatlah konflik antara polisi dan warga di Bangladesh. Saya sering bertanya, “Mengapa? Mengapa manusia tidak bias saling mengasihi dan saling memperhatikan? Mengapa manusia harus saling bertikai seperti itu?” Kita telah melihat bencana alam telah mendatangkan penderitaan bagi banyak orang. Akan tetapi, kita juga dapat melihat sumbangsih penuh ketulusan dari banyak orang. Lihatlah, sekolah yang kita bantu pembangunannya pascagempa 21 September 1999. Para murid di sekolah itu berinisiatif menggalang dana dan cinta kasih untuk membantu korban bencana di Ya’an, Sichuan kali ini.

Kita juga melihat relawan di Afrika Selatan yang berada jauh dari kita. Saudara sekalian, saya sering memuji relawan Tzu Chi di Afrika Selatan. Ada orang yang berkata bahwa saya pilih kasih karena selalu memuji relawan Tzu Chi di Afrika Selatan. Ketahuilah bahwa setiap relawan di Afrika Selatan itu bagaikan mutiara hitam yang bernilai bagi saya. Ketahuilah bahwa mereka telah menerapkan semangat cinta kasih Tzu Chi di dalam komunitas mereka. Meski mereka sendiri hidup kekurangan,tetapi mereka masih bersedia membantu orang yang hidup menderita. Mereka bahkan berangkat ke negara tetangga untuk memberikan bantuan. Mereka sendiri sudah hidup serba kekurangan, namun masih berangkat ke Mozambik dan Swaziland untuk memberikan bantuan.

Kontribusi mereka telah menginspirasi seorang wanita bernama Ana. Mulanya, Ana adalah seseorang yang sangat pembangkang dan tidak disukai oleh orang. Hampir seluruh warga desa menjauhkan diri darinya. Tahun lalu, relawan Tzu Chi Afrika Selatan kembali berangkat ke negara  tetangga untuk memberikan bantuan. Saat semua relawan lain tengah melakukan survei, Ci Lei berada di mobil sendirian untuk menjaga mobil. Kemudian, Ci Lei melihat seorang wanita yang berpakaian tidak rapi dan sangat kotor. Saat melihatnya, Ci Lei melambai-lambaikan tangan padanya dengan sikap bersahabat karena Ci Lei adalah orang yang tahu tata krama. Saat wanita pembangkang itu melihat Ci Lei yang juga berkulit hitam seperti dirinya melambai-lambaikan tangan padanya dengan sikap bersahabat, dia pun perlahan-lahan berjalan mendekati Ci Lei.

Sejak saat itu, relawan Tzu Chi terus memperhatikan dan melakukan pendekatan padanya. Beberapa waktu kemudian, Ana mulai mengubah hidupnya dan meminta maaf pada orang tuanya. Dia bahkan bisa membimbing orang lain padahal dia masih mengenakan rompi relawan dan butuh bimbingan. Dia telah membimbing banyak pasien penderita AIDS. banyak pasien penderita AIDS.Mereka mencurahkan perhatian bagi orang-orang yang menderita penyakit dan hidup kekurangan. Relawan ini bernama Dai-lin.Dia adalah wanita Taiwan yang menikah dengan pria Mozambik.Dia bekerja sama dengan relawan Afrika Selatan untuk membantu para warga Mozambik yang hidup kekurangan dan menderita penyakit. Tentu saja, relawan Afrika Selatan telah berulang kali melakukan kunjungan. Mereka telah berkunjung ke Swaziland sebanyak 12 kali dari tahun lalu hingga tahun ini.Mereka juga telah mengunjungi Mozambik sebanyak lima kali. Sekelompok relawan Afrika Selatan itu adalah mutiara-mutiara hitam yang sangat bernilai bagi saya. Untuk kembali ke Taiwan, mereka harus terus bekerja keras baru bisa membayar biaya perjalanan mereka.

Intinya, semua relawan harus menanggung sendiri biaya perjalanan mereka. Banyak sekali kisah yang menyentuh. Setiap langkah mereka meninggalkan ”jejak bunga teratai”. Ke mana pun mereka melangkah, pasti dapat mengetuk hati warga setempat hingga bagaikan teratai yang tumbuh di tengah lumpur. Saya sungguh tersentuh melihatnya. (Diterjemahkan Oleh: Karlena Amelia )

 
 
Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -