Master Bercerita: Ketamakan Devadatta

Di antara para murid Buddha, Devadatta adalah yang terpintar dan tercerdas. Akan tetapi, dia sering melakukan hal-hal yang bodoh. Sebagai anggota Sangha, jika dia dapat mengubah kecerdasannya menjadi kebijaksanaan, maka dia akan menjadi tetua yang sangat memiliki pencapaian dalam kalangan buddhis. Jika sebagai umat perumah tangga, dia dapat memanfaatkan kekuasaan dan kekayaannya untuk berdonasi bagi yang membutuhkan. Dia dapat melindungi Dharma.

Namun, dia memilih melepaskan status sosial dan meninggalkan keduniawian, tetapi malah enggan mengikuti bimbingan Buddha  dan enggan berbaur dengan Sabgha lainnya. Dia terus berpikir untuk membentuk kelompok Sangha sendiri. Dia meninggalkan kelompok Sangha dan memikirkan segala cara untuk memecah belah Sangha.

Ada Sangha yang berkata, "Setelah meninggalkan keduniawian, Devadatta kehilangan status sosial dan kekayaannya. Sebagai anggota Sangha, dia tidak mengikuti ajaran Buddha sehingga kehilangan tekad pelatihan diri. Ini bagaikan sepotong kayu yang terbakar di kedua sisinya. Akibatnya, sepotong kayu ini tak dapat digunakan untuk membuat sesuatu yang bermanfaat."

Setelah mendengarnya, Buddha menjawab,"Benar. Devadatta bagaikan sepotong kayu yang terbakar di kedua sisinya sehingga bagian tengahnya tidak dapat dipergunakan." Setiap orang bertanya, "Yang Dijunjung, apa jalinan jodoh yang dimiliki sehingga Devadatta kehilangan dua hal dalam kehidupan ini?" Buddha menjawab, "Aku akan menceritakan kebodohan yang dilakukan Devadatta pada kehidupan lalu akibat ketamakan." Buddha lalu mulai bercerita.


Ada sebuah desa nelayan. Warga di desa itu sangat polos dan jujur. Pencaharian utama mereka adalah bercocok tanam dan menangkap ikan. Suatu hari, ada seorang nelayan mengajak anaknya memancing di sebuah danau. Pria itu melempar kail ke dalam danau. Saat hendak menarik kembali, pancingnya terasa berat dan tidak dapat ditarik. Dia berasumsi bahwa dia mungkin mendapat ikan besar.

Saat itu, dia berpikir, "Jika orang-orang melihat saya mendapat ikan besar, mereka pasti akan mendekat dan ikut memancing di sini. Jika demikian, ikan-ikan di sini akan cepat habis dipancing orang. Saya tidak dapat memancing di sini lagi."


Dia lalu berkata kepada anaknya, "Saya akan memancing ikan besar. Kamu pulang dan katakana pada ibumu bahwa ayah akan segera mendapat ikan besar. Ayah khawatir orang lain melihatnya dan akan memancing di kolam ini. Kamu pulang dan katakan pada ibumu untuk menarik perhatian orang-orang dengan cara bertengkar dengan orang. Dengan begitu, orang lain tidak akan melihat ikan pancingan saya ini."

Anaknya pulang ke rumah untuk menyampaikan perkataan sang ayah. Sang ibu menyetujuinya dan memikirkan cara untuk bertengkar dengan orang. Dia lalu memetik daun dan mengikatnya pada rambutnya. Kemudian, dia mengotori wajahnya hingga berwarna hitam. Setelah itu, dia pergi mengetuk pintu setiap rumah. Ada orang yang tidak peduli padanya karena tidak tahu apa maksudnya. Banyak orang yang mengabaikannya.


Ibu ini merasa sangat kecewa karena tidak ada orang yang memedulikannya. Dia lalu bertemu dengan seorang teman baiknya. Teman baiknya itu bertanya, "Apakah kamu sudah gila?" Mengambil kesempatan ini, dia lalu menarik wanita itu sambil berkata, "Saya tidak gila. Mengapa kamu mengatakan saya gila? Saya tidak akan membiarkanmu. Saya akan membawamu ke tempat kepala desa. Saya ingin kamu didenda uang karena telah merusak nama baikku." Mereka saling bertarik-tarikan di sana. Kemudian, mereka pergi bertemu kepala desa.

Mendengar ucapan mereka, seluruh warga desa merasa bahwa ibu tersebut sudah gila. Kepala desa melihatnya dengan saksama dan berkata, "Jika saya adalah temanmu, saya juga akan bertanya apakah kamu sudah gila. Kamu-lah yang harus didenda karena telah membuat kekacauan." Setelah anaknya pergi, pria itu berpikir, "Ikan ini begitu besar. Jika ditarik secara paksa, mungkin pancingnya akan putus. Jika ikannya lepas, saya akan rugi."


Dia lalu melepas bajunya dan melompat ke dalam danau. Ternyata, kail pancing itu tersangkut pada sebuah ranting pohon. Saat dia berusaha melepaskan kail pancing, matanya tertusuk oleh ranting pohon. Kemudian, kail pancing menusuk sebelah matanya yang lain. Kedua matanya sangat kesakitan. Dia segera keluar dari danau. Kedua matanya tidak dapat dibuka sehingga dia hanya dapat meraba-raba. Dia merasa sangat kedinginan di sana. Dia berusaha mencari bajunya, tetapi bajunya telah dicuri orang. Dia berada di sana tanpa pakaian dan matanya kesakitan. Dia bergumul dan kesakitan di sana.

Bercerita sampai di sini, Buddha berkata, "Tahukah kalian? Akibat ketamakan sesaat, nelayan itu  mengalami kerugian di kedua sisi. Selain kehilangan baju, matanya juga terluka akibat ranting pohon dan kail pancing. Istrinya juga membuat onar di desa sehingga didenda oleh kepala desa. Dia mengalami kerugian di dua sisi. Pada salah satu kehidupan lalu, Devadatta  adalah seorang nelayan yang bodoh. Ketamakan mengakibatkan dirinya mengalami kerugian di kedua sisi. Begitu pula dengan Devadatta di kehidupan sekarang. Dia memiliki keinginan besar untuk menjadi pemimpin. Dia menjadi Sangha dan kehilangan kenikmatan duniawinya. Namun, sebagai seorang Sangha, dia juga kehilangan tekad pelatihan diri. Dia kehilangan keduanya."


Ketamakan dan tabiat buruk ada di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kehidupan sehari-hari, jika kita dapat memiliki arah yang tepat dan menjaga pikiran dengan baik, maka kita akan menanam benih baik dan menjalin jalinan jodoh baik.
Melatih diri adalah membina karakter serta memperbaiki perilaku.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -