Dua Setengah Muatan Pedati

Saya sering mendengar orang berkata, “Saat menerima kebaikan dari orang, kita harus membalas budi dua kali lipat.” Ini pepatah orang zaman dahulu. Di dunia ini, selain manusia, juga terdapat banyak jenis hewan dengan wujud yang berbeda-beda. Semua itu merupakan makhluk hidup di alam binatang.

Hewan-hewan seperti sapi, kuda, bagal, unta, dan lain-lain, semuanya terlahir ke dunia untuk bekerja keras bagi manusia. Sejak dahulu sapi harus membajak sawah. Manusia dapat beristirahat ketika lelah, tetapi sapi tidak bisa. Mereka tidak dapat mengeluh lelah. Saat masuk ke dalam sawah, mereka harus menarik kaki mereka dengan susah payah.

Selain itu, sapi juga harus menarik bajak dengan lurus untuk menggemburkan tanah dan lain-lain. Petani harus bekerja keras, sapi harus lebih bekerja keras. Jika tidak berhati-hati, kita mungkin akan terlahir ke alam binatang dan hidup menderita.  Melihat wujud penderitaan yang dialami oleh sapi, kita dapat memahami hukum sebab akibat yang Buddha ajarkan kepada kita.

doc tzu chi

Berbagai jenis binatang itu menunjukkan kepada kita buah dari karma buruk. Setelah memahami hukum sebab akibat dan melihat perwujudan dari buah karma, kita hendaknya mengingatkan diri. Tak peduli menjadi sapi ataupun kuda, mereka harus bekerja keras bagi manusia. Itu karena mereka sedang membayar utang.

Dahulu ada sebuah kisah seperti ini. Ada seorang pria yang memiliki sapi dan pedati. Mata pencahariannya adalah membantu orang mengangkut barang. Demi mendapat pekerjaan, dia merawat sapinya dengan baik. Setiap hari dia mengantar rerumputan ke kandang sapi agar si sapi dapat memakannya.

Sambil memberi makan si sapi, pria itu sambil menggerutu, “Saya sangat lelah karena harus memotong rumput untukmu.” Sapi itu terus memakan rumput. Karena merasa lelah, pria itu lalu duduk di samping kandang sapi sambil menahan kantuk. Dia seperti mendengar ada orang berkata, “Jangan mengeluh lagi. Kita saling berutang. Dua setengah muatan pedati lagi utang saya lunas terbayar.”

doc tzu chi

Pria itu terbangun dan melihat si sapi sudah selesai makan dan sedang memamah biak. Dia mendengar suara si sapi. “Ya, ini suaranya. Ini suara yang tadi berbicara dengan saya. Ini tidak mungkin. Sapi saya masih sangat kuat. Kondisi pedati saya juga masih sangat baik. Bagaimana mungkin hanya bisa mengangkut dua setengah muatan pedati lagi? Hari ini saya harus menarik enam pedati. Saya pasti sedang bermimpi.”

Setelah memberi makan si sapi dan menyiapkan pedati, si sapi menarik pedati dan terus berjalan maju. Ada orang baru selesai memanen padi dan membutuhkan banyak pedati untuk mengangkutnya. Pedati pria itu merupakan salah satu di antaranya. Setelah bolak-balik dua kali, saat akan mengangkut muatan ketiga, langit tiba-tiba berubah mendung disertai petir dan guntur. Lalu, turun hujan yang sangat lebat.

Orang lain sudah memuat muatan  ke dalam pedati dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Saat pria itu mengisi setengah pedatinya, hujan turun semakin lebat. Pria itu tak sanggup menatanya lagi. Dia lalu berkata kepada sapinya, “Sudah cukup. Mari kita pergi.”

Saat mereka tiba di rumah, hari sudah sangat malam. Petir menyambar kandang sapi itu. Pada pagi harinya, pria itu datang untuk memberi makan sapinya. Sapi itu sudah mati. Dia menyadari bahwa ternyata pagi hari kemarin, sapi itu sedang berpamitan padanya. Sapi itu yang berkata padanya, “Utangku kepadamu hanya tersisa dua setengah pedati.”

doc tzu chi

Lihatlah, usai melunasi utang, sapi itu pun mati. Lebih baik kita menabung perbuatan baik, jangan hanya membayar utang. Inilah yang dilakukan sapi itu. Berapa utangnya pada pria itu di masa lalu, sebanyak itulah ia bekerja untuk membayar utang. Setelah melunasi utang, ia pun mati.

Jadi, terlahir sebagai sapi, kuda, unta, dan lain-lain, adalah untuk membayar utang kepada majikannya. Karena itu, kita harus sangat berhati-hati. Kita jangan mengambil keuntungan dari orang dan berutang kepada orang. Saat kita mengambil sesuatu yang bukan milik kita, maka kita akan berutang kepada orang. Kelak kita tetap harus membayarnya. Inilah hukum sebab akibat.

Ada orang yang terlahir sebagai manusia untuk menagih utang, ada pula yang terlahir sebagai sapi dan kuda untuk membayar utang. Inilah hukum sebab akibat. Tak ada orang yang bisa menghindar darinya. Apakah dengan menarik pedati sudah cukup untuk membayar utang? Ketika sapi sudah tua dan tak bertenaga lagi, mereka akan dijual. Dijual untuk apa? Untuk dimakan dagingnya hingga ke tulang-tulangnya.

Banyak orang yang gemar memakan steik sapi. Selain sapi, banyak makhluk hidup lain yang juga bernasib sama. Setelah tak memiliki tenaga, daging mereka akan dijadikan makanan. Pada kehidupan ini, mereka harus membayar utang, apakah di kehidupan mendatang juga sama? Saat terlahir ke dunia ini, mereka harus saling membayar utang.

 Saudara sekalian, antarsesama manusia juga saling berutang. Ada orang yang berutang cinta. Akibatnya, mereka sulit untuk melepas. Jika terjadi sesuatu di antara salah satunya, maka orang yang lainnya sulit menerimanya dan merasa tersiksa seumur hidup.

Singkat kata, setiap orang di dunia memiliki jalinan jodoh dan menanggung hukum sebab akibat. Kita terlahir ke dunia untuk membalas budi atau menagih utang? Kita harus sangat bersungguh hati. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus lebih banyak menjalin jodoh baik dengan sesama dan lebih banyak bersumbangsih bagi sesama. Dengan demikian, kita dapat menginspirasi orang lain untuk berdana dan tahu berpuas diri.

Terhadap orang yang melakukan Sepuluh Kejahatan, kita dapat membimbing mereka untuk melakukan Sepuluh Kebaikan. Jika dapat demikian, maka pahala kita sungguh tak terhingga.
Cinta kasih tidak akan berkurang karena dibagikan, malah sebaliknya akan semakin tumbuh berkembang karena diteruskan kepada orang lain.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -