Suara Kasih : Menggalang Hati

 

Judul Asli:

Menggalang Hati
Demi Meringankan Penderitaan Sesama
 

Melihat kehidupan manusia yang penuh keterbatasan
Menggantungkan hidup pada gunung sampah
Akibat dari mewabahnya penyakit sungguh sulit dibayangkan
Menggalang hati untuk membebaskan sesama dari penderitaan

Bencana seringkali terjadi di dunia ini. Semua dikarenakan ketidakselarasan 4 unsur alam maupun hati manusia. Beberapa hari lalu, warga Tunisia berunjuk rasa untuk memaksa presiden mundur dari jabatannya. Aksi protes ini menimbulkan kekacauan yang sangat parah. Kita sering mendengar tentang efek kupu-kupu. Apakah efek kupu-kupu ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi? Tentu saja. Hal ini juga disebabkan kehidupan warga yang serba sulit. Kondisi ini membuat warga bangkit untuk berunjuk rasa. Hal ini sungguh mengkhawatirkan. Kemajuan teknologi masa kini sangatlah baik. Namun, orang-orang tak memanfaatkannya untuk memurnikan dan menenangkan hati manusia. Mereka malah menyalahgunakannya sehingga konflik dan kekacauan dalam masyarakat terus terjadi tanpa henti. Jika kondisi masyarakat tak stabil, bagaimana warga dapat mengubah kehidupannya? Hal ini sungguh tak mungkin. Yang miskin akan semakin miskin, yang kelaparan akan semakin kelaparan. Kondisi ini akan menciptakan siklus yang buruk. Hal ini sungguh memprihatinkan.

Beberapa hari lalu, seorang mantan pejabat negara di Indonesia yang juga adalah teman baik presiden mendampingi Ketua Umum Induk KUD datang ke Taiwan khusus untuk berkunjung ke Tzu Chi. Empat Misi Tzu Chi telah sering mereka dengar. Lagi pula, insan Tzu Chi di Indonesia sering berkata bahwa Tzu Chi berasal dari Taiwan. Mereka menjelaskan tentang Tzu Chi dan pemikiran saya di balik semua misi Tzu Chi. Hal ini menimbulkan rasa keingintahuan. Selama berkunjung beberapa hari, mereka sangat terkesan dengan semua yang mereka lihat dan dengar.

Populasi di Indonesia mencapai 200 juta lebih jiwa dan lebih dari seperempatnya adalah warga kurang mampu. Lebih dari 70 juta warga yang bekerja di bidang perikanan dan pertanian memiliki pendapatan yang sangat rendah. Bagaimana cara mengubah kehidupan mereka? Saya berbincang dengan mereka mengenai kondisi laut, cuaca, dan sebagainya. Kami juga mengulas tentang sebagian warga yang hidup bukan dari bertani atau nelayan. Warga yang hidup sangat minim ini menggantungkan hidup pada apa? Sampah. Sebuah Tempat Pembuangan Akhir setiap hari menerima lebih dari 6.000 ton sampah dan lebih dari 5.000 orang hidup dari sampah-sampah ini. Sungguh sulit dipercaya.

Saat kru Da Ai TV berkunjung ke sana, mereka merasa tak percaya akan adanya kehidupan seperti ini. Namun, inilah kenyataannya. Lebih dari 6.000 ton sampah ini diantar ke TPA dalam waktu yang berbeda-beda. Saat truk sampah tiba, orang-orang akan segera menuju ke sana untuk mencari. Apa yang mereka cari? Apa pun yang masih dapat dimanfaatkan, terutama makanan. “Wanita ini terus mengaduk dan membuka kantongan-kantongan sampah. Ini adalah sampah makanan dari sebuah restoran. Pasti ada daging di dalamnya. Ia akan membawanya pulang, mencucinya, kemudian memasaknya kembali. Inilah makanan bagi keluarganya. Bukan hanya keluarganya yang hidup seperti ini. Lebih dari 5.000 orang menggantungkan hidupnya pada sampah,” demikian lapor reporter Da Ai TV dalam liputannya.

Seorang wanita yang diwawancarai kru Da Ai TV berkata bahwa sejak kecil ia hidup serba kekurangan dengan ayahnya. Karena itu, mereka berangkat ke Jakarta untuk mengadu nasib. Namun, karena ayahnya tak punya keterampilan, ia terpaksa memulung. Sejak kecil, ia ikut ayahnya memulung. Kini, anaknya pun mengikuti ia memulung. Mendidik anak-anak sejak kecil akan lebih mudah. Namun, jika mereka hidup di lingkungan seperti ini, apapun yang diajarkan di sekolah tak akan lagi diingat setelah pulang dari sekolah. Yang berpengaruh sangat besar terhadap anak-anak adalah lingkungan. Meski bersekolah, mereka harus memulung sepulang dari sekolah. Hasil memulung sepanjang hari dari 5 orang sekeluarga tidak lebih dari lima puluh ribu rupiah.

“Waktu malam, saya berdoa dan bilang pada Allah, hidup saya begitu susah. Saya harus pinjam uang dari orang lain untuk meneruskan hidup. Kadang kita tidak punya apa-apa untuk makan. Saya sering nangis waktu nyari sampah,” kata seorang ibu. Tiga puluh tahun telah berlalu. Lihatlah. Berapa banyak orang yang hidup seperti wanita ini? Lima ribu orang lebih. Orang tuanya adalah pemulung, suaminya adalah pemulung, bahkan anaknya juga seorang pemulung. Berapa banyak wanita seperti ini? “Harapan saya Cuma biar anak saya rajin sekolah dan rajin ngaji. Harapannya dia bisa jadi orang sukses, bisa dapat kerja kalau sudah besar nanti, jadi tidak seperti saya ini,” lanjut ibu itu.

Lihatlah. Kita sungguh harus bersyukur atas berkah yang kita miliki. Inilah kehidupan manusia. Dunia ini sangat membutuhkan Bodhisatwa. Bukankah kita harus menggalang lebih banyak Bodhisatwa dunia? Belakangan ini, insan Tzu Chi di Indonesia mulai memerhatikan warga sekitar TPA tersebut. Mereka juga telah mengadakan baksos di sekolah setempat. Kemarin, saya juga bertanya adakah kemungkinan pemerintah setempat dapat menyediakan sebuah lahan di samping TPA agar kita dapat mendirikan bank makanan sehingga warga setempat tak perlu lagi mengaduk sampah untuk mendapatkan makanan. Ini adalah langkah pertama yang saya sarankan. Hal ini janganlah ditunda karena andaikata mereka terjangkit penyakit akibat makanan yang tak sehat dan wabah mulai menyebar, maka kerugian yang ditimbulkan akan semakin besar. Bila wabah penyakit mulai merebak, maka akibatnya akan sangat menakutkan. Saya meminta mereka membicarakan hal ini kepada bapak presiden dan berharap beliau dapat mempertimbangkannya. Ketua Umum Induk KUD berkata bahwa hal ini mungkin agak sulit diwujudkan, namun ia akan mencari cara agar dapat memulainya dari lahan yang kecil.

Lihatlah, menjadi Bodhisatwa sungguh tak mudah. Kita harus tetap semangat dan pantang menyerah. Kita harus bekerja keras untuk menyelesaikan masalah dari akarnya. Namun, hingga suara saya habis pun, orang-orang tak mendengarkan saya. Bagaimanapun, kita harus tetap bekerja keras dan pantang menyerah. Akhir kata, semoga setiap orang memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin untuk menggalang Bodhisatwa dunia. Saya berterima kasih atas sumbangsih kalian yang penuh cinta kasih dan kesungguhan. Diterjemahkan oleh: Lena

 
 
Ada tiga "tiada" di dunia ini, tiada orang yang tidak saya cintai, tiada orang yang tidak saya percayai, tiada orang yang tidak saya maafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -