Suara kasih: Menjadi Teladan dalam Cinta Kasih
Judul Asli:
Gempa dahsyat menyadarkan seorang dokter untuk bergabung dengan Tzu Chi
| |||
Saat beranjak keluar, langkah kaki saya terasa sangat berat. Setiap langkah saya terasa sangat berat karena dr. Cai Zong-xian telah meninggal dunia pukul dua dini hari tadi. Kehidupannya begitu singkat. Dia adalah orang baik, juga adalah dokter yang baik. Dia menderita polio sejak kecil. Meski kakinya sedikit cacat, dia sangat baik hati dan optimis.Dia tumbuh besar di sebuah keluarga yang sangat indah dan bahagia. Sang nenek sangat mengasihinya. Orang tuanya mendidiknya dengan penuh kebijaksanaan dan cinta kasih. Kakak dan adiknya juga sangat mengasihi dan melindunginya. Mereka memperlakukan dan menyemangatinya bagai terhadap anak normal. Karena itu, batin dr. Cai sangat sehat. Berkat jalinan jodoh yang baik inilah, dia akhirnya menjadi dokter. Dia juga pernah berpikir untuk berimigrasi ke negara lain.Akan tetapi, gempa bumi di Taiwan pada tanggal 21 September 1999 silam membuatnya sadar. “Saya tidak menyangka dalam waktu sekejap, ada banyak sekali insan Tzu Chi yang bergerak untuk membantu di saat-saat yang paling dibutuhkan. Saat itu, saya tinggal di daerah Xinyi, Taipei. Pada keesokan paginya, saya melihat ada banyak relawan yang menyiapkan makanan hangat di sana. Saat itu, saya merasa sangat tersentuh. Saya pun menelepon seorang anggota komite dan bertanya padanya, ‘Saat ini selain mendonasikan uang, apa lagi yang bisa saya lakukan?’ Dia berkata kepada saya bahwa saya bisa bergabung dengan TIMA.” Setelah bergabung dengan Tzu Chi, dia sangat aktif dalam penyaluran bantuan bencana internasional dan baksos kesehatan.Suatu kali, lewat sebuah tayangan tentang baksos kesehatan, saya melihat dr.Cai yang memiliki keterbatasan dalam bergerak. Dia juga naik kapal untuk mengikuti baksos kesehatan di sebuah pulau. Seorang anggota TIMA berkata kepada saya bahwa dr. Cai tidak pernah absen dalam setiap baksos kesehatan. Baik baksos di wilayah pegunungan maupun pedesaan, tidak pernah kurang dia seorang. Bahkan saat mengadakan baksos di luar pulau, dia juga selalu ikut serta. Dia sangat begitu tekun dan bersemangat. Saat penyaluran bantuan bencana internasional, seperti Sri Lanka, Indonesia, Tiongkok, dll., dia juga pernah ikut serta. | |||
| |||
Yang membuat saya lebih berterima kasih kepadanya adalah saat RS Tzu Chi di Taiwan bagian timur kesulitan mencari tenaga dokter, dia memberanikan diri untuk menjadi relawan di sana. Setiap hari Jumat, dia menumpang kereta api keberangkatan pagi demi membuka praktik di RS Tzu Chi Yuli. Dia baru pulang ke rumah pada Sabtu malam. Perjalanan pulang pergi itu memerlukan waktu lebih dari 10 jam. Dari tahun 2004 hingga kini, dia tidak pernah absen. “Perjalanannya empat jam.” “Sangat cepat.” “Lelah tidak?” “Tidak. Bisa “berlibur” di Hualien dan Taidong selama dua hari mana mungkin lelah.” Setelah memeriksa pasien, dia segera menjadi relawan dengan pergi ke setiap kamar pasien untuk menyemangati mereka. Jika ada waktu, dia juga akan kembali untuk menjadi relawan di RS Tzu Chi Hualien. Dia telah dilantik menjadi anggota Tzu Cheng dan anggota komisaris kehormatan Tzu Chi. Meski dia sendiri membuka klinik gigi, tetapi dia bisa mengesampingkan usahanya dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Tzu Chi. Tahun ini, dia mengajak keluarganya untuk pindah ke Hualien. | |||
| |||
Saat mengetahui bahwa dia dirawat inap di Taipei, saya pun meneleponnya dan bertanya, “dr. Cai, bagaimana kondisi kesehatanmu?” Dia menjawab, “Master jangan khawatir.” “Saya mungkin tidak perlu melakukan transplantasi lever, hanya perlu minum obat saja.” Saat itu, saya berkata kepadanya, “Cepatlah sembuh, cepatlah kembali.” Saat mengucapkan kata-kata itu, hati saya sangat sedih dan terasa sangat berat. Saya juga bertanya, “Mengapa saya tidak tahu tentang penyakit kamu?” Dia menjawab, “Saya ada makan obat untuk mengontrol penyakit saya.” Saya kembali bertanya, “Apa yang terjadi kali ini?” Dia menjawab, “Ini semua kesalahan saya.” “Saya berhenti makan obat.” “Saya tidak menyangka penyakit saya kambuh dengan begitu cepat sehingga sulit dikontrol.” Setiap kali mendengar kondisi kesehatannya yang kian memburuk, saya merasa sangat sedih. Meski kematian merupakan bagian dari hukum alam, namun kepergiannya terasa terlalu cepat. Tahun ini dia baru berusia 55 tahun. Kehidupannya begitu singkat. Saya sangat kehilangan atas kepergiannya. Akan tetapi, dia telah mengembangkan makna kehidupannya hingga sangat luas. Baik Sri Lanka, Indonesia, Filipina, maupun Tiongkok, dia pernah ke sana untuk mengadakan baksos. Lihatlah, dia menempuh perjalanan yang jauh dan mendaki gunung untuk mengadakan baksos. Tiada yang sulit baginya. Kehidupannya sungguh cemerlang. Memeriksa gigi ke dokter memang bukan hal yang menyenangkan. Saya selalu berbincang dan bercanda dengan mereka demi mengalihkan perhatian mereka. Kemudian, kita harus memeriksa gigi mereka dalam waktu sesingkat mungkin. Sebelum mereka mulai menangis. Kini kita tak bisa lagi mendengar suara tawanya yang riang. Kita tak bisa lagi melihat senyumannya yang ceria. Kita sungguh harus belajar darinya. Pada kehidupan di dunia ini, berapa jauh jalan yang bisa kita tempuh?Kita harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Dengan kekuatan cinta kasih yang besar, dr. Cai pergi ke berbagai negara untuk merangkul orang-orang yang menderita.Dia tetap tidak gentar meski harus menempuh perjalanan yang sulit. Inilah Bodhisatwa. Dia memiliki hati yang polos bagai anak kecil, keberanian bagai singa, dan ketahanan bagai seekor unta. (Diterjemahkan Oleh: Laurencia Lou) |