Master Bercerita: Kerisauan si Miskin
Aktivitas sehari-hari kita berawal pada pagi hari. Saat saling bertemu, kita pun mengucapkan selamat pagi. Demikianlah awal hari setiap orang. Hidup aman dan tenteram adalah berkah. Ketenteraman adalah berkah terbesar. Tidak peduli kaya ataupun miskin, asalkan bisa hidup tenteram, itu adalah berkah. Jadi, saat ini, setiap orang hendaknya mewujudkan ketenteraman.
Selama lebih dari 50 tahun ini, Tzu Chi terus membimbing yang mampu untuk menolong yang kurang mampu. Yang dimaksud ialah kaya dan miskin secara materi. Orang yang memiliki materi berlimpah disebut orang kaya. Orang yang kekurangan materi, termasuk makanan, disebut orang miskin. Inilah kaya dan miskin secara materi.
Ada pula yang tidak berwujud atau tidak bisa dilihat. Orang yang kaya materi juga bisa miskin batin. Orang yang kekurangan materi hanya berharap dapat makan kenyang. Untuk mengenyangkan perut, mereka hanya butuh semangkuk atau dua mangkuk nasi. Namun, sangat sulit bagi orang yang kaya materi untuk mengenal rasa puas. Pikiran tidaklah berwujud dan ketamakan tidak berujung. Karena itulah, dibutuhkan ajaran Buddha untuk membimbing orang kaya agar mengenal rasa puas.
Dengan mengenal rasa puas, kita akan selalu merasa sukacita. Orang miskin juga harus mengenal rasa puas. Meski kekurangan, mereka tetap berpegang pada kebenaran dan menunaikan kewajiban mereka. Dapat bertahan hidup dengan kerja keras diri sendiri, mereka sudah merasa sangat puas dan bahagia setiap hari. Dahulu, bukankah juga ada kisah seperti ini?
Ada seorang pria miskin yang bekerja keras di siang hari. Dia menghidupi keluarganya dengan upahnya. Sepulangnya ke rumah, dia mandi dan bersalin pakaian. Melihat cuaca di luar sangat cerah, dia pun duduk di depan gubuknya dan mendongakkan kepala untuk melihat bintang dan bulan purnama. Dia memainkan huqin sambil bernyanyi dengan gembira.
Mendengar suara alat musik dan nyanyian yang merdu, seorang tuan tanah di desa itu pun keluar untuk melihatnya. Tuan tanah ini berpikir, "Dia begitu miskin, mengapa terlihat gembira setiap hari?" Tuan tanah ini lalu bertanya padanya, "Mengapa engkau begitu gembira?"
Pria ini menjawab, "Hari ini, keluargaku bisa makan kenyang. Aku merasa sangat tenang dan puas. Besok, aku juga masih memiliki pekerjaan. Karena itu, tentu aku merasa gembira sekarang." Mendengar jawabannya, tuan tanah ini berpikir, "Dia merasa gembira setiap hari. Bagaimana agar dia tidak bisa memainkan huqin lagi?"
Suatu hari, tuan tanah ini berkata padanya, "Engkau tidak perlu begitu bersusah payah dan mendambakan pekerjaan untuk esok hari. Aku akan memberimu sejumlah uang. Perbaikilah rumahmu dan pikirkanlah usaha apa yang akan engkau jalankan. Aku akan membantumu."
Setelah mendapatkan begitu banyak uang, dia pun memperbaiki rumahnya dari gubuk jerami menjadi rumah bata. Dia merasa sangat sukacita dan puas karena dapat menenangkan hati istri dan anaknya. Kehidupan mereka pun tak lagi kekurangan. Dia berpikir, "Uang bisa mendatangkan kebahagiaan. Mungkin aku harus menghasilkan lebih banyak uang."
Dia pun mulai memikirkan berbagai cara untuk menghasilkan lebih banyak uang. Dia mulai berdagang sehingga harus bersosialisasi dengan orang lain. Dengan demikian, barulah orang lain bersedia berdagang dengannya. Namun, perdagangan tidak selamanya menguntungkan. Segala sesuatu ada risikonya.
Seiring perkembangan usahanya, ketamakannya pun makin besar. Arus kas yang makin tinggi mendatangkan noda batin dan membuatnya melekat pada untung dan rugi. Saat untung, dia menginginkan keuntungan yang lebih besar. Saat rugi, dia dipenuhi kerisauan. Sebanyak apa pun uang yang dihasilkan, dia tetap tidak merasa puas. Jadi, meski memperoleh keuntungan, dia merasa tidak puas dan tidak merasa sukacita.
Saat mengalami sedikit kerugian, dia merasa khawatir setiap hari. Berapa besar kerugian yang ditimbulkan? Berapa besar keuntungan yang bisa diperoleh? Kemelekatan terhadap untung dan rugi sungguh mendatangkan penderitaan. Karena itulah, Tzu Chi terus mengimbau yang kaya untuk membantu yang kurang mampu.
Pada masa-masa awal, kita mengimbau orang-orang untuk menyisihkan 50 sen dari uang belanja setiap hari. Menyisihkan 50 sen dari uang belanja tidak akan mengurangi sayur di atas meja makan kita. Namun, akumulasi 50 sen dapat membawa manfaat besar. Keluarga yang memupuk kebajikan akan dipenuhi berkah. Kita memberi tahu orang-orang bahwa himpunan dana kecil dapat membentuk dana besar. Dengan dana tersebut, kita dapat menolong sesama. Sejak saat itulah, kita memulai praktik ini.
Orang yang dapat menolong sesama bukan hanya yang kaya akan materi, melainkan yang kaya akan cinta kasih. Mereka kaya lahir batin. Jadi, orang baik yang berbuat baik patut dikagumi dan dihormati. Melakukan kebajikan juga bermanfaat bagi diri sendiri. Melakukan kebajikan bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, melainkan juga bermanfaat bagi diri sendiri, yaitu dapat menyempurnakan berkah, keluhuran, dan jalinan jodoh baik diri sendiri.
Untuk mengembangkan berkah dan keluhuran, kita harus memulainya dengan menjalin jodoh baik. Kita harus menjalin jodoh baik secara luas, baru bisa menghimpun berkah dan keluhuran. Dengan adanya keluhuran dan berkah, secara alami kehidupan kita akan aman dan tenteram.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)