Suara Kasih: Pemetasan Dharmma

 

Judul Asli:

Menyucikan Tubuh, Ucapan, dan Pikiran serta Memiliki Tekad Melatih Diri yang Teguh

Bertekad untuk membangkitkan bodhicitta
Bersedia mewakili makhluk lain menderita sehingga menerima buah karma baik
Bervegetarian demi membina cinta kasih dan welas asih
Menyucikan tubuh, ucapan, dan pikiran serta memiliki tekad melatih diri yang teguh

Bodhisatwa sekalian, adakah kalian diliputi ketulusan? Bagaimana cara kalian mengungkapkannya? Lewat tindakan. Apakah kalian berhati tulus? Asalkan setiap orang memiliki ketulusan, kita akan bisa menggugah para Makhluk Pelindung Dharma. Buddha dan Bodhisatwa memiliki cinta kasih dan welas asih agung. Buddha dan Bodhisatwa hanya berharap semua murid-Nya memiliki pengetahuan yang benar, pandangan yang benar, pikiran yang benar, dan perhatian yang benar. Jika kita benar, hati kita akan menjadi murni dan jernih. Saat kemurnian hati setiap orang digabungkan, maka ia akan menjadi aliran jernih yang bisa melenyapkan aliran keruh di dunia.

Kita sering mengulas tentang  istilah “jutaan miliar kalpa”. Ini menunjukkan lamanya Buddha memegang ikrar luhurnya sejak pertama kali Beliau berikrar. Kapan Buddha membangkitkan ikrar luhur-Nya? Suatu hari, Ananda bertanya kepada Buddha, “Yang Dijunjung, Engkau begitu penuh welas asih. Engkau tak henti-hentinya datang ke dunia demi menolong semua makhluk. Meski makhluk hidup di dunia  sangat keras kepala dan sulit untuk dibimbing, tetapi Engkau tidak pernah menyerah  terhadap mereka. Sejak kapan Engkau mulai memiliki hati penuh welas asih seperti itu?” Buddha menjawab Ananda, “Sejak berkalpa-kalpa yang tak terhingga lalu.” 

Pada berkalpa-kalpa lalu, dalam suatu kehidupan-Nya, Buddha pernah lahir di alam neraka bersama dengan makhluk-makhluk yang menderita. Di neraka, sebagian makhluk yang menderita harus menarik kereta besi yang penuh dengan bara api. Satu kereta ditarik oleh dua orang. Terhadap orang yang menarik kereta itu, penjaga neraka member hukuman yang sangat kejam dengan menguliti mereka. Sebagian kulit yang telah terkelupas dibiarkan menempel di tubuh para terhukum, sedangkan sebagian lagi diikatkan pada kereta yang tengah membara. Penjaga neraka meminta kedua makhluk itu untuk menarik keretanya. Salah satu dari mereka tidak mampu menarik lagi dan mati seketika. Seorang lagi yang melihat kejadian itu merasa tak sampai hati. Welas asihnya bangkit seketika.  

Welas asih itu sangatlah tulus. Dia memohon kepada penjaga neraka agar mengizinkannya untuk menarik kereta tersebut. Mendengar itu, penjaga neraka sangat marah dan berkata, “Kamu bahkan sulit  untuk melindungi diri sendiri, kini masih ingin  menggantikan orang lain menarik kereta.” Dia terus memohon kepada penjaga neraka dan berkata, “Aku akan menarik keretaku dahulu, lalu menggunakan sisa tenaga untuk membantu orang itu menarik keretanya.”Akan tetapi, penjaga neraka sangat ganas. Dia pun mengambil cambuk dan mencambuknya. Akhirnya, orang yang merupakan emanasi Buddha yang penuh welas asih ini mati di tangan penjaga neraka.

Setelah meninggal, dia terlahir kembali ke alam surga. Di sana, Buddha berpikir, “Neraka penuh dengan penderitaan.Mengapa setelah menerima hukuman di neraka Aku bisa datang ke alam surga?”Ternyata sebersit niatnya untuk membantu orang lainlah yang membawanya terlahir ke alam surga. Akan tetapi, Buddha mengetahui bahwa setelah berkah di surga habis dinikmati, setelah berkah di surga habis dinikmati, beliau juga akan terjerumus kembali entah ke neraka, alam binatang, atau alam setan kelaparan. Penderitaan di tiga alam rendah tersebut sungguh tak terkira. Buddha sadar bahwa segala kenikmatan di surga juga akan berakhir. Karena itu, Buddha membangkitkan ikrar luhur untuk lahir di alam manusia dan bertekad untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. “Tak peduli alam manusia, alam neraka, alam setan kelaparan, maupun alam binatang, aku bersedia untuk terjun ke sana demi membimbing semua makhluk.”

Akan tetapi, untuk dapat membina diri dan mendengarkan Dharma, haruslah terlahir sebagai manusia. Karena itu, Buddha bertekad untuk tidak menikmati kenikmatan di surga, melainkan memilih datang di alam manusia untuk mendengarkan Dharma dan menapaki Jalan Bodhisatwa.  Penderitaan dan kebahagiaan di alam manusia datang silih berganti. Dengan adanya dua hal yang silih berganti ini, kondisi alam manusia cocok untuk melatih diri. Karena itu, saat Buddha membangkitkan ikrar luhur tersebut, Buddha pun meninggalkan alam surge dan lahir di alam manusia.  Setelah berkalpa-kalpa berlalu, tekad Buddha tetap tidak goyah. Buddha Sakyamuni tidak hanya pernah lahir di alam manusia, tetapi juga pernah lahir di alam binatang. Buddha lahir di alam binatang bukan karena karma buruk-Nya, bukan juga karena telah berbuat kejahatan sehingga terlahir ke alam neraka, melainkan karena ikrar luhur-Nya.

Apakah kalian masih ingat sepenggal kisah di pementasan adaptasi Sutra? Masih ingatkah? Seorang nyonya demi mengadakan pesta ulang tahunnya  membunuh begitu banyak hewan untuk menampilkan martabatnya. Berhubung ada banyak orang yang ingin mengonsumsi daging, hewan pun diternak dalam jumlah besar dan disembelih. Bayangkan, bukankah manusia sangat kejam? Sesungguhnya, setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan. Kita harus membangkitkan  welas asih yang sama dengan Buddha dan tidak tega untuk mengonsumsi daging hewan. Kita hendaknya demikian. Sayangnya, manusia selalu  diliputi kegelapan batin.

Tadi, saya telah bercerita tentang Buddha Sakyamuni yang berada di neraka dan melihat para Yaksa penjaga neraka menyiksa makhluk-makhluk yang terhukum. Sesungguhnya, kalian juga sama, memperlakukan hewan dengan kejam dan membunuh mereka untuk dijadikan makanan. Saat ini, ada banyak orang  yang sering bertanya-tanya mengapa tanpa adanya dendam dan benci, secara tiba-tiba orang-orang bisa saling bertikai dengan kejam. Mengapa di dunia ini  terdapat begitu banyak bencana? Jika manusia tidak menciptakan karma buruk, maka bencana alam dan konflik tidak akan terjadi. Karena itu, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Ini bukan takhayul. Membina cinta kasih dan welas asih merupakan metode terpenting yang harus dipraktikkan agar kita bisa kembali kepada hakikat yang murni. (Diterjemahkan Oleh: Laurencia Lou)

 
 
Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -