Suara Kasih: Tetap Giat Belajar

 

Judul Asli:

Tetap Giat Belajar meski Berada di Lingkungan Sulit

Siswa-siswi di Zimbabwe sangat giat belajar meski berada di lingkungan yang sulit
Menyebarkan cinta kasih di Zimbabwe
 Memerhatikan seluruh dunia dengan hati penuh cinta kasih
Berpegang teguh pada tekad dan keyakinan untuk menggapai cita-cita

Bodhisatwa sekalian, kita sungguh harus tahu berpuas diri dan penuh rasa syukur. Ini bukan hanya sebuah slogan. Kita dapat melihat kehidupan di Zimbabwe. Kita dapat melihat anak-anak duduk di atas tanah yang berpasir dan tidak rata. Selain itu, kita juga melihat banyak batu di sana. Zimbabwe disebut dengan “rumah besar dari batu”. Melihat formasi bebatuan itu dari kejauhan, kita sungguh sulit memercayainya. Bagaimana bumi begitu luar biasa, bisa menumpuk bebatuan yang besar hingga seperti itu? Selain itu, ada tumpukan bebatuan yang terlihat seperti akan jatuh,tetapi ia tetap berdiri dengan stabil di sana. Saya sungguh kagum dengan keindahan alam semesta ini. Warga setempat juga tidak tahu bagaimana bebatuan itu bisa bertumpuk di sana. Sungguh tiada orang yang tahu. Salah satu gambar uang kertas Zimbabwe adalah tumpukan bebatuan di sana. Di atas uang mereka tercetak gambar bebatuan.

Dari formasi bebatuan itu, kita sungguh dapat melihat keindahan alam. Akan tetapi, kehidupan warga setempat juga masih penuh kesulitan. Inilah cela kecil di tengah keindahan. Lihatlah sekolah mereka. Apakah tenda seperti itu bisa melindungi mereka dari hujan, angin, dan sinar matahari? Sungguh sulit. Berhubung duduk di bawah teriknya matahari, mereka sangat menghargai setiap bayangan kecil. Saya juga mendengar bahwa anak-anak akan duduk berputar. Berhubung sinar matahari sangat terik, mereka harus bergerak mengikuti bayangan bebatuan besar. Melihat lingkungan hidup mereka, kita sungguh merasa tidak tega. Akan tetapi, anak-anak itu terlihat sangat puas. Selain itu, mereka sangat giat belajar di tengah lingkungan serba minim itu.

Saya melihat buku catatan mereka dan tulisan mereka yang sangat indah. Di atas buku catatan yang sederhana itu, saya melihat tulisan anak-anak yang sangat indah. Selain itu, mereka juga memiliki satu kebiasaan, yaitu duduk berdekatan satu sama lain. Meski ruangannya sangat luas, mereka selalu duduk saling berdekatan. Ini karena satu kelas terdiri atas lebih dari 130 siswa. Bayangkanlah, di Taiwan, jumlah siswa di dalam satu kelas adalah 30-an orang, sedangkan di sana, lebih dari 130 siswa belajar di kelas yang sama. Jika tidak duduk lebih dekat, bagaimana mereka bisa mendengar suara guru? Selain itu, setiap siswa harus menjaga keheningan dan tidak boleh ada suara sedikit pun karena jika tidak berkonsentrasi, maka perkataan guru akan berlalu begitu saja. Saya sungguh merasa tidak tega. Apakah papan tulis mereka masih layak disebut papan tulis? Saya juga melihat selembar foto yang diambil oleh Cheng Hao.  

Sebelum pelajaran dimulai, ada seorang siswa yang harus memanjat untuk menggantung papan tulis. Papan tulis itu sudah sangat usang dan sudah berubah dari warna hijau tua menjadi putih. Melihat hal itu, seorang relawan Tzu Chi bernama Tuan Zhu yang merupakan pengusaha Taiwan yang tinggal di Zimbabwe mulai menyadari bahwa sekelompok anak itu sangat ingin belajar. Karena itu, dia memutuskan untuk berkontribusi. ”Saya memiliki jalinan jodoh ini.

Jika bukan saya yang melakukannya, siapa lagi? Bagaimana mungkin saya tidak membantu? Saya selalu mengingatkan diri dengan cara ini,” ucapnya. Sebersit rasa tidak tega membuat dia memanfaatkan kesempatan untuk membantu anak-anak setempat. Berkat kesediaannya untuk membantu, barulah insan Tzu Chi Taiwan memiliki kesempatan untuk mendesain ruang kelas rakitan untuk mereka.

Jadi, kita mengirimkan 10 ruang kelas rakitan yang masing-masing berukuran 100 meter persegi ke sana. Sebelum mengirimnya, saya masih berpikir, “Anak-anak yang belajar di dalam apakah akan merasa pengap dan panas?” “Apakah kelas itu terlalu sederhana bagi anak-anak?” Banyak yang saya khawatirkan. Kemarin, relawan yang pulang dari Zimbabwe berbagi banyak foto dan video yang mereka ambil di sana. Melihat semua itu, saya sungguh merasa beruntung kita mendesain ruang kelas rakitan untuk mereka. Jika dibandingkan dengan tenda mereka yang sudah usang, ruang kelas rakitan kita jauh lebih baik.

”Terima kasih kepada Tuan Zhu dan seluruh insan Tzu Chi dari Taiwan, Malaysia, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan negara-negara lainnya yang telah datang ke sini bagi anak-anak di sini. Kami juga menyayangi kalian. Terima kasih atas kebaikan kalian. Terima kasih,” ucap warga. Melihat itu, saya sungguh merasa lebih tenang. Di atas lahan itu,kita membangun 7 kelas rakitan sementara. Sisa tiga ruang kelas rakitan yang lain, kita kirimkan ke Afrika Selatan. Kehidupan warga Afrika Selatan juga sangat miskin, tetapi tetap lebih baik dari Zimbabwe.

Berbicara tentang Afrika Selatan, dua hari ini, sebuah arus dingin yang kuat menerjang Afrika Selatan dan mendatangkan salju lebat di Johannesburg. Semoga setiap orang tetap aman dan selamat. Sungguh, semoga setiap orang aman dan selamat. Topan Haikui telah melanda Provinsi ZheJiang dan mendatangkan bencana di sana. Selain itu, Filipina juga diguyur hujan lebat. Sebagian besar rumah insan Tzu Chi setempat juga tergenang banjir. Akan tetapi, mereka tetap terjun ke lokasi bencana untuk menyiapkan pembagian bantuan. Berhubung air banjir di beberapa wilayah masih belum surut, insan Tzu Chi mulai merencanakan pembagian bantuan beras bagi korban bencana.

Di Taiwan, Topan Saola juga mendatangkan kerusakan parah, karena itu insan Tzu Chi masih terus mengadakan pembagian bantuan. Kemarin, saat kegiatan pembagian bantuan, ada seorang pria yang jatuh dari genting dan terluka. Mendengar hal itu, insan Tzu Chi segera mendekat untuk melihatnya.Kebetulan, petugas kesehatan yang datang menolongnya adalah alumni Institut Teknologi Tzu Chi. Dia bersama dengan insan Tzu Chi segera mengantar pria itu ke RS Tzu Chi.

Singkat kata, di mana pun terjadi bencana, insan Tzu Chi selalu hadir untuk membantu. Pascabencana, orang yang selamat hendaknya mencurahkan cinta kasih, sedangkan orang yang menerima bantuan hendaknya merasa bersyukur. Jika setiap orang bisa saling menghormati dan bersyukur, bukankah segala sesuatu akan menjadi sangat indah? Orang yang dilanda bencana sungguh menderita. Akan tetapi, sumbangsih yang tulus bisa membawa suatu kehangatan. Dalam hubungan antarmanusia, setiap orang harus berinteraksi dengan baik. (Diterjemahkan Oleh: Karlena Amelia)

 
 
Kita sendiri harus bersumbangsih terlebih dahulu, baru dapat menggerakkan orang lain untuk berperan serta.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -