Master Bercerita: Gangadatta Meninggalkan Keduniawian


Enam Paramita bisa dipraktikkan oleh semua orang, baik monastik maupun umat perumah tangga. Dalam mempraktikkan Enam Paramita, umat perumah tangga memiliki keleluasaan, sedangkan bagi monastik, itu sama dengan menunaikan kewajiban mereka. Inilah yang diajarkan oleh Buddha. Kita harus bersungguh-sungguh belajar untuk membina welas asih yang merasa sepenanggungan, memperlakukan semua orang seperti orang yang kita kasihi, dan tidak tega melihat mereka menderita.

Untuk itu, kita harus mengembangkan welas asih dan kebijaksanaan. Saya sering berkata bahwa untuk mengembangkan welas asih, kita harus terjun ke tengah masyarakat untuk bersumbangsih bagi orang-orang; kita harus memahami bagaimana noda dan kegelapan batin orang-orang terbangkitkan. Noda batin bisa membawa pada kesadaran. Bagaimana kita mengubah noda batin menjadi kesadaran?


Dengan memahami sumber noda batin, barulah kita bisa membimbing orang-orang mengubah noda batin menjadi kesadaran. Inilah cara kita menyempurnakan welas asih dan kebijaksanaan. Untuk itu, kita harus bersungguh hati. Dengan menghapus noda batin dan melatih diri di tengah masyarakat, kita dapat membina keluhuran yang murni dan membuat orang-orang yang melihat kita dipenuhi sukacita.

Dengan memupuk keluhuran dan mengikis kegelapan batin dari kehidupan ke kehidupan, kita akan memiliki keluhuran yang murni. Dengan demikian, secara alami orang yang melihat kita akan dipenuhi sukacita.  Dengan hati penuh sukacita, mereka pun bisa melepas noda batin. Dalam pelatihan diri kita, jika kita bisa membuat orang membangkitkan sukacita dan melepas kegelapan batin, bukankah ini merupakan berkah? Karena itu, kita harus sungguh-sungguh melatih diri.


Dalam Sutra Si Bijak dan Si Bodoh, terdapat sebuah kisah seperti ini. Seorang menteri yang tidak memiliki anak mendengar kabar bahwa seseorang bisa mendapatkan anak dengan memohon kepada dewa di tepi Sungai Gangga. Dia lalu pergi ke tepi Sungai Gangga dan berkata, "Jika bisa memperoleh anak, aku akan membuat rupang dewa dari emas. Jika tidak bisa memperoleh anak, aku akan menggunakan barang terkotor untuk menodai rupang dewa."

Dewa Sungai merasa takut dan segera melaporkannya kepada dewa-dewa lain. Salah satu dewa berkata, "Aku tak bisa membantu." Dewa lain berkata, "Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa." Mereka pun melaporkannya kepada Dewa Sakra, raja para dewa. Kebetulan, ada satu dewa yang sudah sekarat. Dewa Sakra berkata, "Berhubung waktumu telah tiba, engkau bisa terlahir kembali di keluarga menteri itu."


Dewa itu berkata, "Tidak. Biarkan aku terlahir kembali di keluarga biasa. Aku ingin menjadi seorang monastik." Dewa Sakra berkata, "Aku akan membantumu menjadi monastik." Jadi, mereka membuat perjanjian seperti ini. Dewa itu terlahir kembali di keluarga menteri itu. Menteri dipenuhi sukacita karena memperoleh anak. Seorang peramal menamai anak itu Gangadatta.

Saat berusia 20 tahun, Gangadatta sangat ingin meninggalkan keduniawian. Dia meminta restu kepada orang tuanya, tetapi mereka tidak setuju dan berharap dia dapat mewarisi usaha keluarga. Kemudian, dia meninggalkan rumah. Dia berpikir, "Jika tidak bisa meninggalkan keduniawian dengan restu orang tuaku, lebih baik aku mengakhiri hidupku." Dia terjun dari tebing gunung yang tinggi, tetapi mendarat di atas pohon yang rimbun sehingga dirinya tidak terluka sedikit pun. Dia melompat ke dalam air, tetapi setelah tenggelam, dia kembali terapung dengan selamat.


Dia lalu sengaja menyinggung raja dengan harapan dijatuhi hukuman mati. Saat selir-selir raja tengah mandi, dia menyusup ke halaman istana untuk mencuri pakaian yang mereka tanggalkan dan sengaja membiarkan dirinya terlihat. Pengawal lalu melaporkannya kepada Raja Ajatasatru. Raja pun memerintahkan orang untuk memanahnya. Namun, anak panah yang telah memelesat tiba-tiba berbalik arah. Raja terkejut dan segera memanggil anak muda ini kembali.

Raja bertanya, "Siapa engkau?" Dia berkata, "Aku adalah anak menteri. Aku hendak meninggalkan keduniawian, tetapi tidak direstui oleh ayahku. Jadi, aku ingin mati agar bisa terlahir kembali dan meninggalkan keduniawian." Mendengar ucapannya, raja berkata, "Aku akan mengabulkan keinginanmu."


Raja lalu membawanya ke hadapan Buddha dan Buddha mengizinkannya menjadi muridnya. Buddha lalu menceritakan sebuah kisah. Suatu ketika, seorang pemuda di luar istana mendengar nyanyian para dayang istana sehingga tidak bisa menahan diri untuk ikut bernyanyi dengan lantang. Mendengar suaranya, raja pun memerintahkan untuk menangkap dan memberinya hukuman mati.

Seorang menteri kebetulan datang dan bertanya kepada pengawal, "Apa kesalahannya?" Pengawal berkata, "Dia bernyanyi lantang di sini dan Yang Mulia menjatuhkan hukuman mati padanya." Menteri itu berkata, "Tunggu sebentar." Menteri lalu berkata kepada raja itu, "Jangan merenggut nyawanya karena kemarahan. Mohon Yang Mulia membebaskannya."


Raja mendengarkan nasihat menteri itu dan membebaskan pemuda itu. Demi membalas budi sang menteri, pemuda itu memohon untuk menjadi pelayannya. Setelah dilayani beberapa tahun dengan sepenuh hati, menteri itu bertanya pada pemuda itu, "Apakah engkau tidak punya keinginan?" Pemuda itu berkata, "Aku ingin melatih diri." Menteri itu berkata, "Baik, pergilah melatih diri." Pemuda itu lalu melatih diri di hutan.

Dua puluh tahun kemudian, dia mencapai tingkatan Pratyekabuddha dan kembali untuk berbagi dengan menteri itu. Menteri itu juga dipenuhi sukacita dan segera memberi persembahan padanya.

Menteri itu berpikir, "Mengalami fase lahir, tua, sakit, dan mati sungguh menderita. Jika aku tenggelam dalam kenikmatan duniawi, bagaimana kondisiku di kehidupan mendatang?" Jadi, dia berikrar untuk menjadi monastic dan memahami kebenaran sejati.


Bercerita sampai di sini, Buddha berkata kepada Raja Ajatasatru, "Tahukah engkau bahwa Gangadatta adalah Menteri yang menyelamatkan nyawa pemuda itu serta mendukungnya meninggalkan keduniawian? Dia juga berikrar untuk melatih diri dan meninggalkan keduniawian pada zaman Buddha. Dia berikrar untuk memutus siklus kelahiran kembali dan menjadi Buddha. Menteri itu adalah kehidupan lampau dari Gangadatta ini."

Kisah ini mengingatkan kita untuk menjalankan berbagai praktik Enam Paramita. Meski butuh waktu yang sangat lama dari kehidupan ke kehidupan, setelah membangun ikrar, kita hendaklah menjalankannya secara nyata. Dengan demikian, suatu hari nanti, kita pasti bisa mewujudkan ikrar dan dipenuhi berkah.


Dalam mempelajari ajaran Buddha, kita hendaklah memiliki keyakinan agung. Bagaimana kita menjaga hati kita agar tetap murni tanpa noda? Ini bergantung pada bagaimana kita memperlakukan orang lain dalam keseharian dan bagaimana kita menggunakan Dharma untuk membimbing orang-orang agar mereka merasakan sukacita dalam Dharma. Inilah kebahagiaan terbesar.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Heryanto (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah
Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -