Master Bercerita: Bhiksu Jaga
Dalam kehidupan berkelompok, kita harus memiliki disiplin hidup berkelompok. Contohnya hari ini, meski cuaca sangat dingin, tetapi setelah mendengar suara ketukan kayu, kita segera bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke aula kebaktian.
Ketertiban dalam sebuah kelompok menunjukkan rasa hormat. Jadi, saat berada di Griya Jing Si, kita harus menaati aturan di sini.
Sesungguhnya, baik di vihara, pertemuan, kamp pelatihan, maupun sekolah, semuanya membutuhkan arahan. Contohnya di Griya Jing Si, suara ketukan kayu serta persembahan dupa dan pelita, semuanya harus tepat waktu. Dalam kamp pelatihan, segala sesuatu juga harus berjalan sesuai jadwal. Di universitas, bunyi lonceng tanda pelajaran dimulai juga harus tepat waktu.
Agar bisa disiplin dalam kehidupan berkelompok, dibutuhkan arahan yang tepat waktu. Namun, jika ada satu orang saja yang tidak disiplin, itu akan berdampak bagi semua orang dalam kelompok tersebut. Orang-orang yang terkena dampaknya mungkin akan benci atau marah pada orang tersebut.
Pada zaman Buddha hidup, semua anggota Sangha harus hidup disiplin. Karena itu, ada bhiksu jaga yang bertugas untuk membangunkan semua orang pada waktu yang telah ditentukan. Semua bhiksu harus sangat tekun melatih diri.
Pada malam hari, semua bhiksu harus mempelajari kembali apa yang Buddha ajarkan pada mereka di siang hari. Mereka harus bersungguh hati mempelajarinya pada malam hari agar bisa mengingat ajaran Buddha.
Sebagian anggota Sangha yang lebih giat akan terus mempelajarinya. Hingga pukul 11 atau 12 malam, mereka baru pergi tidur. Saat baru akan tertidur nyenyak, suara panggilan sudah terdengar sehingga mereka harus segera bangun dan terus melatih diri dengan tekun.
Semua bhiksu bertugas secara bergilir sebagai bhiksu jaga.
Suatu hari, tiba giliran seorang bhiksu yang belum lama bergabung menjadi anggota Sangha. Berhubung bhiksu ini tidak bisa melihat waktu dan bingung kapan harus membangunkan yang lain, maka kapan pun dia bangun, dia akan membangunkan yang lain. Jadwal para anggota Sangha pun menjadi kacau. Siang hari, saat Buddha membabarkan Dharma, banyak bhiksu yang mengantuk.
Suatu pagi, semua orang sangat lelah sehingga timbullah kemarahan. Mereka mulai membahas tentang bhiksu tersebut.
Buddha mendekati mereka dan berkata, "Apa yang sedang kalian bahas?"
Seorang bhiksu berkata kepada Buddha, "Bhiksu baru itu mengacaukan jadwal kami sehingga semua orang tidak bersemangat untuk mendengar Dharma."
Buddha lalu menceritakan sebuah kisah.
Pada zaman dahulu, ada sekelompok praktisi brahmana. Sang guru sangat baik dan memiliki 500 murid. Mereka memelihara seekor ayam yang berkokok tepat waktu setiap hari. Semua orang memulai aktivitas sehari-hari mereka berdasarkan kokokan ayam tersebut.
Namun, suatu hari, ayam ini tiba-tiba mati. Mereka harus bagaimana? Jadwal mereka menjadi kacau.
Kebetulan, ada seorang murid yang ingin mendalami kematian. Jadi, dia pergi ke permakaman. Di sana, dia melihat seekor ayam jantan yang berlari ke sana kemari. Dia lalu menangkapnya dan mengurungnya di dalam kandang ayam dengan harapan dia dapat berkokok tepat waktu.
Namun, ayam jantan ini berkokok siang dan malam sesuka hatinya. Para praktisi brahmana sangat kesal karenanya.
Suatu hari, saat ia berkokok sesuka hatinya lagi, seorang praktisi mengeluarkannya dari kandang dan mencekiknya hingga mati.
Sang guru lalu datang dan bertanya, "Mengapa begitu ramai?" Murid-muridnya pun menceritakannya.
Berdiri di samping bangkai ayam itu, guru ini berkata, "Ayam ini hidup bebas di permakaman dan tidak pernah dilatih sehingga mengacaukan jadwal kalian. Ia bahkan tidak tahu mengapa ia dibunuh." Beliau terus mengingat ayam itu di dalam hati.
Bercerita sampai di sini, Buddha berkata kepada para bhiksu, "Bhiksu baru ini baru bergabung dan belum memahami aturan Sangha. Sesungguhnya, kehidupan lampaunya adalah ayam itu. Ayam itu hidup di permakaman dan tidak memahami aturan para praktisi brahmana. Para praktisi yang marah pada ayam itu adalah kehidupan lampau kalian yang kini marah pada bhiksu baru itu karena tidak membangunkan kalian tepat waktu. Aku yang sekarang adalah guru yang saat itu terus mengingat kematian ayam itu di dalam hati dan merasa tidak tega."
Bukankah kita sering demikian?
Saat menghadapi kondisi yang tidak sesuai keinginan, timbullah kemarahan di dalam hati. Tindakan kita juga dilandasi oleh emosi-emosi yang negatif. Ini disebut kemarahan. Dalam kehidupan sehari-hari, meski kita juga mendengar Dharma dan saling menasihati, tetapi saat menghadapi masalah, kita melupakan semua yang telah kita pelajari.
Contohnya praktisi brahmana itu. Hanya karena ayam itu berkokok sesuka hatinya, dia membangkitkan niat untuk membunuh. Ini karena dia tidak menjaga pikirannya.
Saudara sekalian, kita harus bersungguh-sungguh menjaga pikiran kita. Jika tidak, kita mungkin akan seperti para bhiksu yang dibangunkan pada waktu yang salah sehingga merasa tidak senang. Kita hendaknya membimbing dan mengajari bhiksu baru itu dengan sabar agar dia menjadi lebih baik. Dengan demikian, barulah sebuah kelompok bisa maju.
Untuk melatih diri secara berkelompok, kita harus terlebih dahulu menaklukkan kebencian dan kemarahan. Jika bisa bersungguh hati memperbaiki tabiat buruk di masa lalu, saya yakin pelatihan diri kita akan mengalami kemajuan.
Selain mempelajari Dharma setiap hari, kita juga harus terjun ke tengah masyarakat, memaklumi orang-orang yang belum terbimbing, serta menoleransi dan memaafkan orang-orang yang masih memiliki tabiat buruk.
Janganlah kita membangkitkan kebencian dan kemarahan atau memperparah tabiat buruk kita karena orang lain. Jika tidak, diri sendirilah yang rugi.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina, (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Metta Wulandari