Cobaan Sebuah Mangkuk
Di tengah kondisi yang hening ini, apakah hati setiap orang merasakan kedamaian? Apakah hati kita selalu murni serta bebas dari noda batin? Kondisi batin ini adalah kondisi terbaik bagi kita untuk melatih diri. Dalam meneladani Buddha, kita harus belajar untuk meneguhkan pikiran.
Untuk membangun tekad dan ikrar luhur, kita harus memiliki keteguhan pikiran. Melatih diri bukan berarti hari ini kita membangun tekad, besok sudah langsung memperoleh pencapaian. Ia membutuhkan kesabaran. Setelah membangun tekad luhur, tak peduli bertemu dengan kondisi apa pun, hati kita harus tetap damai.
Jadi, yang terpenting adalah kita harus memperoleh pembebasan batin. Kita harus mengembangkan kekuatan kebijaksanaan, baru bisa memperoleh kedamaian batin. Jadi, untuk memperoleh kedamaian batin, dibutuhkan kebijaksanaan.
Tanpa kebijaksanaan, kita sulit merasakan kedamaian karena saat bertemu dengan kondisi luar, banyak hal yang mengganjal di dalam hati kita. Itu membuat hati kita tak merasa damai. Jadi, kita harus menjaga kedamaian batin.
Ada seorang bhiksu tua yang memiliki kemampuan bermeditasi yang sangat unggul. Saat masuk dalam meditasi, tiada satu hal pun yang bisa mengganggunya. Mengetahui bhiksu ini memiliki pelatihan diri yang baik, kaisar pun memberinya sebuah mangkuk berwarna ungu keemasan. Saat menerima mangkuk itu, sang bhiksu merasa sangat gembira.
Mulanya, dalam pelatihan dirinya, dia tidak pernah mementingkan segala materi. Namun, setelah menerima mangkuk itu dari kaisar, dia mulai menganggap mangkuk itu sebagai barang paling berharga dalam hidupnya. Setiap hari, dia melindungi mangkuknya itu dengan baik.
Hingga suatu hari, Raja Yama menyadari bahwa masa kehidupan bhiksu tua itu di alam manusia sudah hampir berakhir. Lalu, dia mengutus dua setan kecil untuk mencari bhiksu tua itu dan membawanya ke neraka. Dua setan kecil pun pergi ke kuil untuk mencari bhiksu tua itu.
Di kuil, mereka hanya melihat tubuh kasarnya, tetapi di manakah tubuh halusnya? Mereka tidak menemukannya. Namun, batas waktu pekerjaan sudah tiba. Dua setan kecil itu pun meminta bantuan dari Dewa Bumi. Dewa Bumi berkata kepada mereka, “Bhiksu ini sudah melatih diri hingga mencapai tingkat pembebasan. Begitu dia masuk dalam meditasi, kalian tidak akan bisa menemukannya. Tubuh halusnya sudah meninggalkan alam nafsu ini. Kalian tidak akan bisa menemukannya.”
“Lalu harus bagaimana? Jika tidak menemukannya, kami tidak bisa menyelesaikan tugas kami.” Dewa Bumi berkata kepada mereka, “Yang paling disukainya adalah mangkuk ungu keemasannya itu. Jika bisa menemukan mangkuk itu, kalian ketuklah mangkuk itu dengan perlahan sebanyak tiga kali. Setelah itu, bhiksu itu akan kembali dengan sendirinya.”
Setan kecil pun mulai mencari mangkuk itu. Akhirnya mereka menemukannya. Mangkuk itu tersimpan di dalam lemari. Setan kecil segera mengeluarkan mangkuk itu, lalu mengetuknya sebanyak tiga kali sesuai petunjuk Dewa Bumi.
Mendengar suara ketukan mangkuk, bhiksu tua itu tersentak, “Siapa yang menyentuh mangkuk saya?” Dia lalu keluar dari meditasi dan segera membuka lemarinya. Setan kecil segera menangkapnya dan berkata, “Waktumu sudah tiba.”
Bhiksu itu berkata, “Saat saya masuk dalam meditasi, kalian tidak bisa menemukan saya. Mengapa sekarang kalian bisa menemukan saya?” Setan kecil berkata, “Di dalam hatimu masih ada kemelekatan terhadap dunia fana ini. Dalam hatimu masih ada sedikit nafsu keinginan.Hatimu masih belum memperoleh kedamaian abadi. Karena itu, begitu saya mengetuk mangkuk sebanyak tiga kali, kamu langsung kembali.”
Bhiksu itu berkata, “Ternyata begitu. Baiklah, jika usia kehidupan saya sudah akan berakhir, kalian boleh membawa saya. Namun, mohon beri saya sedikit waktu lagi. Setelah itu, saya akan segera pergi dengan kalian.” Setan kecil berkata, “Baik, kami beri sedikit waktu lagi.”
Bhiksu itu mengambil mangkuknya seraya berkata, “Karena mangkuk ini, hati saya menjadi tidak damai. Saya sudah melatih diri selama puluhan tahun. Namun, karena mangkuk ini, hati saya tetap diliputi noda batin.” Lalu, dia membanting mangkuk itu sekeras mungkin hingga akhirnya pecah.
Dia segera kembali ke tempatnya dan masuk dalam meditasi dengan cepat. Setan kecil pun tidak bisa menemukannya lagi. Meski ini adalah sepenggal kisah lama, tetapi ia mengingatkan kepada kita bahwa adakalanya kita terbelenggu oleh noda batin yang sangat halus hingga akhirnya menutupi kebijaksanaan kita yang cemerlang.
Jika noda batin itu tidak dilenyapkan, maka sulit bagi kita untuk merasakan kedamaian. Karena itu, kita harus tekun dan bersemangat untuk mendengar Dharma. Setelah mendengar Dharma, kita harus berusaha untuk melenyapkan noda batin. Jika setiap orang bisa melenyapkan noda batin sendiri, maka ia akan membawa manfaat bagi diri sendiri.
Karena itu, saya sering berkata, “Guru membimbing kalian masuk ke dalam pintu, tetapi pelatihan diri bergantung pada pribadi setiap murid.” Dengan membina kepribadian yang baik, baru kita bisa memiliki keluhuran. Kita harus membina diri terlebih dahulu baru bisa memiliki keluhuran.
Kita harus menjaga pikiran dan melatih diri sebaik mungkin untuk membina sifat luhur kita. Dengan begitu, baru kita bisa diyakini dan dihormati oleh orang banyak. Setelah itu, kita akan dapat membimbing orang banyak tanpa ada rintangan. Kita harus memberi manfaat bagi diri dahulu, baru bisa memberi manfaat kepada orang lain.
Semoga setiap orang dapat menerapkan prinsip kebenaran ini dalam keseharian. Saat memahami satu kebenaran, kita akan dapat menembus prinsip-prinsip lainnya. Dalam menghadapi semua makhluk dan berbagai kondisi luar, apakah hati kita bisa merasakan kedamaian? Itu semua bergantung pada kondisi batin kita. Untuk sungguh-sungguh merasakan kedamaian, kita harus memberi manfaat pada diri sendiri sekaligus memberi manfaat pada orang lain. Inilah kedamaian batin yang sesungguhnya.