Master Bercerita: Ananda dan Matangi
Buddha berkata bahwa pada hakikatnya, hati, Buddha, dan semua makhluk tiada perbedaan. Semua makhluk memiliki kebijaksanaan yang setara dengan Buddha. Sesungguhnya, kebijaksanaan kita setara dengan Buddha. Setiap orang memiliki kebijaksanaan. Namun, berhubung kita belum tercerahkan, maka kebijaksanaan kita pun belum bersinar. Kebijaksanaan bagaikan batu intan yang terdapat di dalam tambang.
Sejak awal, Buddha sudah menyadari keberadaan intan ini dan bisa menggalinya.
Setelah menggali intan ini, Buddha terus memolesnya sehingga semakin lama semakin cemerlang dan bisa memantulkan cahaya. Saya sering mengimbau orang-orang untuk melatih diri lewat masalah yang dihadapi. Sungguh, dengan menghadapi orang dan masalah di dunia ini, kita bisa melatih diri.
Buddha mengajari kita Empat Landasan Perenungan, yakni tubuh tidaklah bersih, perasaan membawa derita, pikiran tidaklah kekal, dan segala fenomena bersifat tanpa inti. Kita harus mengamati bahwa tubuh ini tidak bersih. Tubuh kita sungguh tidak bersih. Pikirkanlah baik-baik, berapa lama kita bisa mempertahankan kebersihan tubuh kita?
Setiap hari, orang yang sehat keluar rumah pagi-pagi untuk bekerja dan beraktivitas. Pada malam hari, kita akan mandi. Setelah mandi, kita bisa melihat lapisan minyak di permukaan air. Bayangkanlah, betapa tidak bersihnya tubuh kita. Ananda adalah salah satu murid Buddha. Buddha memiliki 32 ciri manusia agung, sedangkan Ananda memiliki 30 ciri manusia agung, sangat rupawan.
Suatu hari, Buddha meminta Ananda menjalankan tugas. Karena itu, Ananda tertinggal saat Buddha dan murid-murid-Nya mengumpulkan makanan. Jadi, dia mengumpulkan makanan sendirian. Mangkuknya masih kosong, tetapi dia sudah sangat haus. Dia melihat di tepi sumur, ada seorang gadis sedang menimba air. Dia pun mengulurkan mangkuknya untuk meminta semangkuk air. Melihat Ananda, gadis bernama Matangi itu jatuh hati kepada Ananda. Karena itu, dia pulang dan berkata pada ibunya,"Saya jatuh hati pada seorang murid Buddha yang bernama Ananda. Saya ingin menikah dengannya."
Ibunya berkata, "Itu mustahil. Murid Buddha telah meninggalkan keduniawian dan harus menaati sila yang ketat. Mereka tidak mungkin menikah." Namun, Matangi mengancam ibunya dengan berkata, "Tanpa Ananda, saya tidak ingin hidup lagi." Matangi menolak untuk makan. Demi putrinya, sang ibu yang tidak berdaya akhirnya menggunakan ilmu sihir. Tanpa sadar, Ananda berjalan memasuki rumah Matangi. Mengetahui hal ini, Buddha pun menyuruh Bodhisattva Manjusri untuk menyadarkan Ananda.
Setelah terbebas dari pengaruh sihir, Ananda merasa sangat malu dan segera berlari pulang. Matangi terus mengejarnya. Saat tiba di hadapan Buddha, Ananda merasa sangat malu dan langsung berlutut untuk bertobat. Buddha lalu menyuruh Ananda untuk mandi dan membersihkan tubuhnya. Kemudian, Matangi juga tiba. Dia berkata kepada Buddha, "Berbaik hatilah, kembalikan Ananda pada saya."
Buddha berkata,"Bagian mana dari Ananda yang kamu cintai?" Matangi berkata, "Sekujur tubuhnya." Buddha lalu menyuruh murid lain untuk membawa air bekas mandi Ananda. Air itu diletakkan di hadapan Buddha. Buddha lalu berkata pada Matangi, "Tadi, kamu bilang bahwa kamu mencintai Ananda." Dia berkata, "Ya." Buddha berkata, "Jika demikian, minumlah air bekas mandi Ananda ini."
Melihat air itu, Matangi berkata, "Mengapa menyuruh saya meminum air sekotor ini?" Buddha lalu berkata, "Bukankah kamu mencintai Ananda? Jika kamu mencintai sekujur tubuhnya, mengapa tidak berani meminum air bekas mandinya?"
Dia berkata, "Saya merasa jijik.Bagaimana saya bisa meminum air sekotor ini?"
Buddha lalu berkata, "Hanya air bekas mandi saja sudah jijik, bagaimana jika kelak dia tua, jatuh sakit, dan meninggal dunia? Apakah kamu juga merasa jijik?" Dia berkata, "Tentu saja."
Matangi lalu menundukkan kepala dan bersungguh-sungguh merenung, "Saat ini, saya masih muda sehingga mudah terpesona oleh penampilan. Namun, bagaimana jika sudah tua kelak? Bagaimana jika jatuh sakit atau meninggal dunia? Lagi pula, tubuh manusia begitu tidak bersih. Apa yang ingin saya kejar?" Dia pun tersadarkan dan mencapai buah pencerahan tingkat pertama. Kesadaran dan kebijaksanaannya tiba-tiba timbul.
Setelah kesadaran dan kebijaksanaannya timbul, dia tahu bahwa tubuh manusia tidak bersih serta mengalami fase lahir, tua, sakit, dan mati. Tubuh manusia terus mengalami metabolism dan tidak kekal. Jadi, untuk apa melekat pada fisik?
Dia telah menyadari kebenaran ini. Kita harus memahami prinsip kebenaran dalam hidup ini. Dengan memahami prinsip kebenaran, kita dapat menumbuhkan kebijaksanaan dan batin kita akan semakin cemerlang.
Dari kehidupan ke kehidupan selama berkalpa-kalpa, Buddha terus menjangkau semua makhluk untuk melatih diri. Tidak peduli menghadapi orang atau masalah apa yang mendatangkan kerisauan dan penderitaan, Buddha bisa memahami kebenaran darinya dan terus memberikan bantuan. Karena itu, batin-Nya sudah sejernih cermin. Saat kita melihat ke sebuah cermin, asalkan cermin itu dilap dengan bersih, maka kita bisa melihat bayangan kita dengan jelas.
Saat diarahkan ke luar, cermin tersebut juga bisa memantulkan pemandangan alam.
Apa pun yang ada di hadapan cermin ini, semuanya akan terpantul dengan jelas. Jadi, dengan menjaga kebersihan cermin batin, kita bisa melihat segala sesuatu di dunia ini dengan sangat jelas. Jika cermin batin kita tidak dilap, maka meski berada di lingkungan yang indah,cermin yang buram juga tidak bisa memantulkannya. Jadi, kita harus melatih diri di tengah masyarakat.
Di tengah masyarakat, kita harus menolong orang yang menderita tanpa terpengaruh oleh noda batin. Kita semua harus membangkitkan cinta kasih. Cinta kasih ini adalah cinta kasih tanpa kerisauan dan tanpa pamrih. Kita hanya bersumbangsih dengan sepenuh hati.