Suara Kasih: Sekolah Impian di Myanmar


Judul Asli: Membangun Sekolah di Myanmar dan Giat Melatih Diri

”Senang sekali melihat gedung sekolah bertingkat tiga ini. Para siswa akan dapat belajar dengan nyaman. Saya sangat berterima kasihkepada Master Cheng Yen dan para insan Tzu Chi.” (salah seorang guru di Myanmar)


Di Myanmar, kita membangun gedung sekolah bagi warga setempat. Beberapa hari yang lalu, kita mengadakan acara serah terima sekolah yang berada di Thingangyun ini. Kita mendirikan TK, SD, dan SMP bagi warga setempat. Mereka sangat gembira. Kita mendirikan 3 gedung sekolah di sana dan pembangunannya telah diselesaikan.

Memulihkan Kondisi Pasca Topan Nargis
Pada tahun 2008 lalu, Myanmar dilanda topan Nargis. Bencana ini menelan hampir 200.000 korban jiwa dan mengakibatkan banyak gedung rusak parah. Insan Tzu Chi segera menghimpun dan memikul tanggung jawab untuk memulihkan kondisi tersebut.

Kita segera memberikan bantuan materi berupa kebutuhan pokok dan juga makanan. Kemudian, kita membimbing warga agar dapat mandiri. Myanmar adalah negara agraris. Karena itu, kita pun segera menyediakan bibit dan pupuk agar mereka dapat kembali bercocok tanam. Insan Tzu Chi terus mendampingi warga dan memantau perkembangan proyek bantuan ini. Sungguh menyenangkan melihat lahan yang hijau dan tanaman yang terus tumbuh hingga siap dipanen. Kini, mereka dapat hidup dengan stabil.

Setelah kehidupan warga membaik, kita pun berfokus pada pendidikan. Melihat kondisi lingkungan belajar para siswa pascabencana, sungguh membuat hati saya merasa iba. Sebuah sekolah dasar di Thingangyun yang memiliki 800 siswa lebih ini mengalami kerusakan parah akibat topan Nargis. Para siswa belajar di sebuah tempat yang sangat sederhana.

Di ruangan yang luas tersebut, diletakkan 6 buah papan tulis yang dihadapkan ke arah yang berbeda-beda. Ada 6 orang guru yang berdiri di samping masing-masing papan tulis, dan para siswa memerhatikan guru mereka masing-masing. Namun, guru mana yang harus mereka dengarkan? Ruangan tersebut tak memiliki sekat sehingga suara guru lain juga dapat terdengar. Dari sini dapat kita lihat bahwa siswa setempat memiliki konsentrasi yang baik. Mereka sangat giat dalam menuntut ilmu. Karena itu, mereka dapat berkonsentrasi pada suara guru masing-masing.

Myanmar adalah negara agraris. Karena itu, Tzu Chi segera menyediakan bibit dan pupuk agar mereka dapat kembali bercocok tanam. Insan Tzu Chi juga terus mendampingi warga dan memantau perkembangan proyek bantuan ini.



Saya sungguh kagum kepada mereka. Sebelumnya, kondisi kelas sangatlah sederhana. Namun kini, para siswa dapat belajar di lingkungan yang bersih dengan fasilitas yang memadai. Saya sungguh gembira melihat hal ini. Demi mendirikan gedung sekolah ini, insan Tzu Chi tak hanya  menyumbangkan dana dan tenaga, mereka juga berpikir keras agar dapat meringankan beban semua orang.


Saya sungguh berterima kasih kepada mereka. Kondisinya kini berbeda sekali. Ruangan kelas lebih besar dan ventilasi udara sangat baik. Para siswa akan dapat belajar dengan nyaman dan gembira. Saat mengantar anak ke sekolah ini, saya melihat ruangan kelas yang sangat bagus. Saya sangat gembira melihat hal ini. Sebagai seorang ibu, saya turut merasa senang.

Beberapa hari yang lalu, Sekolah Menengah Pertama Thingangyun 4 diresmikan. Salah seorang guru berkata bahwa ia belum pernah mengajar di sekolah sebagus ini. ”Di Myanmar tak ada sekolah seperti ini.” Ia pun berkata bahwa kini siswa dapat belajar di lingkungan yang sangat baik. Karena itu, ia pun akan mengajar dengan baik serta membimbing para siswa untuk bersyukur setiap hari. Kita juga mengetahui jika para siswa merasa sangat bersyukur. Kita sangat tersentuh melihatnya. Mereka sungguh tahu berterima kasih. Saat menyatakan terima kasih, mereka menelungkupkan kedua tangan ke dada. Ini adalah cara mereka menunjukkan rasa hormat.

Beda Budaya, Namun Satu Hati
Setiap negara memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda. Namun, kerapihan dan keteraturan  akan menciptakan keindahan. Di Taiwan, bila kita memosisikan  kedua tangan seperti itu, maka orang lain akan merasa tidak nyaman. Namun, di Myanmar sikap ini justru untuk menunjukkan rasa hormat.

Saudara sekalian, kita sangat gembira mendengar ucapan terima kasih mereka, meskipun kita tak mengharapkan pamrih. Kita senang mendengar seorang guru bertekad untuk membimbing para siswa  agar tahu berterima kasih. Bila anak-anak tahu berterima kasih, itu menunjukkan mereka memiliki budi pekerti dan tata krama yang baik. Dan secara alami, mereka akan memiliki kebiasaan hidup yang baik. Inilah pendidikan yang baik dan benar.

Setiap negara memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda. Namun kerapihan dan keteraturan  akan menciptakan keindahan.

Jadi, sumbangsih kita sangat bermanfaat  bagi orang-orang di seluruh dunia, sehingga di sudut mana pun, mereka bisa memperoleh pendidikan yang layak. Inilah harapan umat manusia. Inilah hasil jerih payah semua orang yang telah bersumbangsih dengan penuh kesungguhan dan cinta kasih. Karena itu, kita harus waspada setiap saat.


Dalam Sutra Delapan Kesadaran Agung, kesadaran keempat adalah: ”Kemalasan membawa kemunduran;senantiasa bersemangat dalam melatih diri;menghancurkan kekotoran batin, dan menaklukkan empat jenis Mara;bebas dari penjara lima agregat dan tiga alam.”

Artinya, bila bermalas-malasan, kita akan mengalami kemunduran. Karena itu, kita tak boleh membiarkan anak-anak bermalas-malasan terlalu lama. Kita harus mengusahakan lingkungan yang baik agar mereka bisa segera mendapatkan pendidikan. Lihatlah anak-anak di Taiwan. Setelah melewati liburan yang panjang, mereka merasa malas untuk kembali ke sekolah. Bukankah ini tanda-tanda kemunduran? Jangan katakan ini adalah sindrom pascaliburan. Lihat, ini adalah akibat dari kemalasan. Malas berarti tidak giat ataupun kurang bersemangat. Hal ini sungguh mengkhawatirkan. Karena itu, Buddha berkata kepada kita agar tidak malas. Kita harus sadar bahwa manusia harus giat dan bersemangat.

Kita harus giat setiap saat agar dapat melenyapkan kekotoran batin, karena kekotoran batin  akan menutupi kebijaksanaan kita. Jadi, kita tak boleh malas dan tak boleh mundur. Kita harus giat melatih diri agar kekotoran batin tak merasuk ke dalam hati kita. Saya berharap agar setiap orang di dunia ini sadar bahwa kita harus giat dan tak boleh malas.

Gelang untuk Presiden Haiti
Bila dapat menyatukan cinta kasih, kita akan dapat memberikan harapan kepada orang-orang di berbagai negara. Inilah yang sedang kita lakukan di Haiti. Beberapa waktu lalu, saya mendapat laporan dari insan Tzu Chi di Haiti. Presiden Haiti bertemu dengan insan Tzu Chi  dua kali dalam sehari. Saat sedang berbicara dengan Relawan Huang, mata presiden terus tertuju pada gelang  yang dikenakan relawan Huang. Lalu Relawan Huang pun berbagi kisah dengannya mengenai cara Master Cheng Yen membimbing insan Tzu Chi. Karena presiden terus melihat gelang tersebut, maka ia melepaskan gelang itu dari tangannya. Presiden pun segera mengambil gelang itu dan terus melihatnya. Beliau terus memegang dan tak mengembalikan. Lalu Relawan Huang berkata kepada beliau, “Jika Anda sangat menyukainya, saya mewakili Master Cheng Yen memberikan gelang ini kepada Anda.”

Mendengar itu, beliau langsung  mengenakan gelang tersebut dan berkata kepada relawan Huang, “Saya telah mengenakan gelang ini, bukankah saya telah menjadi insan Tzu Chi? Mulai hari ini, saya adalah insan Tzu Chi.” Inilah bukti hasil jerih payah insan Tzu Chi yang telah berkontribusi  di Haiti selama beberapa waktu ini.

Di Haiti, Tzu Chi adalah satu-satunya organisasi yang mendampingi para korban bencana setelah gempa terjadi hingga saat ini. Insan Tzu Chi tak hanya memberikan  bantuan materi kepada para korban bencana, melainkan juga bimbingan dan dukungan moril. Karena itulah, Presiden Haiti sangat berterima kasih dan sangat menghormati Tzu Chi. Sungguh tersentuh melihatnya.

Singkat kata, kita harus hidup giat  dan tak boleh malas. Bila kita giat, kita akan dapat memberikan harapan kepada orang banyak. Intinya, agar bumi ini tenteram, hati dan pikiran manusia  harus ditenangkan terlebih dulu. Setelah tenang, pikiran akan lebih terfokus. Pikiran yang hening bening akan membuat kita dapat merenung, berintrospeksi diri, dan sadar setiap saat. Akhir kata, saat terjadi bencana, kita harus dapat memetik pelajaran darinya.

Diterjemahkan oleh: Eliza
Foto: Tzu Chi Taiwan

Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -