Suara Kasih: Rela Bersumbangsih
Judul Asli:
Benih bodhi berkembang di Afrika Selatan | |||
Tahukah kalian, setiap kali melihat relawan dari Afrika Selatan, timbul rasa sayang dari lubuk hati saya? Lihatlah, jika taraf hidup kalian bernilai 80, maka taraf hidup mereka tidak sampai 20. Mereka sangat kekurangan. Adakalanya kita melihat mereka menggunakan rumah yang seadanya, ruang terbuka di bawah teriknya matahari, atau tempat yang kurang layak untuk berkumpul melihat ceramah saya. Mereka hanya melihat, karena tidak paham bahasa Mandarin. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan penerjemah. Setelah melihat ceramah saya, mereka mendengar terjemahannya. Begitulah cara mereka mengadakan pelatihan untuk memperkuat pilar semangat mereka. Bayangkan, di tempat yang begitu sederhana, benih-benih ini tetap tumbuh dan berkembang. Bagaimana mungkin saya tak mengasihi mereka? Kali ini, beberapa dari mereka juga menghadiri pelatihan pengurus 4 in 1 sedunia. Salah satunya, Adelaide (Ci Ai), berkata bahwa melihat para bhiksuni di Griya Jing Si membuat nasi instan, dia sangat tersentuh. Selain itu, Gladys (Ci Di) juga mengatakan bahwa insan Tzu Chi AS akan membantu mereka mendirikan 13 pusat penyedia makanan. Karena itu, dia sangat bersyukur dan bersukacita. Hingga saat ini, telah dibangun tiga pusat penyedia makanan. Dia bertekad untuk lebih mandiri meski kini insan Tzu Chi AS membantunya. Dia juga berkata bahwa lewat pelatihan pengurus 4 in 1 kali ini, dia dapat lebih memahami filosofi Tzu Chi. Oleh karena itu, dia pun bertekad untuk lebih berusaha keras. “Saya berjanji kepada Master bahwa pusat penyedia makanan ini bukan hanya menjadi tempat untuk menyediakan makanan bagi yatim piatu, melainkan tempat untuk memperkenalkan Tzu Chi dan membangkitkan lebih banyak cinta kasih.” “Setiap hari, tempat itu akan beroperasi 24 jam. Master bilang kamu harus menjaga kesehatan. Dengan begitu, baru bisa lebih banyak bersumbangsih.” Setiap orang harus menjaga kesehatan. Kalian semua harus menjaga kesehatan. Ada pula Brenda (Ci Bu). Dia juga sangat bersyukur atas jalinan jodohnya dengan Tzu Chi. Dia sendiri hidup kekurangan. Akan tetapi, di tengah kekurangannya, dia masih bisa kembali ke Taiwan dan bertemu dengan saya. Dia juga berterima kasih atas bantuan dana pendidikan dari Tzu Chi. Dia berterima kasih karena dana tersebut telah membantu banyak anak kurang mampu. Jadi, dia sangat berterima kasih. Dia berharap anak-anak yang mendapat bantuan pendidikan itu kelak dapat bersumbangsih bagi masyarakat. Inilah semangat yang mereka sebarkan di sana. | |||
| |||
Rasa sukacita seperti ini tidak dapat dibeli dengan uang. Karena itu, mereka bersumbangsih dengan gembira. Mereka bahkan telah pergi ke Swaziland. Mereka pergi ke Swaziland untuk menyebarkan semangat Tzu Chi di sana. Saat pertama kali ke sana, mereka tidak membawa bantuan apa pun karena mereka ingin terlebih dahulu memahami kebutuhan warga setempat dan mencoba berinteraksi dengan memperkenalkan Tzu Chi kepada mereka. Pada kunjungan yang kedua, warga setempat mengira bahwa insan Tzu Chi membawa barang bantuan. Akan tetapi, ternyata mereka datang dengan tangan kosong. Warga setempat pun sedikit kecewa. Mereka berpikir, “Selalu mendengungkan cinta kasih, tetapi mengapa tidak membawa bantuan?” Memahami pola pikir warga, insan Tzu Chi mulai berbagi kepada mereka bahwa manusia tak boleh terlalu bergantung pada orang lain, sebaliknya setiap orang memiliki potensi untuk bersumbangsih dan membantu orang lain. Insan Tzu Chi membimbing warga dan berbagi dengan mereka bahwa asalkan ada niat baik, maka ada berkah, dan asalkan ada tekad, maka ada kekuatan. Meski yang kita berikan tidak banyak, namun tetap dapat bermanfaat bagi orang lain. Yang terpenting adalah memberi penghiburan batin dan membangkitkan keyakinan diri mereka agar mereka dapat hidup mandiri. Begitulah mereka menyebarkan benih cinta kasih di sana. Mereka tidak bergantung pada materi, melainkan pada bimbingan penuh kebijaksanaan dengan harapan agar di tengah kekurangan, warga setempat bisa memiliki batin yang kaya dan memiliki benih berkah di dalam hati. Pada kunjungan ketiga, insan Tzu Chi mulai mendengar hasil bimbingan mereka. Tak lama setelah kunjungan kedua, sebuah desa di Swaziland dilanda bencana. Relawan setempat pun segera memberi penghiburan, pendampingan, dan bantuan bagi para korban. | |||
| |||
Mereka berkata bahwa sekembalinya dari Taiwan kali ini, mereka akan menghimpun lebih banyak kekuatan. Saya yakin mereka akan lebih bersungguh hati. Jika semakin banyak orang terinspirasi untuk membantu sesama, maka kekuatan yang terhimpun akan sangat besar. Lihatlah, ini adalah cermin bagi kita. Dengan kondisi kehidupan seperti itu, mereka masih dapat melakukan banyak hal yang belum tentu bisa dilakukan oleh orang kaya. Jadi, kita harus memperlakukan setiap orang dengan hati Buddha. Kita juga harus memperlakukan orang dengan kerendahan hati dan rasa hormat. Saya sering berkata bahwa kita harus bersyukur, menghormati, dan mengasihi. Jika setiap orang dari kita dapat menyerap semua ini ke dalam hati, senantiasa bersyukur kepada setiap orang, dalam setiap hal, dan di mana pun berada, maka yakinlah bahwa kita akan senantiasa berbahagia. Bayangkan sekelompok Bodhisatwa dari Afrika Selatan tadi. Mereka senantiasa bersyukur. Oleh karena itu, hati mereka menjadi sangat lapang. Dengan memiliki rasa syukur, pikiran mereka menjadi sangat murni. Jadi, kaya atau miskin materi bukanlah masalah. Hati dapat senantiasa berbahagia, itulah yang terpenting. Karena itu, kepada para Bodhisatwa dari Afrika Selatan ini, saya sering berkata, “Kalian adalah buah hati saya.” Saat mendengarnya, apakah kalian merasa “iri”? / Tidak / Harus “iri” dong, jangan bilang tidak. Inginlah menjadi seperti mereka. Jika ingin, kalian harus lebih tekun dan bersemangat. Saya percaya kalian juga sama, sama-sama buah hati saya, karena kalian sangat dekat dengan hati saya. Diterjemahkan oleh: Karlena Amelia. | |||