Kota Pasir Anak-anak
Kita bekerja keras seumur hidup. Mengapa kita terlahir ke dunia? Sesungguhnya, kita tidak tahu. Kita terlahir dan besar di keluarga kita. Kondisi di dalam keluarga, kondisi masyarakat, kondisi lingkungan tempat kita bertumbuh besar, dan orang-orang di sekitar dapat mempengaruhi kita.
Pengaruh lingkungan sekitar mendorong kita memilih suatu profesi. Ada orang yang memiliki pekerjaan yang baik dan sangat sukses. Ada orang yang sangat bekerja keras, tetapi tak kunjung sukses. Orang seperti ini bekerja keras seumur hidup hanya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Demi bertahan hidup, mereka melakukan pekerjaan baik dan buruk. Mereka bekerja demi mencari nafkah dan bertahan hidup. Di dunia ini ada banyak orang seperti ini. Buddha pernah berkata bahwa nafsu keinginan manusia dapat terbangkitkan saat bersentuhan dengan kondisi luar. Nafsu keinginan mendorong manusia mengejar banyak hal. Karena itu, timbullah perasaan memperoleh dan kehilangan.
Perasaan memperoleh dan kehilangan ini memicu timbulnya rasa dendam dan benci. Berbagai masalah yang timbul akibat rasa cinta, benci, dan dendam terus membelenggu. Setelah memahami prinsip kebenaran, maka kita dapat mencegah diri dari perbuatan buruk. Kita hendaknya menggunakan prinsip kebenaran untuk mengendalikan sikap kita.
Ada sekelompok anak tengah bermain di sebuah lapangan. Mereka menarik garis untuk memisahkan lahan menjadi dua bagian. Masing-masing dari mereka mengambil satu lahan. Mereka lalu mulai membangun rumah dengan tanah dan pasir. "Ini adalah rumah saya dan itu adalah rumahmu. Di rumah saya ada gudang dan lain-lain."
Mereka membangun apa pun yang diinginkan. Pada saat itu, datanglah seorang bapak tua. Dia berhenti melihat anak-anak bermain. Anak-anak membangun banyak rumah pasir hingga membentuk sebuah kota. Kemudian, salah seorang anak berkata, "Lahan saya tidak cukup. Saya membutuhkan lahan yang lebih luas. Kamu geser sedikit lagi.
“Rumah kami sudah selesai dibangun. Mengapa kami harus mengalah padamu?" Mereka pun bertengkar dan saling mendorong. Akibatnya, ada anak yang terjatuh. Bapak tua melihat anak-anak berkelahi dan rumah-rumah pasir yang hancur.
Bapak tua itu menggeleng kepala sambil berpikir, "Anak sekecil itu sudah punya nafsu keinginan sebesar ini. Anak-anak, mari dengarkan saya. Siapa pemilik lahan ini?"
"Kami tidak tahu milik siapa."
"Dengan apa kalian membangun rumah?"
"Dengan tanah."
"Di mana rumah-rumah kalian sekarang?"
"Ada di sini, tetapi sudah hancur semuanya."
"Ya."
"Apakah kalian semua berteman baik?"
Mereka pun menganggukkan kepala.
"Mengapa kalian bertengkar?" Anak-anak itu menggelengkan kepala. "Demi lahan yang bukan milik kalian dan rumah-rumah yang kalian bangun dengan susah payah. Akibat sedikit pertikaian, kalian menghancurkan rumah-rumah itu. Apa untungnya bagi kalian? Bukankah kalian berteman baik?" "Ya, benar."
Mereka segera bergandengan tangan. "Kelak kita jangan bersikap penuh perhitungan untuk hal yang tidak pantas seperti ini." Mereka berterima kasih atas bimbingan bapak itu. Bukankah ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita? Dalam keseharian, apakah kita sudah melihat kondisi luar dengan jelas?
Sesungguhnya, segala sesuatu terjadi hanya karena perpaduan sebab dan kondisi. Banyak orang saling bertikai demi hal-hal semu. Akibat sebersit niat yang menyimpang, manusia menciptakan banyak karma buruk. Semua ini terjadi akibat ketidaktahuan. Contohnya anak-anak tadi. Permainan anak-anak itu bagaikan kehidupan kita.
Kita menganggap sesuatu yang tidak nyata sebagai nyata sehingga saling bertikai dan menciptakan karma buruk akibat kemelekatan, rasa benci dan dendam. Nafsu terhadap kuasa dan pertikaian menyebabkan kondisi di dunia menjadi kacau. Meski hidup dalam ketidaktahuan, terkadang kita dapat bertemu dengan mitra baik yang akan membimbing kita memahami prinsip kebenaran.