Suara Kasih: Menyadari Berkah

 

Judul Asli:

 

Menyadari berkah dan tak menyalahkan langit

 

Bersukacita di tengah penderitaan dan tak menyalahkan langit
Menyadari nasib dan hidup sederhana demi kehidupan yang damai
Bersyukur atas cinta kasih yang mengatasi berbagai rintangan
Menyadari berkah setelah melihat penderitaan dan menyucikan batin sendiri

Beberapa hari lalu saya berkunjung ke Taipei dan mendengar beberapa relawan berbagi. Saya merasa sungguh tersentuh. Kehidupan di Korea Utara sungguh menderita. Akan tetapi, mereka tak menganggapnya sebagai penderitaan. Meskipun tidak makan, kekurangan bahan makanan, dan kelaparan, namun mereka bisa tetap bersukacita di tengah penderitaan. Berhubung terlahir di lingkungan demikian, mereka pun terbiasa dengan kondisi setempat. Ini dikarenakan hati mereka tidak tercemar oleh kondisi luar yang penuh dengan nafsu keinginan.

Mereka melewati kehidupan ini apa adanya. Pepatah tua berkata, ”Terimalah nasib dan janganlah menyalahkan langit maupun orang lain.” Jadi, di dalam hati mereka tak ada dendam dan benci. Karena itu, mereka tak merasa menderita. Meskipun menderita akibat kelaparan, namun mereka tak menganggapnya sebagai penderitaan. Mereka tahu berpuas diri dan selalu bersukacita. Meskipun kehidupan mereka lebih menderita, namun mereka sungguh tahu berpuas diri.

Pada hari itu, saya juga mendengar laporan tentang kehidupan warga setempat. Kita juga bisa melihat penderitaan hewan (sapi). Ia sungguh tak berdaya. Manusia saja sangat menderita, apakah mungkin sapi tidak menderita? Tadi kita juga melihat sapi yang menarik gerobak. Perjalanan yang ditempuh sangat penuh rintangan. Coba lihat, sapi yang kurus harus menarik gerobak dengan bahan makanan di atasnya. Perjalanan yang ditempuh penuh rintangan. Sapi bahkan kesulitan menarik gerobak kosong. Akibat tergesek permukaan gerobak, kulit punggung sapi terkelupas. Melihat itu, saya merasa penderitaan sapi jauh lebih besar dibanding manusia. Saya sungguh tak sampai hati melihatnya. Jika berkesempatan, kita mungkin bisa mengajari mereka cara yang lebih baik untuk menolong sekelompok sapi tersebut agar rasa sakitnya dapat berkurang.

Begitu juga dengan warga di sana. Tubuh mereka yang begitu kurus dan tak bergizi harus menghadapi dinginnya cuaca. Tangan lembut para relawan meraih tangan-tangan kasar mereka. Mereka menderita kulit pecah-pecah karena kehidupan yang sulit dan kondisi iklim yang dingin. Mereka tak memiliki nutrisi yang cukup sehingga kulit mereka mudah pecah-pecah. Selain itu, tangan mereka juga telah melakukan banyak pekerjaan kasar. Karena itu, saat relawan mengoleskan krim pelembab di tangan mereka, tangan relawan pun terkelupas kulitnya. Mereka kerap membawa batu dan menggali tanah yang keras dengan tangan demi mendapatkan akar rumput sebagai makanan. Melihat itu, kita sungguh turut merasa prihatin.

Meskipun warga Korea Utara hidup dalam kondisi kekurangan bahan makanan dan materi, namun mereka tak merasa menderita. Akan tetapi, jika kita melihat sepintas, kita akan merasa mereka sungguh menderita. Sesungguhnya, kita juga memiliki penderitaan. Kita menderita akibat nafsu keinginan dan banyak perhitungan. Meski hidup dalam masyarakat yang makmur, namun kita tetap merasa tak cukup. Inilah penderitaan akibat rasa tak puas. Kita sungguh harus menyadari berkah setelah melihat penderitaan.

“Saat tiba di daerah pendistribusian bantuan, kami merasa sedikit terkejut melihat antusias dan seruan bahagia warga. Saat itu, seorang nenek terus menarik saya. Saya terus menghindarinya dengan melangkah mundur ke belakang. Akhirnya saya menghindar hingga ke pojok. Akan tetapi, nenek itu masih terus menarik saya. Saya pun meraih tangannya dengan tulus. Saat menyentuh kedua tangannya, saya merasa sangat tersentuh karena tangannya begitu kasar. Saat memegang tangannya dan memandanginya, air matanya pun bercucuran. Saat saya merangkulnya, saya merasa bagai berkumpul kembali dengan keluarga di kehidupan lampau,” kata salah seorang relawan.

”Saat tiba di Korea Utara, saya merasa saya sungguh mengasihi warga di sini. Mereka sungguh polos dan murah hati. Saat kita memberikan mereka sesuatu, mereka akan membalasnya lebih. Saat kami membagikan sepotong biskuit, mereka pun membungkukkan badan hingga 90 derajat. Setelah mendapatkan biskuit tersebut, mereka tak langsung memakannya. Mereka membagi biskuit itu menjadi beberapa potong dan membagikannya kepada orang di sekitar baru memakan sisanya. Saya sungguh merasa tersentuh. Meskipun biskuit yang dibagikan sangat kecil, namun mereka masih membaginya dengan rata. Saya sungguh tersentuh melihatnya,” ujar seorang relawan.

“Penyaluran bantuan kali ini telah membuat saya memahami tentang imbauan Master Cheng Yen yang berkata bahwa kita cukup makan 80 persen kenyang dan menyisakan 20 persennya untuk membantu orang lain. Saya ingin menyampaikan kepada Master, jangankan menyisakan 20 persen, saya bahkan rela menyisakan 30 hingga 40 persen,” kata seorang relawan lainnya. Banyak orang yang pergi ke luar negeri. Insan Tzu Chi juga begitu, namun tujuan mereka adalah untuk mencurahkan cinta kasih dan perhatian. Kehidupan seseorang dikatakan bermakna bukan karena dia menerima banyak cinta kasih. Kehidupan kita bermakna karena bisa bersumbangsih dengan cinta kasih.

“Saat turun dari mobil, tepat pukul 12 siang. Kami mendengar laporan berita yang melaporkan bahwa Tuan Kim Jong Il selaku pemimpin Korea Utara telah meninggal dunia. Saat itu, saya merasa warga Korea Utara begitu menghormati pemimpin mereka. Setiap orang berdiri di tempat dan menangis tersedu-sedu. Mereka sungguh mengekspresikan perasaan mereka yang sesungguhnya. Kami sungguh tak tahu apa yang harus kami lakukan. Saat itu, di samping saya berdiri seorang pejabat. Saya juga tak tahu bagaimana cara menghiburnya. Saya hanya bisa berdiri di samping dan melihat kesedihannya. Saat itu, saya pun meneteskan air mata. Setelah banyak melihat dan mendengar kalian berbagi, saya sungguh merasa tersentuh,” kata relawan.

Antara insan Tzu Chi dan warga Korea Utara telah terjalin jodoh baik. Berhubung kita pernah menyalurkan bantuan di Korea Utara, karenanya mereka telah memercayai Tzu Chi. Jika tak ada interaksi selama beberapa tahun ini, saya yakin akan sulit bagi kita untuk bisa memeluk mereka dan kesempatan untuk berkomunikasi dengan mereka juga tidak banyak. Penyaluran bantuan kali ini jauh lebih leluasa dibanding sebelumnya. Setelah kondisi mereka stabil, kita berharap memiliki kesempatan untuk berinteraksi lagi dengan mereka. Kita harus memikirkan cara untuk membantu mereka agar dapat hidup mandiri.

Kita harus memberikan benih terlebih dahulu dan mengajari mereka cara bercocok tanam. Dahulu, kita juga pernah membagikan benih di sana. Benih yang saya maksud bukanlah benih yang berwujud saja. Kita juga membagikan benih yang tak berwujud, yakni benih budaya humanis dan prinsip kebenaran agar semua orang di dunia ini bisa merasakan adanya sinar harapan. Semua ini adalah berkat para insan Tzu Chi yang memiliki kebijaksanaan Bodhisatwa. Mereka mengatasi berbagai rintangan dalam hati dan menghadapi dinginnya cuaca, dan lain-lain. Meskipun harus menghadapi banyak rintangan, namun mereka tidak berputus asa. Baiklah. Saya sungguh berterima kasih kepada para Bodhisatwa yang selalu mencurahkan cinta kasih dengan mengatasi berbagai rintangan. Diterjemahkan oleh: Karlena Amelia.

 

 
 
Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -