Suara kasih: Permata Bagi Korban Gempa

 

Judul Asli:
Permata bagi Masyarakat Dua tahun lalu,  gempa dahsyat melanda Sichuan.

Renovasi sekolah dijalankan pascabencana di Sichuan
Menghimpun kekuatan banyak orang demi proyek harapan       
Insan berbudaya humanis merupakan permata masyarakat
Guru yang tak diundang membantu warga membersihkan rumah

Insan Tzu Chi segera bergerak menuju lokasi untuk menenangkan batin dan menghibur korban bencana. Selanjutnya, kita terus mendampingi mereka dan aktif berkontribusi dalam pembangunan sekolah-sekolah. pembangunan sekolah-sekolah. Setelah meninjau sekolah yang rusak, kita memilih 13 sekolah dasar dan menengah untuk direnovasi. Namun, merenovasi bangunan yang runtuh akibat gempa bumi sungguh merupakan proyek yang sulit. Terlebih lagi, insan Tzu Chi dari Taiwan-lah yang berangkat ke Tiongkok untuk memikul tanggung jawab atas proyek ini.

Ini sungguh sebuah tanggung jawab yang besar dan berat karena proyek ini sungguh penuh kesulitan. Untuk apa kita melakukan semua ini? Demi membina generasi muda yang berkualitas. Harapan generasi muda terletak pada pendidikan. Waktu terus berlalu dengan cepat, namun pendidikan anak-anak tak boleh ditunda. Karena itu, kita harus bergegas dan menggunakan metode yang paling efisien dalam meninjau lokasi, menentukan sekolah yang akan direnovasi, mendesain, dan memulai konstruksi. Meski harus bergegas dalam banyak hal, namun kita tak boleh sembrono. Kita harus berlomba dengan waktu. Karena itu, selama lebih dari setahun sejak terjadinya bencana di bulan Mei 2008, kita terus meninjau lokasi, dan para insinyur pun terus mengevaluasi, mendesain bangunan, hingga menunjuk perusahaan konstruksi.

Pembangunan dimulai pada bulan Agustus 2009. Sejak pembangunan dimulai, insan Tzu Chi dari Taiwan sering meninjau lokasi pembangunan untuk memerhatikan dan menjaga kualitas pembangunan tiga belas sekolah tersebut. Meski penuh kesulitan dan kerja keras, namun kita tetap menjalankan sesuai peraturan. Selama masa konstruksi, mereka selalu memeriksa dengan teliti, meski hanya hal-hal yang kecil.

Contohnya, “bagian ini. Kami tak bisa membersihkannya,” kata seorang kontraktor. “Saya tahu. Anda lihat ini,” terang relawan. “Kami telah mencoba berkali-kali, namun masih tidak bersih,” jawab si kontraktor. “Saya tahu. Saya akan beri tahu cara membersihkannya. Anda bisa menggunakan alat poles mobil. Pada alat poles mobil bukankah terdapat busa yang memutar? Anda ganti busa yang memutar itu dengan penggosok besi anti karat. Jika Anda membersihkan dengan alat itu, maka noda ini akan hilang,” balas relawan. “Anak-anak adalah permata bagi semua orang tua. Setuju? Anda lihat, di sini sangat kotor. Jika anak-anak menghirup udara dan debu ini, maka tidak baik untuk kesehatan mereka,” jelas seorang relawan.



Pada mulanya, perusahaan konstruksi tidak menerima metode pembangunan kita. Perlahan-lahan para relawan dan anggota komite pembangunan menjelaskan kepada mereka sehingga mereka pun menerima metode pembangunan kita. Mereka juga mulai belajar dan memahami budaya humanis di tengah proyek pembangunan. Mereka merasa perlu mempelajarinya.

"Saya sudah mengalami kerugian 3 juta yuan untuk sekolah ini. Meski mengalami kerugian 3 juta yuan, namun saya belajar banyak teknik,” kata si konraktor. ”Mengapa Anda masih bisa tersenyum meski sudah rugi 3 juta yuan?” tanya relawan. ”Tentu saja, karena saya melakukan hal baik,” jawabnya.

Terdapat pula seorang seniman bangunan. Ia telah menggeluti bidang konstruksi selama lebih dari dua puluh tahun dan ini pertama kalinya ia bekerja sama dengan institusi dari Taiwan. Ia berkata bahwa ini adalah pengalaman yang membuka matanya. Sebelumnya ia tidak memerhatikan hal-hal kecil. ”Dulu kami hanya melakukan apa yang dilakukan orang lain. Hampir sama dengan kebanyakan orang. Dulu kami tidak memerhatikan hal-hal kecil. Yang penting tidak memengaruhi persyaratan umum bangunan. Kami meremehkan hal-hal kecil. Insan Tzu Chi lebih memerhatikan setiap detail dibanding kami,” ungkap seorang seniman bangunan.

Kita bisa melihat budaya di lokasi proyek berubah dengan adanya budaya humanis Tzu Chi. Semua orang bersumbangsih penuh cinta kasih. Baik membangun jalan, dinding, maupun pekerjaan lainnya, mereka kerjakan dengan penuh kesungguhan hati. Saya sungguh berterima kasih. Tentu saja, tersebarnya budaya humanis Tzu Chi adalah berkat kerja keras insan Tzu Chi, yakni tim Tzu Cheng dari Taiwan. Salah satu di antaranya adalah Tuan Zhou. Sejak proyek dimulai pada bulan Agustus, ia terus berada di sana. Ia hidup rajin dan hemat serta bersumbangsih dengan tindakan nyata. Ia makan dengan sederhana, namun bekerja dengan rajin. “Banyak seniman bangunan bertanya pada saya, “Anda tiap hari memotret kami, apakah Anda ingin membawa fotonya ke Taiwan?” Saya bilang, “Bukan.” “Saya ingin menunjukkan foto-foto ini kepada para guru dan siswa di sekolah ini,” kata Tuan Zhou.

“Mereka bertanya, “Mengapa?” Saya pun menjawab, Saya harap kelak jika sekolah resmi dibuka, para guru dan siswa dapat mengetahui bahwa bangunan yang mereka gunakan adalah hasil kerja banyak orang yang diam-diam bersumbangsih. Saya juga berharap para guru dan murid dapat menghargai segala fasilitas sekolah ini,” jelas Tuan Zhou.

Ada yang bertanya padanya, “Apakah Yayasan Buddha Tzu Chi sangat kaya?” Ia pun menjelaskan dengan tindakannya yang nyata. Ia akan memberi tahu mereka bahwa Yayasan Buddha Tzu Chi tidaklah kaya materi, tetapi kaya dengan cinta kasih. Insan Tzu Chi di seluruh penjuru dunia senantiasa hidup hemat dan bersumbangsih dengan penuh cinta kasih. Orang-orang menjadikan mereka sebagai teladan. Jadi, insan Tzu Chi di Sichuan sungguh telah membangkitkan semangat Bodhisatwa sehingga banyak warga lokal baik pengusaha konstruksi, kepala sekolah, para guru, dan banyak orang lainnya terinspirasi untuk ikut bersumbangsih.

Tentu saja, setiap hari insan Tzu Chi di seluruh dunia senantiasa membantu korban bencana.

Di Kota Sanchong, Taiwan, terjadi bencana kebakaran di sebuah gedung, tepatnya di lantai enam. Setelah bencana kebakaran teratasi, para penghuni kesulitan membersihkannya. Setelah hampir 10 hari, mereka meminta bantuan kepada insan Tzu Chi. Insan Tzu Chi pun segera menanggapi dan setuju untuk membersihkan gedung tersebut. Kemudian, insan Tzu Chi pun mengunjungi para warga di lantai lain dan meminta izin karena kegiatan pembersihan ini mungkin akan menganggu mereka dan air yang mengalir dari tangga mungkin sangat kotor. Insan Tzu Chi mengunjungi setiap warga untuk menjelaskan hal ini. Melihat mereka melakukan semua itu,saya pun merasa tersentuh. Para warga pun merasa tersentuh.

Setelah membersihkan lantai atas, mereka membersihkan anak tangga satu per satu sehingga menjadi sangat bersih. Para warga dari tiap lantai berkata, “Ini depan rumah saya, biarlah saya yang membersihkannya.” Para warga sungguh merasa terharu dari lubuk hati terdalam. Insan Tzu Chi akan menjawab, “Karena kami telah datang, biarlah kami yang membersihkan semuanya.”

Lihatlah, bukankah para Bodhisatwa tersebut merupakan permata bagi masyarakat kini? Lihatlah kasus lain di Sanchong, sebuah keluarga yang istrinya mengalami gangguan mental akibat kecelakaan lalu lintas dan suaminya menderita penyakit stroke. Meski kedua anaknya sudah besar, namun mereka tak bisa membersihkan rumah. Karena selama beberapa tahun tidak dibersihkan, rumah tersebut dipenuhi banyak tikus, kecoak, dan sampah di mana-mana. Demi membantu mereka membersihkannya, insan Tzu Chi harus membangun hubungan baik agar tidak menyinggung harga diri mereka.

Jadi, insan Tzu Chi terus mendampingi mereka hingga rasa percaya mereka terhadap insan Tzu Chi tumbuh. Dua hingga tiga tahun kemudian barulah para relawan berani mengutarakan niatnya untuk membersihkan rumah mereka. Para relawan sungguh merupakan guru yang tak diundang, yang sabar mendampingi dalam jangka panjang. Bukankah ini adalah permata dalam masyarakat?

Diterjemahkan oleh: Erni & Hendry Chayadi
 Foto: Da Ai TV Taiwan
 
Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -