Master Bercerita: Gajah dan Pemburu
Saat hidup kita berakhir, kita tidak bisa membawa pergi apa pun. Baik yang melatih diri atau tidak, semuanya tidak lepas dari tua, sakit, dan mati. Orang yang tidak melatih diri terus menimbulkan noda batin dan mengakumulasi karma buruk. Akhirnya, mereka juga meninggal dunia dan lenyap dari dunia ini.
Pada zaman Buddha masih hidup, Buddha sering membabarkan hukum sebab akibat. Intinya, karma baik akan mendatangkan masa depan yang cerah dan karma buruk akan mendatangkan konsekuensi yang buruk pula.
Jadi, menciptakan karma baik akan memperoleh buah karma baik dan menciptakan karma buruk akan memperoleh buah karma buruk. Semua ini termasuk hukum sebab akibat. Jika kita membangkitkan noda dan kegelapan batin, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya. Namun, kita bisa menghapus kegelapan batin kita.
Buddha membabarkan Dharma untuk mengajari kita bagaimana menghapus noda dan kegelapan batin. Buddha menjelaskan bahwa yang dikejar orang-orang ialah ketenaran, keuntungan, kedudukan, kekayaan, kecantikan, dan sebagainya. Pada hakikatnya, semua itu adalah kosong. Pada akhirnya, tidak ada yang tersisa selain karma.
Kita mengakumulasi karma baik atau buruk? Jika kita terus mengakumulasi karma baik dan jalinan jodoh baik dari kehidupan ke kehidupan, kita akan memperoleh buah yang baik dan secara alami mencapai tataran makhluk suci.
Kita menapaki Jalan Bodhisatwa dan bersumbangsih tanpa pamrih. Meski harus bersusah payah, kita tetap melakukannya dengan sukarela dan penuh sukacita. Dengan kekuatan ikrar, kita bersumbangsih tanpa pamrih.
Pada zaman Buddha, ada sebuah kisah seperti ini.
Ada seorang wanita yang berkata pada suaminya, "Uang kita hampir habis. Engkau seharusnya memikirkan cara untuk mencari nafkah."
Sang istri menyarankan suaminya untuk berburu dan menyiapkan peralatan berburu untuknya. Dengan peralatan itu, dia pun pergi ke gunung.
Ada sekelompok gajah yang hidup tenang di gunung tersebut. Yang paling mereka takutkan ialah bertemu dengan pemburu. Pemburu akan membunuh mereka demi mendapatkan gading mereka.
Ada seekor gajah yang menyimpan gading ayah dan leluhurnya di suatu tempat. Suatu hari, dia melihat seseorang di hutan.
Gajah itu berpikir, "Daripada ketahuan olehnya, lebih baik aku yang menyapanya." Karena itu, dia mengeluarkan suara. Mendengar suaranya, pemburu pun datang.
Gajah itu berkata, "Jika aku memberimu gading, bisakah engkau berjanji untuk tidak datang ke sini lagi?"
Pemburu itu berkata, "Setelah menjual gading, aku bisa menikmati hidup. Untuk apa aku bersusah payah kembali ke pegunungan lagi?"
Gajah itu pun memberikan gading leluhurnya kepada pemburu itu. Pemburu itu menerima gading darinya dengan gembira dan membawanya ke pasar.
Lalu, dia memasuki sebuah kedai minuman. Pemilik kedai berpikir, "Aku hendaknya mengambil keuntungan dari orang ini."
Dia lalu melayani pemburu itu dengan ramah. Dia segera menyiapkan minuman keras dan makanan untuk pemburu itu.
Saat pemburu itu mabuk, pemilik kedai mengeluarkan selembar surat perjanjian dan berkata, "Aku beli gading ini darimu. Mari kita buat surat perjanjian yang berisi berapa lama dan berapa banyak minuman keras yang bisa engkau minum di sini."
Beberapa hari kemudian, dia pergi ke kedai itu untuk minum lagi, tetapi pemilik kedai berkata, "Engkau sudah menghabiskan jatahmu."
Dia berkata, "Bagaimana mungkin? Gading itu sangat berharga."
Pemilik kedai berkata, "Lihat, ini surat perjanjiannya dan terdapat cap jarimu di sini."
Pemburu itu tidak berdaya dan terpaksa kembali ke gunung.
Saat dia tiba di gunung dan bertemu dengan gajah itu, gajah itu berkata, "Bukankah engkau sudah membawa pulang gading?"
Pemburu itu berkata, "Ya, tetapi karena keteledoran sesaat, aku menghabiskannya untuk minuman keras. Aku tidak bisa menjelaskannya pada istriku." Jadi, gajah itu kembali memberikan gading ayahnya kepada pemburu itu.
Gajah itu berkata, "Aku berikan gading ini lagi. Engkau jangan kembali lagi."
Pemburu itu berkata, "Yang penting aku bisa mengabulkan permintaan istriku." Pemburu itu pun pulang.
Dalam perjalanan pulang, dia kembali melewati kedai minuman itu. Lalu, dia kembali ditipu oleh pemilik kedai karena mabuk.
Dia pun kembali lagi ke gunung dan melihat gajah itu sedang tidur. Dia langsung memanahnya dan mengenai keningnya. Gajah itu terbangun dan melihat bahwa pemburu itu datang lagi.
Gajah itu berkata, "Dengan tenagaku sekarang, aku masih bisa membunuhmu, tetapi aku tidak mau. Aku bisa mewujudkan harapanmu. Lekas ambil gadingku. Jika tidak, setelah kawananku datang, nyawamu akan melayang. Aku akan melindungimu dengan tubuhku." Jadi, gajah itu membiarkan pemburu mengambil gadingnya. Kemudian, pemburu itu pun pergi.
Usai menceritakan kisah ini, Buddha berkata, "Pemburu itu merupakan salah satu bhiksu jahat dalam Sangha. Dari kehidupan ke kehidupan, dia mengenakan jubah, tetapi menipu banyak orang. Gajah itu adalah Raja Bimbisara. Berhubung telah memupuk berkah dari kehidupan ke kehidupan, dia bisa menjadi seorang raja."
Kisah ini bukanlah kisah kehidupan lampau Buddha, melainkan kehidupan lampau Raja Bimbisara. Jadi, kita harus bersungguh hati.
Adakalanya, Buddha berbagi tentang kehidupan lampau murid-murid-Nya. Adakalanya, Buddha berbagi tentang kehidupan lampau Beliau.
Murid-murid Buddha mungkin memiliki tabiat buruk di kehidupan lampau. Umat perumah tangga juga mungkin menghimpun niat baik di kehidupan lampau. Inilah hukum sebab akibat yang ingin dijelaskan oleh Buddha.
Contohnya pemburu itu. Istrinya menyuruhnya mencari nafkah dan dia sungguh melakukannya. Namun, karena keteledoran dan ketamakan, dia berulang kali mengambil gading gajah hanya karena nafsu keinginannya untuk mengonsumsi minuman keras.
Demikianlah karma terakumulasi. Jadi, kita harus senantiasa waspada dan berpikir jernih.