Master Bercerita: Kondisi Batin yang Hening


Saat pikiran kita tenang, kita dapat merasakan dunia luar dengan jelas, kondisi batin kita pun menjadi sangat luas dan bagai menyatu dengan bumi, pohon, burung, dan serangga. Suasana pada pagi hari bagaikan awal dari sebuah kehidupan. Saat duduk bermeditasi, saya yakin ada banyak orang yang batinnya berada dalam kondisi seperti ini, dapat mendengar kicauan burung dan dengungan serangga. Ada pula orang yang melupakan kondisi sekitarnya dan berfokus menghitung napas mereka.

Mereka mengamati setiap embusan dan tarikan napas atau mendengarkan suara napas diri sendiri. Bahkan, lebih dalam lagi, mereka mungkin berfokus pada pergerakan lambung, limpa, dan usus mereka. Jika dapat menyatukan kesadaran dan napas kita, kita dapat sepenuhnya menyatukan makrokosmos dan mikrokosmos. Inilah kondisi yang hening dan jernih.


Tidak terganggu oleh segala sesuatu di dalam batin kita dan dunia luar, inilah yang disebut hening dan jernih. Kita juga akan memiliki tekad yang teguh. Saat terjun ke tengah masyarakat, kita dapat mempertahankan kondisi batin kita dan tidak terganggu oleh kekacauan, orang, hal, dan materi apa pun. Dalam kehidupan sehari-hari, keheningan dan kejernihan ini tetap terjaga. Demikianlah pelatihan diri.

Suatu ketika, Buddha memimpin para murid-Nya ke sebuah desa. Cuaca amatlah panas. Saat melihat sebatang pohon besar dengan sebuah sungai di depannya, Buddha berkata kepada para murid-Nya, "Mari kita beristirahat di sini." Begitu duduk, Buddha langsung memasuki samadhi.


Kebetulan, di sisi lain sungai itu, ada rombongan karavan yang menyeberangi sungai. Air sungai pun menjadi keruh. Pada saat itu juga, Buddha keluar dari samadhi dan berkata kepada Ananda, "Aku haus. Ambilkanlah air untuk-Ku." Ananda berkata, "Tadi ada karavan yang lewat sehingga seluruh air sungai menjadi keruh. Kini, airnya tidak bisa diminum."

Buddha kembali berkata, "Aku sungguh sangat haus. Ambilkanlah air untuk-Ku." Ananda kembali memeriksa kondisi air sungai dan berkata kepada Buddha, "Airnya masih sangat keruh. Aku mendengar bahwa di depan masih ada sungai lain. Airnya mungkin lebih jernih."


Saat itu, seorang pedagang dalam kereta terakhir dari karavan itu melihat mereka dari kejauhan. Hatinya dipenuhi rasa sukacita sehingga tidak bisa menahan diri untuk menghampiri Buddha dan kebetulan mendengar percakapan antara Buddha dan Ananda. Dengan tulus dan penuh hormat, dia bersujud dan berkata, "Yang Dijunjung, apakah karavan kami mengganggu meditasi-Mu?" Buddha berkata, "Aku tidak mendengarnya."

Pedagang ini kembali bertanya, "Apakah Yang Dijunjung tertidur?" Buddha berkata, "Aku tidak tertidur." Pedagang ini berkata, "Bagaimana bisa? Suara yang ditimbulkan kereta karavan kami sangatlah besar." Dengan suara yang lembut, Buddha berkata, "Aku telah memasuki samadhi." Sang pedagang sangat tercengang mendengarnya. Kondisi batin Buddha yang hening dan tidak terganggu oleh kondisi luar membangkitkan rasa hormat dan kagumnya.


Dia lalu berkata kepada Buddha, "Aku masih ingat ketika berdagang, aku melihat seorang brahmana yang duduk bermeditasi di bawah pohon. Saat karavan berlalu, brahmana itu bergeming. Aku juga bertanya padanya apakah dia tidak terganggu oleh kebisingan yang ditimbulkan oleh karavan dan jawabannya persis dengan jawaban Yang Dijunjung tadi. Saat itu, aku sangat kagum padanya, menyatakan berguru padanya, serta berikrar untuk melindungi Dharma dan mendalami prinsip kebenaran seumur hidup. Hari ini, melihat keagungan penampilan dan keheningan kondisi batin Yang Dijunjung, aku sangat tercengang."

Buddha lalu bertanya padanya, "Suara lima ratus kereta dan suara petir, manakah yang lebih keras?" Pedagang ini berkata, "Tentu saja suara petir."


Buddha berkata, "Suatu ketika, Aku duduk bermeditasi di dalam sebuah gubuk jerami di sebuah desa. Ada dua kakak beradik dan empat ekor lembu yang tengah bekerja di sawah. Tiba-tiba, sambaran kilat dan petir menewaskan empat ekor lembu dan dua kakak beradik itu. Seluruh warga desa pergi untuk melihat kejadian itu. Saat itu, Aku berjalan keluar dari gubuk jerami dan menanyakan apa yang terjadi. Ada orang yang bertanya apakah Aku tertidur. Aku berkata bahwa Aku tidak tertidur. Dia kembali bertanya apakah Aku tidak tahu ada sambaran petir yang telah menewaskan empat ekor lembu dan dua kakak beradik. Aku berkata bahwa Aku tidak tahu."

Buddha menceritakan hal ini kepada sang pedagang dan berkata, "Suara petir yang begitu keras saja tidak terdengar saat Aku berada dalam samadhi, apalagi hanya suara lima ratus kereta yang berlalu. Suara seperti ini bukanlah apa-apa." Pedagang ini sangat tersentuh. Kondisi batin seperti ini sungguh tidak terbayangkan dan membuat orang kagum. Karena itu, pedagang ini segera kembali ke keretanya dan mengambil sehelai jubah sebagai persembahan.


Kisah ini memberi tahu kita bahwa melatih diri bukan sekadar duduk diam seperti yang dibayangkan oleh makhluk awam. Sesungguhnya, seberapa heningkah kondisi batin para praktisi? Bisakah kita menyatu dengan kondisi luar tanpa sengaja mengusahakannya? Bisakah kita mencapai kondisi seperti ini? Jika bisa, itu sudah sangat baik.

Kita mempelajari ajaran Buddha untuk membuat batin kita menjadi hening. Kita tidak mendengar suara dari dunia luar bukan karena kita tertidur. Bukan demikian. Saat duduk bermeditasi di bawah pohon, Buddha tidak mendengar suara 500 kereta yang berlalu. Kondisi yang hening, jernih, luas dan luhur inilah yang dicari oleh kita para praktisi.

Membicarakannya saja mendatangkan rasa sukacita, apalagi benar-benar mencapai kondisi demikian. Rasa sukacita seperti ini tidak bisa dideskripsikan oleh makhluk awam seperti kita. Karena itu, hendaklah kita tetap bersungguh hati dan tekun melatih diri.

Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)
Hadiah paling berharga di dunia yang fana ini adalah memaafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -