Suara Kasih : Pendidikan yang Berhasil

 

Judul Asli:
Misi Pendidikan Tzu Chi di Indonesia

Normalisasi Kali Angke membangun harapan masyarakat
Para guru dan siswa sama-sama mendapatkan manfaat pendidikan Tzu Chi    
Memancarkan aliran jernih cinta kasih ke seluruh dunia
Menyucikan hati manusia dengan Dharma dan budaya humanis

“Saya hadir di sini untuk mempelajari pendidikan Tzu Chi di Taiwan Yang mungkin saja berbeda dengan yang ada di Indonesia. jadi saya hadir di sini untuk melihat apakah saya dapat mempelajari cara-cara yang berbeda dalam mengajar murid-murid kami. Ini adalah kesempatan kedua saya pergi ke Taiwan karena saya sangat ingin mempelajari pendidikan nilai-nilai humanis Tzu Chi yang nantinya dapat saya pergunakan untuk mendidik karakter moral murid-murid kami dan menjadikan mereka manusia-manusia yang lebih baik,” ujar Zaenal Mawardy, Kepala Sekolah Dasar Cinta Kasih Tzu Chi Indonesia.

Kutipan cuplikan di atas adalah pernyataan seorang guru dari Indonesia. Bersama dengan relawan dari 30 negara yang pulang ke kampung halaman batin kali ini, terdapat lebih dari 20 orang guru yang berasal dari Indonesia. Mereka berkunjung ke Sekolah Tzu Chi di Hualien selama seminggu. Ketika kelas pelatihan 4 in 1 di Taipei berakhir, mereka pun berangkat dari Hualien ke Taipei untuk berkumpul dengan para relawan lain dari Indonesia.

Sehari setelah pelatihan berakhir, saya bertemu dengan sekelompok guru Tzu Chi ini untuk saling berbagi. Hari itu kepala SD Tzu Chi di Jakarta menceritakan bahwa ada beberapa orang yang mengunjungi sekolahnya dan bertanya, ”Bagaimana cara Anda membimbing para siswa hingga begitu baik?”

Setiap kali mendengar pertanyaan seperti itu, ia akan menjelaskan dengan penuh semangat bagaimana insan Tzu Chi membantu membersihkan Kali Angke dan membangun Perumahan Cinta Kasih. Setelah pembangunan Perumahan Cinta Kasih dan Sekolah Tzu Chi selesai, insan Tzu Chi mengumpulkan anak-anak warga yang tak bersekolah untuk bersekolah di sana.

Pada saat itu, badan anak-anak sangat kotor. Ia ingat betapa kusutnya rambut anak-anak tersebut ketika mereka hendak mencucinya. Tak peduli berapa kali mereka membilas dan menyamponya, rambut anak-anak tetap kusut dan lengket. Sungguh sulit membersihkannya. Dari sana kita dapat membayangkan betapa buruknya lingkungan kehidupan anak-anak di Kali Angke. 
 
Mereka hidup di antara sampah-sampah dan air yang telah tercemar. Kita dapat membayangkan betapa kotornya badan anak-anak tersebut. Ketika datang ke sekolah, mulanya penampilan mereka pun kotor. Namun, kini mereka terlihat seperti priayi dan gadis cantik yang cerah dan penuh harapan. Ini sungguh hal yang tidak mudah. Kini anak-anak terlihat berbeda dan sangat manis. Bimbingan kita selama beberapa tahun ini sungguh berhasil dan mengagumkan,” tambah Zaenal Mawardy.

Kepala sekolah menceritakan hal ini sambil menangis karena ia sendiri pun sangat tersentuh. Ada pula seorang guru laki-laki bernama Ahmad Damanhuri yang bercerita dengan tangisan yang lebih parah dari kepala sekolah. Ia berkata bahwa sebelum menjadi guru di Sekolah Tzu Chi, ia adalah anak yang pembangkang dan tidak berbakti kepada orang tua. Setelah mengajar Kata Perenungan Jing-Si dan membimbing anak-anak mempraktikkannya, ia sendiri turut terinspirasi. Karena para guru di sana sering berbagi, tentang budaya humanis hati dan pikirannya sungguh terbuka. yang sungguh membuka hati dan pikirannya.

Jadi, pada Hari Ibu tahun ini mereka mengajarkan anak-anak untuk berbakti kepada orang tua. Mereka mengundang para orang tua ke sekolah untuk menghadiri sebuah acara. Dalam acara itu, anak-anak menyuapi dan mencuci kaki orang tua. Hal ini tak hanya dilakukan murid-murid, melainkan juga para guru.

Guru ini pun mengundang ibunya ke sekolah. Ia bercerita bahwa ia menangis hingga tak dapat berkata-kata. Ia berkata bahwa hari itu ibunya duduk di sebuah kursi. Pada saat ia membawa air ke hadapan ibunya, sang ibu mulai meneteskan air mata karena anak yang dulunya pembangkang ini kini menjadi sangat berbakti.

Ketika ia berlutut membasuh kaki ibunya dengan lembut, ibunya pun semakin terisak-isak. Ia mencuci kaki ibunya dengan lemah lembut. Mereka berdua sama-sama menangis. Pada saat itu, mereka meneteskan air mata yang penuh rasa haru dan syukur. Setelah selesai mencuci kaki ibunya, ia memeluk erat ibunya dan berkata, “Ibu, maafkan saya karena dulu saya tidak berbakti.”

Mendengar pengakuannya tersebut, para guru yang berada di samping pun ikut menangis. Inilah pendidikan yang berhasil. Untuk membimbing anak-anak, para guru harus terlebih dahulu berefleksi dan berintrospeksi diri. Ketika berada di sekolah, sebagai guru mereka tentu mengajarkan para siswa untuk menaati tata krama, berbakti kepada orang tua, menghormati guru, dan lain-lain. Namun, ketika para guru pulang ke rumah, apakah mereka juga berbicara dengan lemah lembut dan berbakti kepada orang tua? Apakah mereka sungguh mempraktikkannya?

Guru ini merupakan teladan yang terbaik. Jadi, pendidikan tak hanya bertujuan membimbing para siswa, sesungguhnya para guru pun harus membimbing dirinya terlebih dahulu. Saya pun mengusulkan agar para guru di Taiwan dapat mengunjungi Sekolah Tzu Chi di Indonesia.

Sesungguhnya, memanfaatkan jalinan jodoh sangatlah penting. Insan Tzu Chi di Indonesia sangat menghargai jalinan jodoh dan bekerja dengan sepenuh hati. Pada tahun 2002 lalu, mereka memanfaatkan jalinan jodoh dengan membantu membersihkan Kali Angke. Berkenaan dengan normalisasi Kali Angke ini, mereka membangun Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Di dalam Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi tersebut terdapat sekolah dan rumah sakit sehingga warga dapat berobat dan bersekolah. Perumahan tersebut sangat lengkap. Ini semua ada karena insan Tzu Chi memanfaatkan jalinan jodoh yang datang.

Terdapat pula beberapa sekolah yang Tzu Chi bangun kembali pascabencana. Pada bulan Juli ini, rencananya pembangunan SMA Negeri 1 Padang akan selesai. Sekolah itu rusak akibat gempa bumi tahun lalu, dan kita telah membantu mereka membangunnya kembali. Para guru dari sekolah tersebut pun terinspirasi oleh budaya humanis Tzu Chi. Karenanya, mereka membentuk kelompok dan berangkat ke Jakarta untuk mengunjungi Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi dan pesantren. ”Kita dapat melihat di pesantren itu anak didik diajarkan budaya humanis Tzu Chi dan Kata Perenungan Jing-Si sehingga banyak orang dewasa dan anak kecil dari berbagai usia terbimbing dengan baik. Saat Kami kembali, kami akan menerapkan semangat Tzu Chi di sekolah kami karena sekolah ini dibangun oleh cinta kasih semua insan Tzu Chi,” ujar Jufril Siry, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Padang.

Mendengarnya, saya merasa bersyukur. Ini semua terwujud karena insan Tzu Chi memanfaatkan jalinan jodoh sebaik mungkin. Bukankah saya sering berkata bahwa kita harus bekerja keras untuk menyebarkan cinta kasih ke seluruh dunia dan menyucikan batin manusia dengan Dharma? Jadi, untuk menyucikan batin manusia maupun menebarkan benih cinta kasih, kita memerlukan kontribusi banyak orang cinta kasih universal ke seluruh dunia.

Diterjemahkan oleh: Erni & Hendry Chayadi / Foto: Da Ai TV Taiwan
 
 
 
Orang yang mau mengaku salah dan memperbaikinya dengan rendah hati, akan mampu meningkatkan kebijaksanaannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -