Kebaikan Berbuah Kebaikan
Kita harus senantiasa mawas diri dan berhati tulus. Sila (peraturan) bisa mencegah kita berjalan menyimpang, secara fisik dan batin. Coba renungkan apakah pada hari kemarin, kita melakukan kesalahan baik secara fisik maupun batin? Jika ada, maka kini kita harus segera memperbaiki diri. Indra mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan pikiran yang bersentuhan dengan objek luar membuat pikiran yang tidak benar terus terbangkitkan. Akibatnya, kita memikirkan banyak hal yang tidak seharusnya dipikirkan dan melakukan banyak hal yang tidak seharusnya dilakukan.
Contohnya tubuh kita ini. Karena ketamakan akan kenyamanan hidup, manusia berusaha untuk menghindari kerja keras dan hanya memikirkan cara untuk menikmati hidup. Karena pola pikir seperti ini, dalam kehidupan sehari-hari, kita menciptakan banyak karma buruk tanpa kita sadari. Ini semua karena belenggu ketamakan. Karena adanya ketamakan, batin kita menjadi terbelenggu. Karena itu, timbullah banyak pikiran keliru. Karena itu, kita harus senantiasa mengingatkan diri sendiri.
Pada kehidupan di dunia ini, kita harus memiliki pikiran sederhana. Terhadap segala sesuatu di alam semesta ini, kita harus berinteraksi dengan harmonis. Kita harus bersyukur terhadap bumi yang menumbuhkan tanaman pangan untuk menghidupi kita. Karena itu, kita harus mengasihi dan menyayangi segala sesuatu. Hanya manusialah yang memiliki kemampuan dan potensi untuk melakukan hal ini. Namun, demi memenuhi nafsu makan, manusia mengonsumsi banyak daging hewan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Sesungguhnya, ilmu kedokteran masa kini sudah sangat maju. Menurut ilmu kedokteran modern, dalam keseharian, kita seharusnya makan lebih sederhana dan tidak terlalu berminyak. Tanaman pangan adalah makanan yang paling bergizi. Jika bisa menyelaraskan fisik dan batin, maka kita pasti sehat. Jadi, kita tidak perlu mengonsumsi daging hewan. Ada orang yang jatuh sakit, tetapi tidak berobat ke dokter, malah mencari pengobatan alternatif. Pengobatan alternatif sangat banyak, tetapi ia tidak memiliki dasar ilmiah. Apakah ia sungguh bisa mengobati penyakit?
Di Jiangsu, ada sebuah keluarga berada yang bermarga Fan. Sang istri yang masih sangat muda sudah menderita penyakit tuberculosis (TBC) sehingga mereka tak memiliki anak. Sang suami sangat mengasihi istrinya. Dia mencari banyak tabib terkenal untuk mengobati istrinya. Sang istri sudah makan banyak obat, tetapi kondisinya tak kunjung membaik. Saat mendengar ada seorang tabib yang sangat terampil, dia lalu meminta tabib itu untuk memeriksa istrinya. Melihat penyakit sang istri begitu parah, tabib itu berkata kepada sang suami, “Resep yang saya buka membutuhkan 100 buah otak burung pipit, baru berkhasiat. Selain itu, dalam waktu 21 hari, resep obat dan 100 buah otak burung pipit itu harus dimakan hingga habis.”
Sang suami itu segera meminta orang untuk membeli burung yang masih hidup. Seratus ekor burung pipit dikurung di dalam sangkar. Saat sang istri mendengar hal ini, dia merasa sangat marah. Dia lalu berkata kepada suaminya, “Sudah ada banyak orang yang berkata bahwa nyawa saya sudah tidak tertolong. Saya yang sudah mendekati ajal, mengapa masih harus mengorbankan seratus ekor nyawa? Saya memilih mati daripada harus membunuh begitu banyak burung yang tak berdosa.” Sang suami sangat tak berdaya, kemudian berkata, “Baik, jika kamu enggan memakannya, saya akan melepaskan mereka semua.”
Melihat burung-burung itu terbang jauh dengan bebas, sang istri merasa tenang dan gembira. Sejak saat itu, dia sangat bergembira dan memiliki nafsu makan. Gizinya terpenuhi tanpa harus makan obat. Sejak itu, kesehatannya pun pulih perlahan-lahan. Tidak lama kemudian, dia mengandung. Sepuluh bulan kemudian, anaknya pun lahir. Anaknya sangat menggemaskan. Namun, anehnya, di kedua lengan anak itu ada bintik-bintik hitam. Jika dilihat dengan jelas, bintik-bintik itu menyerupai bentuk burung pipit. Anak itu sangat patuh, menggemaskan, dan pintar. Sang ibu juga sangat panjang umur.
Di dalam Sutra Buddha, terdapat banyak kisah yang menceritakan kepada kita bagaimana orang sehat kembali setelah melepaskan makhluk hidup. Namun, melepaskan makhluk hidup bukan seperti yang dilakukan oleh orang zaman sekarang. “Saya ingin melepaskan makhluk hidup. Kamu bantulah saya menangkap ikan dan burung. Saya ingin menciptakan pahala dengan cara melepaskan makhluk hidup.”
Ketahuilah bahwa saat ikan meninggalkan air, itulah saat paling menderita bagi mereka. Kita menyiksa mereka dahulu, baru kemudian melepaskannya. Ini tidak benar. Burung seharusnya terbang di langit dengan bebas. Setelah menangkap dan membuat mereka ketakutan, baru kita melepaskan mereka. Ini juga tidak benar. Jika demi menyehatkan tubuh, lalu kita mengonsumsi daging hewan, ini juga tidak benar. Semua makhluk hidup memiliki habitat masing-masing. Karena itu, janganlah kita membunuh makhluk hidup. Ini semua hanyalah masalah pola pikir manusia.
Coba pikirkan, karma tanpa disadari, berapa banyak karma buruk yang sudah kita ciptakan? Kita tidak mengetahuinya. Belum lagi karma yang kita ciptakan pada kehidupan lalu. Karena itu, kita harus merenungkan masa lalu kita dan berhati-hati pada masa kini. Inilah yang disebut mawas diri. Untuk itu, kita harus selalu bersungguh hati.