Suara Kasih : Peringatan HUT Tzu Chi Ke-45

 

Judul Asli:

Peringatan Ulang Tahun 
Tzu Chi Ke-45
 

Turut serta membangun aula baru tanpa lelah
Harumnya kebajikan menyelimuti kampung halaman batin
Bertobat demi melenyapkan ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
Giat melakukan kebajikan dan melatih diri

Hari ini (Selasa, 26 April 2011) pada 45 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1966 tanggal 24 bulan 3 penanggalan Imlek, untuk pertama kalinya kita mengadakan kebaktian Bhaisajyaguru. Hingga kini, 45 tahun telah berlalu. Selama lebih dari 40 tahun ini, setiap hari saya dipenuhi rasa syukur.

Saat pertama kali datang ke Hualien, saya tinggal di sebuah pondok kecil hingga akhirnya pindah ke Vihara Pu Ming. Pada tahun 1969, Griya Jing Si selesai dibangun. Itulah aula utama kita yang sekarang. Tempat ini digunakan untuk beristirahat, bekerja, dan rapat. Jadi, saat itu Griya Jing Si sangat kecil. Namun, kini sudah berbeda. Pagi-pagi sekali, saya melihat para insan Tzu Chi  melantunkan Sutra Bunga Teratai. Suara mereka sungguh indah didengar. Saya serasa ikut serta dalam kebaktian itu dan melatih diri bersama mereka.

Saya juga melihat sekelompok insan Tzu Chi yang melakukan ritual namaskara di luar. Pelatihan diri ini sungguh menciptakan atmosfer yang hening dan harmonis. Saat mereka semua tiba, saya berdiri di depan Griya Jing Si. Di belakang saya adalah aula baru Griya Jing Si dan di hadapan saya adalah para Bodhisatwa. Bangunan aula baru Griya Jing Si yang besar ini berdiri berkat banyaknya insan Tzu Chi yang membantu dalam proses pembangunan.

 

Saya sering berkata bahwa Griya Jing Si adalah kampung halaman batin para insan Tzu Chi. Karena itu, insan Tzu Chi turut membangun griya ini dengan sepasang tangan mereka. Pikirkanlah, apakah mereka adalah pekerja konstruksi? Bukan. Mereka bekerja sambil belajar dengan sungguh-sungguh sehingga memperoleh pemahaman. Para biksuni di Griya Jing Si juga membantu mengikat batang baja.

Semua orang bekerja sama dalam proyek pembangunan aula baru. Karena itu, saya sungguh berterima kasih kepada keluarga besar Tzu Chi. Selain pekerjaan konstruksi, teh dan makanan hangat juga disiapkan oleh para insan Tzu Chi secara bergiliran agar para Bodhisatwa yang telah lelah bekerja dapat minum dengan cukup dan makan dengan gembira sehingga mereka kembali bertenaga.

Intinya, selama lebih dari setahun ini, sejak proyek konstruksi dimulai, saya sungguh merasa setiap orang terus melatih diri dan mempraktikkan Dharma. Mereka mempraktikkan ajaran Jing Si dan menapaki jalan Tzu Chi dengan giat. Setiap hari mereka melakukannya dengan giat. Mereka melatih ketulusan, kebenaran, keyakinan, dan kesungguhan.

Sebagai insan Tzu Chi, setiap orang harus melatih ketulusan, kebenaran, keyakinan, dan kesungguhan serta melatih sila, samadhi, dan kebijaksanaan. Kita semua adalah siswa Tiga Permata. Ajaran Buddha bertujuan untuk melenyapkan noda batin kita. Karena itu, tahun ini kita membangun ladang pertobatan di seluruh Taiwan agar setiap orang dapat bertobat dan berdoa bagi dunia. Kini kita dapat melihat setiap orang sangat bersungguh hati dalam menyelami dan memahami makna dari Syair Pertobatan Air Samadhi.

Buddha mengajarkan kita agar senantiasa menjaga pikiran dengan baik. Syair “Dharma Bagaikan Air” berbunyi, “Noda batin, karma, dan buah karma menyebabkan semua makhluk terbelenggu dalam lingkaran kelahiran kembali.” “Ketiganya merintangi Jalan Mulia dan menghalangi kelahiran di alam manusia maupun dewa.” “Buddha menyebutnya sebagai Tiga Rintangan yang membawa penderitaan jika tak dikikis.” Artinya, rintangan pertama adalah noda batin. Noda batin meliputi ketamakan, kebencian, dan kebodohan. Ketiga hal inilah yang disebut sebagai noda batin. Noda batin ini dapat merintangi kita untuk berjalan dalam ajaran Buddha.

Jika memiliki ketamakan, kebencian, dan kebodohan, maka sulit bagi kita untuk memiliki keyakinan benar dan bersumbangsih tanpa pamrih. Orang yang berkeyakinan benar harus melenyapkan ketamakan, kebencian, dan kebodohan. Sebagai praktisi Buddhis, kita tidak boleh bertemperamen buruk, melainkan harus senantiasa memahami prinsip kebenaran.

Dengan demikian, barulah kita dapat bebas dari noda batin. Yang kedua adalah karma. Karma buruk yang kita ciptakan akan merintangi kita untuk berbuat bajik. Pepatah mengatakan, “Berbakti adalah akar dari semua kebajikan.” Jadi, berbuat bajik harus dimulai dari berbakti. Orang yang berbakti akan selalu menghormati orang lain. Jadi, kita harus berbakti pada orang tua dan menghormati para guru. Orang yang demikian adalah orang yang berhati baik. Jika tidak menghormati guru dan berbakti pada orang tua mereka akan sangat sulit untuk melakukan kebajikan. Jadi, karma akan merintangi kita untuk berbuat bajik. Ada pula buah karma. Buah karma akan merintangi kita untuk mencapai pencerahan. Makhluk yang terlahir di surga, neraka, alam setan kelaparan, maupun binatang sangat sulit untuk mendengar Dharma. Hanya di alam manusialah kita dapat mendengar Dharma. Namun, manusia terbelenggu oleh ketamakan, kebencian, kebodohan, serta penderitaan akibat buah karma sehingga sangat sulit untuk mendengar Dharma. Ini semua karena Tiga Rintangan yakni noda batin, karma, dan buah karma.

Berapa banyak orang yang benar-benar sadar dan mencapai pencerahan? Setiap hari kita dapat melihat orang-orang saling berselisih dan bertikai. Contohnya, ketegangan antara Kamboja dan Thailand selama puluhan tahun ini. Belakangan ini ketegangan kembali memuncak. Di perbatasan antara Kamboja dan Thailand terdapat sebuah kuil yang dibangun pada abad ke-11. Mereka saling memperebutkan wilayah itu. Bukankah ini terjadi akibat adanya ketamakan, kebencian, kebodohan, karma, serta buah karma?

Lihatlah, betapa banyak orang yang menderita akibatnya. Tiga Rintangan tersebut mendatangkan banyak bencana di dunia. Saudara sekalian, kita sungguh beruntung  karena terlahir sebagai manusia, dapat mendengar Dharma, dan menapaki Jalan Bodhisatwa. Kesempatan ini sungguh sulit didapat. Saya sungguh bersyukur. Selama 45 tahun ini, setiap detik hati saya dipenuhi rasa syukur. Diterjemahkan oleh: Lena

 
 
Sikap jujur dan berterus terang tidak bisa dijadikan alasan untuk dapat berbicara dan berperilaku seenaknya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -