Suara Kasih: Menyatu dengan Hati Buddha

Judul Asli:

 

   Bersama-sama Menyatu dengan Hati Buddha

 

Para Bodhisatwa di balik layar telah memberikan yang terbaik
Para staf budaya humanis menabuh genderang pembabaran Dharma
Bersama-sama menyukseskan persamuhan Dharma Pertobatan Air Samadhi
Bersama-sama menyatu dengan hati Buddha

Dalam pementasan adaptasi Sutra, ada lebih dari 100 orang staf budaya humanis yang ikut, mulai dari penabuh genderang, pelantun, peraga isyarat tangan, dan lain-lain. Mereka terus-menerus berlatih untuk mencapai keharmonisan. Mereka harus berlatih untuk membuat pikiran mereka sama-sama terfokus. Kita juga melihat para penabuh genderang. Dahulu mereka tak tahu cara menabuh genderang, namun kini mereka bisa menabuh genderang dengan harmonis. Ini sungguh tidak mudah. Mereka berlatih hingga tangan mereka kapalan. Setelah kapalannya pecah, mereka memakai perban dan meneruskan latihan.

Mereka berlatih sampai hati mereka menyatu dengan suara genderang. Mereka menabuh genderang dengan sepenuh hati, mendengar suaranya sendiri, dan memperdengarkannya kepada orang lain. Mereka menabuhnya dengan bersatu hati dan juga menyatu dengan genderangnya. Cara menabuh seperti itu sungguh merupakan keterampilan yang luar biasa. Mereka telah berlatih keras. Mereka berlatih sebelum dan sesudah bekerja. Mereka juga berlatih pada jam makan siang, bahkan juga berlatih di rumah. "Di rumah, saya berlatih dengan selimut. Saya melipat selimutnya hingga berbentuk gulungan dan berlatih memukul di atasnya. Guru bilang saya agak tertinggal dan meminta saya membawa pulang stiknya untuk berlatih kapan pun saya sempat agar pada latihan bersama selanjutnya saya bisa mengejar yang lain. Saya berlatih perlahan-lahan dan lama-lama saya pun bisa menyamai yang lain," kata seorang staf.

Begitulah para staf Pusat Budaya Humanis berusaha agar aliran Dharma yang jernih ini terus mengalir tanpa henti bagai mata air. Suara genderang itu bukan hanya menggema di angkasa, melainkan bagaikan sebuah sumber mata air jernih yang terus memancar hingga setiap orang dapat merasakan, mendengar, dan menyentuhnya dengan hati. Suara lonceng dan genderang pada awal persamuhan Dharma waktu itu sungguh-sungguh dapat menggetarkan hati setiap orang hingga menyatu dengan Dharma.

Mendengarnya, saya teringat sebuah kisah. Beberapa waktu setelah Buddha wafat, Sangha memutuskan untuk mengadakan konsili (pertemuan para murid Buddha) demi melestarikan ajaran Buddha. Saat akan mengumpulkan orang, Yang Arya Kasyapa pergi ke lembah dan memukul Ghanta (papan kayu) dengan kuat. Begitu dipukul, suaranya menggema ke seluruh lembah dan dapat terdengar dari berbagai tempat. Saat itu, para murid Buddha berdatangan dari kediamannya masing-masing dan berkumpul. Jadi, pementasan kali ini juga dimulai dengan suara lonceng dan genderang agar semua orang membangkitkan kesadaran.

Suasana itu terasa amat sesuai untuk mewariskan dan melestarikan Dharma, sungguh menggugah hati setiap orang.

Manusialah yang dapat menyebarkan kebenaran. Dharma bagaikan air yang membasahi batin semua makhluk. Batin semua makhluk bagaikan tanah kering yang tak dapat ditumbuhi tanaman. Jiwa kebijaksanaan kita bagaikan tertanam di tanah kering ini. Benih yang baik tak dapat tumbuh. Karena itu, kita harus menyuburkan kembali tanah ini hingga menjadi hutan bodhi.

Benih kesadaran yang murni ini pada dasarnya sudah ada dalam batin kita. Saya sering mengatakan bahwa mempelajari ajaran Buddha berarti meneladani welas asih Buddha. Kita harus membangkitkan hakikat kebuddhaan yang cemerlang, murni, dan sama dengan Buddha. Inilah kebijaksanaan. Jadi, lewat persamuhan Dharma ini, hati setiap orang diharapkan menyatu dengan hati Buddha dan bersama-sama menyebarkan Dharma. Ini juga merupakan kesadaran akan Dharma yang diwujudkan dalam tindakan. Jadi, kita harus bersatu hati.

Mempelajari ajaran Buddha berarti berjalan di jalan Bodhi, bukan hanya menyadarkan diri sendiri, namun juga menyadarkan makhluk lain. Untuk itu, kita perlu kembali pada hakikat kebuddhaan yang sempurna. Hati kita harus menyatu dengan Dharma. Inilah yang disebut menuju hati Buddha. Kita harus meninggalkan noda batin dan menuju pada hakikat Kebuddhaan. Jadi, kita perlu kembali pada hakikat Kebuddhaan yang sempurna. Untuk itu, diperlukan sebuah lingkungan yang dapat membimbing setiap orang untuk berjalan ke arah yang benar.

Para staf badan misi Tzu Chi telah memberikan yang terbaik. Saat pementasan adaptasi sutra berlangsung, kita dapat melihat bagian tengah panggung dapat dinaikkan dan diturunkan. Pada bagian dan adegan-adegan tertentu, panggung harus dinaikkan atau diturunkan. Demi keamanan, pada bagian bawah panggung dipasang rangka penyangga yang cukup banyak. Para staf yang bertugas di bawah harus berlutut dan sulit berdiri karena terbatasnya ruang. Mereka harus berada di sana sekitar 3 jam. Mereka sungguh bekerja keras. Mereka melakukan ini untuk 24 kali pementasan. Saya sangat berterima kasih kepada para staf Da Ai TV serta para relawan dokumentasi Tzu Chi.

Ribuan orang bergerak untuk mendokumentasikan persamuhan Dharma ini. Mereka menjadi saksi bagi zaman ini. Pada era sekarang ini, untuk menciptakan sebuah aliran jernih yang dapat menyucikan batin manusia serta menggali mata air dalam batin setiap orang, diperlukan kekuatan banyak orang. Saya sungguh berterima kasih kepada para Bodhisatwa yang mengerti hati saya. Jika setiap orang dapat memahami hati saya, bukankah ajaran Jing Si dapat diwariskan?

“Banyak orang yang saling kenal di dunia, namun berapa banyak yang saling memahami?” Mungkin tak sedikit orang yang mengenal saya, namun berapa banyak yang benar-benar memahami hati saya? Saya telah melihat para staf Da Ai TV tidak hanya mengenal saya, namun juga memahami hati saya. Mereka melakukan yang ingin saya lakukan. Inilah  “satu tangan bergerak, jutaan tangan mengikuti; satu mata memandang, jutaan mata ikut melihat.” Alangkah indahnya kesatuan hati dan kondisi saling memahami ini. Diterjemahkan oleh Karlena Amelia.

Kerisauan dalam kehidupan manusia disebabkan dan bersumber pada tiga racun dunia, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -