Suara Kasih: Menyucikan Hati demi Menyelaraskan Empat Unsur Alam
Judul Asli:
Menyucikan hati, membimbing orang lain, dan menyelaraskan empat unsur alam | |||
Kita sering melihat para insan Tzu Chi begitu tekun dan bersemangat kembali ke Griya Jing Si untuk mencari dan menyelami Dharma serta mendalami bagaimana ajaran Jing Si terus diwariskan. Mereka bahkan mendalami bagaimana insan Tzu Chi di seluruh dunia bersumbangsih sebagai Bodhisatwa dunia. Di seluruh dunia ini, terdapat kesenjangan sosial yang besar. Di tengah kondisi yang berbeda-beda, para Bodhisatwa bisa memperoleh pencapaian di Jalan Bodhisatwa. Buddha berharap setiap orang bisa menjadi Bodhisatwa dunia, mempraktikkan Dharma dalam keseharian, dan bersumbangsih sebagai Bodhisatwa dunia sehingga dunia ini penuh dengan Bodhisatwa. Akan tetapi, ini semua harus dimulai dari keyakinan setiap orang dalam menerima ajaran Buddha. Kita harus menyerap Dharma ke dalam hatidan menerapkannya dalam tindakan kita. Dengan demikian, barulah dunia bisa harmonis, setiap orang bisa saling mengasihi dan saling memperhatikan. Jika tidak, maka dunia akan penuh bencana seperti saat ini. Kita sering mendengar berita tentang kebakaran hutan. Ada kebakaran yang terjadi berhari-hari. Bumi kita mengandalkan pohon dan hutan untuk menghasilkan oksigen yang segar. Pohon bisa menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida. Akan tetapi, hutan-hutan yang begitu indah malah terus hilang satu demi satu. Sungguh sedih melihatnya. Ada pula ketidakselarasan unsur tanah. Belakangan ini, kita sering mendengar banyak Negara yang diguncang gempa bumi. Kita harus lebih bersungguh hati merenungkannya. Jadi, ketidakselarasan pikiran manusia, ketidakselarasan unsur tanah, ketidakselarasan unsur api, dan ketidakselarasan unsur air, semuanya bisa mendatangkan ancaman yang besar bagi umat manusia di bumi. Kita juga melihat di Brasil, banyak warga menggelar aksi protes karena mereka tidak puas pemerintah menyalahgunakan anggaran negara yang begitu besar untuk membangun stadion sepak bola. Keputusan ini memicu ketidakpuasan warga. Singkat kata, kapan negara, masyarakat, dan warga bisa benar-benar tersadarkan? Demikian pula dengan para pemimpin Negara dan masyarakat. | |||
| |||
Tiga gedung sekolah sudah selesai dibangun. Salah satu gedung sekolah diresmikan tiga tahun lalu sehingga anak-anak bisa bersekolah dengan sukacita di sana. Dua gedung sekolah menengah lainnya diresmikan kemarin. Kedua gedung sekolah itu sangat istimewa. Salah satu gedung sekolah menengah yang kita didirikan di Mayangone itu adalah bekas sekolah yang dibangun seorang bhiksu 60 tahun silam. Demi pendidikan, beliau menjual tanah dan menyumbangkan semua tabungannya untuk mendirikan sekolah menengah itu. Awalnya, bangunan sekolah itu memang sudah terlihat lapuk. Pascatopan Nargis, kerusakan bangunan sekolah menjadi semakin parah. Meski bhiksu yang mendirikan sekolah itu sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu, namun sekolah ini masih tetap mendidik para murid dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, sebuah terjangan topan membuat anak-anak tidak bisa bersekolah. Karena itu, kita segera mengambil langkah untuk mendesain dan membangun kembali sekolah itu. Kini, sekolah itu dibangun dengan sangat kokoh dan didesain ulang. Salah satu gedung sekolah lainnya didirikan oleh gereja dan juga memiliki sejarah. Terjangan topan 5 tahun silam juga mengakibatkan sekolah ini rusak parah. Karena itu, Tzu Chi juga membangun kembali gedung sekolah ini. Proyek pembangunan sekolah kali ini sudah rampung. Kemarin, kedua sekolah itu diresmikan. | |||
| |||
Meski tidak mengerti bahasa Mandarin, tetapi dia bisa mempelajari lirik lagu tersebut dan menyerapnya ke dalam hati. Sungguh penuh kehangatan. Tentu saja, selama lima tahun ini, insan Tzu Chi juga masuk ke wilayah pedalaman di Myanmar untuk memberikan bantuan dana pendidikan. Kita dapat melihat bahwa insan Tzu Chi membantu siswa yang membutuhkan dengan menyediakan bantuan dana pendidikan dan alat tulis bagi mereka. Hal ini menjadikan hubungan antara insan Tzu Chi dan anak-anak terjalin begitu erat. Insan Tzu Chi juga membimbing anak-anak untuk menyadari berkah setelah melihat penderitaan. Insan Tzu Chi membawa mereka terjun ke wilayah pedalaman demi melihat bagaimana para petani bercocok tanam, melihat kehidupan sederhana petani, serta berbagi kepada mereka kisah segenggam beras. “Dahulu, saya harus meminjam bibit padi. Untuk 6 keranjang, saya harus mengembalikan 7 keranjang. Kini, meski kehidupan saya pas-pasan, saya sangat bahagia dan masih bisa makan kenyang. Saya juga menyisihkan segenggam beras untuk berbuat baik. Saya sangat puas dengan kehidupan saya kini.” Demi membalas budi, petani miskin itu menyisihkan segenggam beras setiap hari dan mendonasikannya untuk membantu orang yang lebih membutuhkan. Pendidikan ini bertujuan agar anak-anak memahami bahwa manusia tak perlu takut hidup susah, yang penting harus sabar dan giat berusaha. Teladan kesabaran dan kegigihan ini bisa membangkitkan keyakinan anak-anak. Kemana pun insan Tzu Chi menginjakkan kaki, moralitas masyarakat di tempat itu bisa terbangun kembali. Setiap hari, kita dapat melihat insan Tzu Chi di seluruh dunia menjadi Bodhisatwa dunia yang bersumbangsih bagi semua makhluk yang menderita. Saya sungguh berterima kasih kepada mereka. (Diterjemahkan Oleh: Karlena Amelia ) | |||