Suara Kasih: Menghargai Sumber Daya Alam
Judul Asli:
Berhemat dan Menghargai Sumber Daya Alam Berintrospeksi saat melihat serangkaian bencana yang terjadi | |||
Lihatlah Jepang yang selama lebih dari 30 tahun ini tak pernah terjadi pemadaman aliran listrik secara besar-besaran, kini tengah terjadi pemadaman aliran air dan listrik. Hal ini karena PLTN di Fukushima mengalami kerusakan sehingga tenaga listrik menjadi terbatas. Seluruh warga Jepang diimbau agar tidak menyalakan penyejuk ruangan. Orang zaman sekarang sangat bergantung pada listrik. Mereka selalu menyalakan penyejuk ruangan, lemari es, dan lain-lain yang dapat memboroskan listrik. Karena sumber listrik menjadi terbatas, setiap orang harus hidup dalam kondisi kekurangan listrik dan air. Warga setempat mengalami kehidupan yang sulit. Selain itu, pemulihan lokasi bencana juga berlangsung dengan sangat lambat. Hingga kini, baru 30 persen reruntuhan yang sudah dibersihkan. Sisanya masih ada 70 persen. Sebanyak lebih dari 48.000 keluarga hidup tanpa air. Bayangkanlah, dalam cuaca yang begitu panas, bagaimana mereka bisa hidup tanpa air? Mereka tak bisa mandi dan minum. Lihatlah betapa sulitnya kehidupan mereka. Mereka melewati satu hari bagai satu tahun. Karena itu, saat ada air, kita harus hemat dalam menggunakannya. Mungkin ada orang akan berpikir, "Itu adalah masalah di Jepang, sedangkan Taiwan memiliki banyak air, apa yang harus kita khawatirkan?" Karena itu, mereka memboroskan dan mencemari sumber air. Sebersit niat sangatlah penting. Kita semua hidup di bumi yang sama. Kita semua hidup di kolong langit dan berpijak di atas bumi yang sama. Bila kita memboroskan air di sini, maka sumber daya air di tempat lain juga akan berkurang perlahan-lahan. Mengingat hampir 50.000 keluarga di lokasi bencana tidak ada air, saya sungguh merasa sedih. Selain itu, karena pemadaman listrik dan tidak ada penyejuk ruangan, para warga hidup dalam penderitaan. Banyak warga yang pingsan akibat kepanasan. Warga yang meninggal akibat kepanasan juga tidak sedikit. Singkat kata, melihat orang lain yang hidup menderita akibat bencana, kita sungguh harus mengintrospeksi diri dan mengubat tabiat buruk. Janganlah kita memboroskan sumber daya alam dan menyebabkan iklim menjadi ekstrem. Ini semua bergantung pada pola hidup kita. Kini kita harus belajar hidup rajin, hemat, dan memiliki semangat tahan cobaan. | |||
| |||
Melihat begitu banyak orang yang masih hidup dalam penderitaan, apakah kita tega untuk bersenang-senang? Apakah kita tega untuk berekreasi dan menghabiskan uang? Saya sungguh tidak tega. Bila merasa tidak tega, maka kita akan memiliki kekuatan untuk membantu orang lain, inilah bodhisatwa dunia. Bodhisatwa dunia selalu menggarap ladang berkah dan menginspirasi lebih banyak orang untuk membangkitkan cinta kasih. "Kalian datang demi membantu kami. Saya hanya mampu membalas jasa kalian dengan melakukan hal yang kecil. Saya sungguh berterima kasih kepada Tzu Chi," kata salah seorang warga. Saat para lansia menerima bantuan dana tunai, mereka menangis dan berkata, "Kami tidak akan melupakan kebaikan kalian seumur hidup." Ini meninggalkan kesan yang dalam bagi saya. Di depan sekolah dasar ini, ada siswa yang terbawa oleh arus air. Keluarganya datang setiap hari untuk mengganti bunga. Saya sungguh melihat kedukaan korban bencana. Karena bencana kali ini, para relawan belajar untuk memikul lebih banyak tanggung jawab. Jadi, kita dapat melihat jiwa kebijaksanaan mereka bertumbuh. Inilah hal yang paling membahagiakan. Kini ada sekelompok relawan Tzu Chi di Jepang yang mengadakan pembagian bantuan. Tanggal 18 Juli kemarin adalah hari ke-3. Ada insan Tzu Chi yang pingsan karena cuaca sangat panas. Namun, karena ada cinta kasih dalam hati, wajah mereka selalu tersenyum. Meski bermandikan keringat, mereka rela demi membantu korban bencana. Meski cuaca sangat panas, mereka tetap bersedia berada di sana dan menghadapi penderitaan seperti korban bencana. Inilah cinta kasih. Bodhisatwa dunia rela bersumbangsih bagi makhluk yang menderita. | |||
| |||
Ada beberapa orang tua yang menyekolahkan anaknya di Tokyo. Anak-anak tak berani memberi tahu teman sekolahnya bahwa mereka berasal dari Prefektur Fukushima. Mereka khawatir orang lain akan berkata, "Kalian berasal dari Fukushima, jadi tubuh kalian ada radiasi." Mereka khawatir akan dikucilkan oleh orang lain. Karena itu, mereka tak berani berkata bahwa mereka berasal dari Fukushima. Inilah ketakutan yang dialami oleh mereka. Ada orang tidak berani kembali ke rumah karena khawatir dengan radiasi. Meski kembali ke rumah, mereka akan mengisolasi rumah agar air hujan yang telah terkontaminasi oleh radiasi tidak masuk ke dalam rumah. Saat berada dalam kondisi aman dan tenteram, kita harus menghargainya dan bersyukur. Kita juga harus mengendalikan pikiran agar tidak terbuai oleh kenikmatan duniawi dan bersikap boros. Kini kita harus menyatakan pertobatan kita. Dengan bertobat, barulah dapat menampilkan ketulusan kita untuk berdoa bagi keselamatan dunia. Semoga Bodhisatwa sekalian baik Bodhisatwa cilik maupun Bodhisatwa muda dapat senantiasa mengintrospeksi diri dan bersungguh hati. (Diterjemahkan oleh: Karlena Amelia) | |||