Suara Kasih: Peresmian Aula Jing Si Indonesia


Judul Asli: Peresmian Aula Jing Si Indonesia

Aula Jing Si Indonesia diresmikan dengan jalinan jodoh yang istimewa
Giat mengembangkan Delapan Jejak Dharma
Diperlukan kekuatan tekad untuk membimbing orang banyak
Insan Tzu Chi Tiongkok bertekad luhur di kampung halaman batin


Kita dapat melihat persamuhan Dharma yang agung di Indonesia. Dengan diresmikannya Aula Jing Si kemarin maka rampunglah pembangunan Pusat Kegiatan Tzu Chi tahap satu yang meliputi sekolah, kantor yayasan, dan lainnya. Kita melihat orang yang hadir sangat banyak, gedungnya pun sangat besar. Kita melihat para insan Tzu Chi Indonesia menaiki tangga Aula Jing Si dengan begitu teratur. “Pasukan Semut Mendaki Gunung Sumeru”. Untuk dapat berbaris rapi dengan cepat seperti itu, setiap orang harus bersatu hati dan bekerja sama dengan harmonis. Dengan begitu, barulah keteraturan dapat terlihat.

Berapa orang yang hadir? Sekitar 6.000 orang. Auditorium Pembabaran Sutranya saja dapat menampung hampir 2.000 orang. Gedung Aula Jing Si itu sungguh besar. Selain besar, juga memiliki keindahan yang halus. Melihat gaya bangunannya, saya merasa seperti berada di Aula Jing Si Hualien. Semua ini terwujud berkat kesungguhan hati. Selain itu, kita juga melihat barisan relawan yang begitu teratur. Dari sini kita dapat dengan jelas melihat harapan yang besar bagi masa depan Indonesia. Kita juga melihat anak-anak di sana telah dibimbing untuk menciptakan keindahan telah dibimbing untuk menciptakan keindahan lewat tarian “Bodhisatwa Berlengan Seribu”. Tarian ini membutuhkan keterampilan tinggi, dibawakan oleh anak-anak dengan begitu indah dan selaras.
Melihat anak-anak itu, saya teringat kondisi mereka dahulu yang selalu bertelanjang kaki di bantaran Kali Angke. Kini kita telah melihat mereka telah menjadi pemuda dan pemudi yang menampilkan keindahan. Ini terwujud berkat pendidikan yang penuh kesungguhan hati. Anak-anak juga telah menerima didikan dengan baik. Dari sini kita dapat melihat harapan bagi generasi mendatang. Yang lebih mengesankan adalah sekelompok relawan semangat Mahabhiksu Jian Zhen. Lihatlah, mereka begitu bersungguh hati. Terlebih lagi, para relawan pria ini sebagian besar tidak mengerti bahasa Mandarin.
 
Akan tetapi, mereka tetap bersungguh hati untuk menghafal lirik dan irama lagu hingga merasuk ke dalam lubuk hati dan akhirnya dapat menyanyikannya dengan lantang. Lihatlah, mereka begitu penuh kekuatan dan energi pelatihan diri. Semua ini adalah hasil kerja keras para relawan di Indonesia. Setiap kali melihatnya, saya selalu bersyukur.

Bodhisatwa dunia di Indonesia terus-menerus bertambah. Salah seorang benih relawan di sana adalah Liu Su-mei, seorang wanita yang terus mengembangkan misi Tzu Chi selangkah demi selangkah. Kemudian, jalinan jodoh tahun 1998 dan banjir di Jakarta tahun 2002 juga memiliki peran penting dalam perkembangan Tzu Chi Indonesia. Saya juga berterima kasih kepada Bapak Sugianto Kusuma yang dikenal sebagai “Mr. No Problem”. Dia selalu bertekad mewujudkan yang saya minta. Tekadnya sungguh kokoh. Dia memiliki hubungan baik dengan banyak pengusaha setempat. Contohnya, Bapak Eka Tjipta Widjaja. Beliau sendiri adalah umat Kristiani. Akan tetapi, beliau mengajak putranya untuk bertemu saya di Hualien. Di hadapannya, putranya ini, Franky O. Widjaja, menyatakan berguru kepada saya, dan beliau mengizinkannya. Bapak Eka Tjipta Widjaja inilah yang mengajak Bapak Sugianto Kusuma bergabung. Selain itu, ada pula Bapak Mansjur Tandiono yang kini bertanggung jawab sebagai direktur DAAI TV Indonesia.

Dengan banyaknya orang yang bersatu, berbagai hal besar dapat dicapai di Indonesia. Ini juga merupakan sebuah hal besar bagi sejarah Buddhisme. Banyak insan Tzu Chi dari berbagai negara juga menghadiri acara peresmian itu. Selain itu, yang membuat orang tersentuh adalah para relawan dari provinsi paling timur Indonesia, yakni Papua. Mereka bukanlah orang yang sangat berada, terlebih jarak Jakarta dan Papua sangat jauh, butuh 5 jam dengan pesawat udara. Akan tetapi, mereka tidak bisa naik pesawat udara. Mereka naik kapal laut. Mereka tiba lebih awal dari jadwal acara dan membantu persiapan.
  
Salah satu dari mereka pernah mengikuti pelatihan pengurus 4 in 1 di Taiwan. Untuk ke Taiwan, dia menabung selama beberapa tahun. Dia juga menyatakan berguru kepada saya. Kali ini, meski Papua jauh dari Jakarta, dia membawa 20 relawan dari Papua ke Jakarta dengan 5 hari perjalanan lewat jalur laut. Ini juga sangat mengharukan.

Kemarin Aula Jing Si Indonesia diresmikan. Semua orang sangat gembira, sedangkan saya sangat sibuk seharian, tetapi juga merasa sangat tersentuh karena kemarin juga diadakan acara penutupan pelatihan insan Tzu Chi dari berbagai wilayah di Taiwan. Selain itu, hadir pula relawan dari Tiongkok. Pada kesempatan itu, relawan dari Shandong juga menyampaikan ikrar mereka dengan penuh semangat. Menurut mereka, sebagai murid Buddha, mereka seharusnya terjun ke masyarakat untuk bersumbangsih bagi semua makhluk yang menderita. Jalinan jodoh ini bermula pada lebih dari 20 tahun lalu, saat Tzu Chi menyalurkan bantuan bagi korban banjir di wilayah timur Tiongkok.

Meski perjalanan ini berlangsung dalam waktu yang panjang dan penuh dengan berbagai rintangan, namun hari ini kita dapat melihat hasilnya. Banyak orang yang berikrar dengan hati yang murni dan penuh cinta kasih. Kini begitu banyak Bodhisatwa dunia yang terus bermunculan. Jadi, semua ini terwujud berkat adanya jalinan jodoh. Segala ajaran yang Buddha babarkan tiada yang lepas dari hukum sebab akibat. Segala sesuatu terwujud karena adanya sebab dan kondisi. Jadi, saya sangat bersyukur. Saat ini, kita tengah melihat matangnya sebab dan kondisi atau jalinan jodoh. Semua ini sungguh menyentuh. Semoga dengan adanya jalinan jodoh ini, kita dapat terus melangkah maju dengan giat untuk menggalang lebih banyak Bodhisatwa dunia. (Diterjemahkan Oleh: Laurencia Lou)
Gunakanlah waktu dengan baik, karena ia terus berlalu tanpa kita sadari.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -