Memberi dengan Tulus

Buddha mengajarkan kepada kita bahwa tidak hanya berusaha demi kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk membantu orang lain. Untuk membantu orang lain, kita harus memberikan dengan tulus yaitu menolong  mereka yang membutuhkan dan  meringankan penderitaan mereka. Kita membantu dengan hati yang ikhlas tanpa ada maksud untuk menerima balasan. Ada cerita mengenai hal ini di dalam sutra.  Di zaman Buddha, di Kota Rajagraha, orang-orang kaya menetap di daerah orang kaya dan orang-orang miskin tinggal di perkampungan kumuh. Adapula komunitas yang dijuluki Kampung Miliuner. Tiap orang yang tinggal di wilayah tersebut sangat kaya dan memiliki simpanan bermilyar-milyar. Ada seorang pedagang yang sangat iri dengan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Ia berpikir “Masyarakat di wilayah itu sangat kaya. Meski saya mempunyai penghasilan cukup sebagai pedagang dan tidak perlu cemas dengan keuangan, tapi saya juga ingin tinggal di sana. Dengan begitu masyarakat akan menganggap saya sangat kaya.” Oleh karenanya, ia mengatur rencana agar dapat menetap di wilayah tersebut.  Sudah bertahun-tahun, pedagang tersebut bekerja keras. Meski usahanya lancar, ia menghemat uangnya untuk segala kebutuhan sehari-harinya. Keluarganya pun hidup seakan-akan mereka miskin. Semua ini dilakukannya demi meraih impiannya. Pedagang tersebut hidup sangat hemat selama beberapa dasawarsa. Meskipun ia menua dan sakit, di ranjang sebelum kematiannya ia berkata pada isterinya, ”Penyesalan saya hanya masih belum meraih impian saya.” Ia berpesan pada istri dan anaknya untuk memenuhi harapannya, “Meski saya sudah tiada, kalian harus membuat impian saya menjadi kenyataan.”  Sang anak menyetujui, namun ia selalu memprihatinkan gaya hidup sang ayah. Ia merasa ayahnya bekerja amat keras tapi sangat pelit sehingga kehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan orang yang hidup dalam kemiskinan. Di saat pedagang itu masih hidup, Buddha sudah menjelaskan mengenai ajaran kebajikan di Kota Rajagraha. Banyak orang yang menghadiri kotbah Buddha untuk memperoleh pemahaman rohani dan   menghilangkan ketegangan mereka. Bahkan kaum miskin pun  mendapatkan manfaat dari pengajaran tersebut dan mendapatkan  kebahagiaan hidup. Anak lelaki pedagang tersebut acap kali heran, “Mengapa keluarganya tidak mau percaya pada Buddha, mendengarkan ajaran kebajikan dan mengikuti jalan Buddha?” Ia merasa agak bertentangan dengan tradisi keluarga dan mencari pengajaran yang dapat mengarahkan hidupnya.  Setelah sang pedagang meninggal dunia, anak lelakinya menghadiri kotbah Buddha untuk mempelajari dan menerapkan ajarannya. Ia merasa hati Buddha sangat lapang dan damai, merasakan pengajarannya menjadikannya berhati lapang, damai, serta tenteram. Ia sangat bahagia dan menikmati kehidupan rohaninya. Hal itu adalah sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang, dan juga tidak dapat digantikan dengan hidup dalam kemewahan.  Setelah mendapatkan warisan keluarga, anak lelaki itu memutuskan untuk menyumbangkan warisannya. Ia mendukung agama Buddha dengan memberikan persembahan pada Buddha dan Sangha (Biksu/biksuni). Ia juga mulai membantu kaum miskin. Di kala musim dingin, ia memberikan baju yang hangat; ketika mereka lapar, ia memberikan makanan yang hangat dan bergizi.  Setiap kali ia melihat hidup seseorang  meningkat, ia merasa puas dan bahagia. Bisa berbagi dengan orang lain menjadikannya merasa bahagia. Selama bertahun-tahun ia menyumbangkan seluruh warisannya. Lalu, tiba-tiba ia jatuh sakit, hanya dalam beberapa hari ia pun meninggal. Ibunya merasa sangat kehilangan dan menangisi kepergiannya setiap hari. Terus-menerus bertanya pada diri sendiri mengapa anak lelakinya harus meninggal di usia yang  masih muda.  Ketika itu, ada seorang Penatua (pengurus gereja) yang tinggal di Kampung Miliuner. Ia adalah orang yang paling kaya di daerah tersebut. Baru saja istrinya melahirkan seorang putra. Bayinya amat lucu dan disukai semua orang. Ini adalah peristiwa yang paling membahagiakan, akan tetapi bayi tersebut menangis terus-menerus. Meskipun ia sedang minum susu digendongan ibunya, ia tetap menangis. Orang tuanya berpikir, ”Akhirnya di usia lanjut kita berhasil dikarunia seorang anak, dan semua orang menyukainya,  tapi mengapa anak ini menangis tanpa henti.”  Setelah berpikir penatua itu berkata pada istrinya, ”Mengapa kita tidak mempekerjakan  seseorang untuk mengasuh putra kita?” Mereka mengirim pesan  mencari pengasuh. Beberapa orang berdatangan dan berusaha mengasuh bayi itu, tapi tidak satu pun yang berhasil. Sampai pada akhirnya, istri pedagang itu mendengar kabar ini. Karena ia membutuhkan mata pencaharian, ia pergi berkunjung untuk bertanya apakah ia dapat diperkerjakan. Saat ia menggendong bayi tersebut, sang bayi tersenyum. Penatua sangat gembira dan merasa yakin untuk mengambil istri pedagang tersebut menjadi pengasuh putranya. “Mari tinggallah  di rumah kami,” ujarnya. “Kami akan memperlakukanmu seperti keluarga sendiri asal mau mengasuh  bayi kami dengan baik yaitu menjamin kebahagiaan dan kesehatannya.” Penatua kaya itu menepati janjinya dan memperlakukan istri pedagang tersebut seperti anggota keluarga sendiri. Tetapi itu belum membantunya karena masih ada perasaan sedih teringat suaminya yang sudah bekerja sangat keras cuma untuk satu tujuan yaitu tinggal di wilayah Miliuner. Dan anak lelakinya yang sudah menyumbangkan seluruh warisannya meninggal. Baik suaminya maupun anak lelakinya belum mendapatkan rezeki untuk memperoleh hidup yang baik, sedangkan  ia dengan nyaman tinggal bersama keluarga kaya di kota.  Sementara itu, sang bayi mulai belajar bicara. Suatu hari, bayi itu melihat pada istri pedagang tersebut, “Mama” Ia memanggil, “tidakkah kamu mengenaliku ?” Dengan gemetar istri pedagang itu bertanya, ”Eit… bukankah kamu cuma seorang bayi, yang baru saja belajar bicara, bagaimana kamu dapat bicara begitu  jelas? Sang anak menjawab, ”Di masa lalu, aku adalah anakmu! Kebiasaan memberi telah memungkinkan saya memindahkan Anda ke dalam rumah ini ! Manfaat memberi benar-benar besar; kini impianmu sudah menjadi kenyataan, kita sedang tinggal di kampung Milyuner. Bukan itu saja, kita tinggal di rumah orang terkaya di kampung ini! Lihatlah manfaat  memberikan yang luar biasa. “  Demikianlah, sang anak bertumbuh dalam keluarga itu. Di saat ia menginjak dewasa dan orang tuanya sudah meninggal, ia pun mewarisi keberuntungan. Ia menjadi orang terkaya di kampung tersebut dan melanjutkan  mempraktikkan kebajikan memberi.  Semangat memberi terletak pada kemurahan hati. Tidak menuntut untuk mendapatkan balasan, sesungguhnya apa yang didapat oleh putra pedagang tersebut adalah kebahagiaan batin. Membutuhkan  waktu untuk mengumpulkan kekayaan material, tapi kebahagian batin bisa diperoleh cepat dengan cara melepaskan keserakahan dan menolong orang yang membutuhkan. Kemurahan hati telah memurnikan hati kita, membuat kita merasa damai dan nyaman.  Memiliki kemurahan hati menjadikan batin kita kaya.    Sumber			: www.tzuchi.org Diterjemahkan oleh	: Susy Grace Subiono (Tzu Chi Sinarmas) Penyelaras		: Hadi Pranoto

Buddha mengajarkan kepada kita bahwa tidak hanya berusaha demi kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk membantu orang lain. Untuk membantu orang lain, kita harus memberikan dengan tulus yaitu menolong  mereka yang membutuhkan dan  meringankan penderitaan mereka. Kita membantu dengan hati yang ikhlas tanpa ada maksud untuk menerima balasan. Ada cerita mengenai hal ini di dalam sutra.

Di zaman Buddha, di Kota Rajagraha, orang-orang kaya menetap di daerah orang kaya dan orang-orang miskin tinggal di perkampungan kumuh. Adapula komunitas yang dijuluki Kampung Miliuner. Tiap orang yang tinggal di wilayah tersebut sangat kaya dan memiliki simpanan bermilyar-milyar. Ada seorang pedagang yang sangat iri dengan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Ia berpikir “Masyarakat di wilayah itu sangat kaya. Meski saya mempunyai penghasilan cukup sebagai pedagang dan tidak perlu cemas dengan keuangan, tapi saya juga ingin tinggal di sana. Dengan begitu masyarakat akan menganggap saya sangat kaya.” Oleh karenanya, ia mengatur rencana agar dapat menetap di wilayah tersebut.

Sudah bertahun-tahun, pedagang tersebut bekerja keras. Meski usahanya lancar, ia menghemat uangnya untuk segala kebutuhan sehari-harinya. Keluarganya pun hidup seakan-akan mereka miskin. Semua ini dilakukannya demi meraih impiannya. Pedagang tersebut hidup sangat hemat selama beberapa dasawarsa. Meskipun ia menua dan sakit, di ranjang sebelum kematiannya ia berkata pada isterinya, ”Penyesalan saya hanya masih belum meraih impian saya.” Ia berpesan pada istri dan anaknya untuk memenuhi harapannya, “Meski saya sudah tiada, kalian harus membuat impian saya menjadi kenyataan.”

Sang anak menyetujui, namun ia selalu memprihatinkan gaya hidup sang ayah. Ia merasa ayahnya bekerja amat keras tapi sangat pelit sehingga kehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan orang yang hidup dalam kemiskinan.

Di saat pedagang itu masih hidup, Buddha sudah menjelaskan mengenai ajaran kebajikan di Kota Rajagraha. Banyak orang yang menghadiri kotbah Buddha untuk memperoleh pemahaman rohani dan   menghilangkan ketegangan mereka. Bahkan kaum miskin pun  mendapatkan manfaat dari pengajaran tersebut dan mendapatkan  kebahagiaan hidup. Anak lelaki pedagang tersebut acap kali heran, “Mengapa keluarganya tidak mau percaya pada Buddha, mendengarkan ajaran kebajikan dan mengikuti jalan Buddha?” Ia merasa agak bertentangan dengan tradisi keluarga dan mencari pengajaran yang dapat mengarahkan hidupnya.

Setelah sang pedagang meninggal dunia, anak lelakinya menghadiri kotbah Buddha untuk mempelajari dan menerapkan ajarannya. Ia merasa hati Buddha sangat lapang dan damai, merasakan pengajarannya menjadikannya berhati lapang, damai, serta tenteram. Ia sangat bahagia dan menikmati kehidupan rohaninya. Hal itu adalah sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang, dan juga tidak dapat digantikan dengan hidup dalam kemewahan.

Setelah mendapatkan warisan keluarga, anak lelaki itu memutuskan untuk menyumbangkan warisannya. Ia mendukung agama Buddha dengan memberikan persembahan pada Buddha dan Sangha (Biksu/biksuni). Ia juga mulai membantu kaum miskin. Di kala musim dingin, ia memberikan baju yang hangat; ketika mereka lapar, ia memberikan makanan yang hangat dan bergizi.  Setiap kali ia melihat hidup seseorang  meningkat, ia merasa puas dan bahagia. Bisa berbagi dengan orang lain menjadikannya merasa bahagia. Selama bertahun-tahun ia menyumbangkan seluruh warisannya. Lalu, tiba-tiba ia jatuh sakit, hanya dalam beberapa hari ia pun meninggal. Ibunya merasa sangat kehilangan dan menangisi kepergiannya setiap hari. Terus-menerus bertanya pada diri sendiri mengapa anak lelakinya harus meninggal di usia yang  masih muda.

Ketika itu, ada seorang Penatua (pengurus gereja) yang tinggal di Kampung Miliuner. Ia adalah orang yang paling kaya di daerah tersebut. Baru saja istrinya melahirkan seorang putra. Bayinya amat lucu dan disukai semua orang. Ini adalah peristiwa yang paling membahagiakan, akan tetapi bayi tersebut menangis terus-menerus. Meskipun ia sedang minum susu digendongan ibunya, ia tetap menangis. Orang tuanya berpikir, ”Akhirnya di usia lanjut kita berhasil dikarunia seorang anak, dan semua orang menyukainya,  tapi mengapa anak ini menangis tanpa henti.”

Setelah berpikir penatua itu berkata pada istrinya, ”Mengapa kita tidak mempekerjakan  seseorang untuk mengasuh putra kita?” Mereka mengirim pesan  mencari pengasuh. Beberapa orang berdatangan dan berusaha mengasuh bayi itu, tapi tidak satu pun yang berhasil. Sampai pada akhirnya, istri pedagang itu mendengar kabar ini. Karena ia membutuhkan mata pencaharian, ia pergi berkunjung untuk bertanya apakah ia dapat diperkerjakan. Saat ia menggendong bayi tersebut, sang bayi tersenyum. Penatua sangat gembira dan merasa yakin untuk mengambil istri pedagang tersebut menjadi pengasuh putranya. “Mari tinggallah  di rumah kami,” ujarnya. “Kami akan memperlakukanmu seperti keluarga sendiri asal mau mengasuh  bayi kami dengan baik yaitu menjamin kebahagiaan dan kesehatannya.”

Penatua kaya itu menepati janjinya dan memperlakukan istri pedagang tersebut seperti anggota keluarga sendiri. Tetapi itu belum membantunya karena masih ada perasaan sedih teringat suaminya yang sudah bekerja sangat keras cuma untuk satu tujuan yaitu tinggal di wilayah Miliuner. Dan anak lelakinya yang sudah menyumbangkan seluruh warisannya meninggal. Baik suaminya maupun anak lelakinya belum mendapatkan rezeki untuk memperoleh hidup yang baik, sedangkan  ia dengan nyaman tinggal bersama keluarga kaya di kota.

Sementara itu, sang bayi mulai belajar bicara. Suatu hari, bayi itu melihat pada istri pedagang tersebut, “Mama” Ia memanggil, “tidakkah kamu mengenaliku ?”

Dengan gemetar istri pedagang itu bertanya, ”Eit… bukankah kamu cuma seorang bayi, yang baru saja belajar bicara, bagaimana kamu dapat bicara begitu  jelas?

Sang anak menjawab, ”Di masa lalu, aku adalah anakmu! Kebiasaan memberi telah memungkinkan saya memindahkan Anda ke dalam rumah ini ! Manfaat memberi benar-benar besar; kini impianmu sudah menjadi kenyataan, kita sedang tinggal di kampung Milyuner. Bukan itu saja, kita tinggal di rumah orang terkaya di kampung ini! Lihatlah manfaat  memberikan yang luar biasa. “

Demikianlah, sang anak bertumbuh dalam keluarga itu. Di saat ia menginjak dewasa dan orang tuanya sudah meninggal, ia pun mewarisi keberuntungan. Ia menjadi orang terkaya di kampung tersebut dan melanjutkan  mempraktikkan kebajikan memberi.

Semangat memberi terletak pada kemurahan hati. Tidak menuntut untuk mendapatkan balasan, sesungguhnya apa yang didapat oleh putra pedagang tersebut adalah kebahagiaan batin. Membutuhkan  waktu untuk mengumpulkan kekayaan material, tapi kebahagian batin bisa diperoleh cepat dengan cara melepaskan keserakahan dan menolong orang yang membutuhkan. Kemurahan hati telah memurnikan hati kita, membuat kita merasa damai dan nyaman.  Memiliki kemurahan hati menjadikan batin kita kaya.

Sumber: www.tzuchi.org

Diterjemahkan oleh: Susy Grace Subiono (Tzu Chi Cabang Sinar Mas), Penyelaras: Hadi Pranoto

Seulas senyuman mampu menenteramkan hati yang cemas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -