Master Bercerita: Lima Indra Tidak Sempurna
Apakah setiap niat yang kita bangkitkan adalah niat bajik yang dapat memberi manfaat bagi umat manusia? Kita harus sangat bersungguh hati mempertahankan niat baik untuk memberi manfaat bagi semua umat manusia ini.
Jika niat ini tidak dijaga dengan baik, maka ia akan berjalan menyimpang sehingga timbullah ketamakan atau niat buruk. Jika demikian, maka pikiran kita akan tercemar. Pencemaran ini bagaikan racun. Ia dapat menyebar dan bertambah tanpa henti. Karena itu, kita harus mempertahankan niat baik untuk berbuat kebajikan dan memberi manfaat bagi umat manusia ini.
Kita juga harus mematahkan niat buruk agar pikiran kita dapat senantiasa cemerlang. Jika pikiran kacau sedikit saja, maka kita tak dapat membedakan yang baik dan benar. Jika demikian, maka tanpa disadari, niat buruk akan memenuhi pikiran kita. Niat buruk dapat membuat kita berjalan menyimpang.
Di dalam Sutra tentang Si Bijak dan Si Bodoh, ada sebuah kisah seperti ini. Ada sepasang kakak adik. Si adik adalah seorang pedagang sukses, sedangkan si kakak adalah seorang notaris yang sangat dipercaya oleh kalangan pejabat dan rakyat. Suatu hari, ada seorang pria ingin turun ke dasar laut untuk mencari permata. Untuk itu, dia membutuhkan banyak awak kapal dan sebuah kapal komersial.
Karena kekurangan dana, dia lalu meminjam uang dari adik notaris. "Karena tidak tahu kapan kamu kembali, saya pinjamkan uang atas nama anak saya. Kamu dapat mengembalikannya kepada anak saya." Sang kakak yang berprofesi sebagai notaris berkata, "Tidak masalah. Saya sangat adil dalam menyelesaikan masalah. Saya dapat menjadi penjamin untuk anakmu."
Karena itu, si adik merasa tenang untuk meminjamkan banyak uang kepada pria tersebut. Saat dia berlayar, tiba-tiba terjadi angin ribut dan turun hujan lebat yang memorak-porandakan kapal itu. Akhirnya, kapal itu tenggelam. Hanya pria itu yang selamat. Dia pulang dengan tangan kosong, apa yang harus dilakukan?
Dia berpikir untuk memulai dari awal. Dia tidak berani meminjam uang lagi dari adik notaris. Dia meminjam uang dari keluarga dan teman-temannya. Dia kembali pergi berlayar. Kali itu, dia membawa pulang banyak harta karun dan memperoleh keuntungan. Bertahun-tahun berlalu, si adik pun meninggal dunia. Anaknya juga sudah bertumbuh dewasa.
Suatu hari, dengan sangat sombong, pria yang berutang itu melintas di depan rumah adik notaris. Anak muda itu segera keluar menyapanya dan bertanya, "Apakah kamu datang untuk membayar utang?" Pria itu menjawab, "Saya tidak berutang padamu." "Ada. Dahulu kamu meminjam uang dari ayah saya."
Menyadari bahwa harus membayar utang, pria itu lalu menyiapkan sebutir mutiara. Setelah itu, dia pergi mencari istri notaris. "Mohon Nyonya membantu saya membujuknya agar saya tidak perlu membayar utang ini." Sang istri menjawab, "Tidak mungkin. Mana mungkin saya meminta suami saya melakukan hal yang melanggar hati nurani?"
Pria itu pun mengeluarkan sebutir mutiara yang lain. Sang istri pun tergoyah dan menyimpan kedua mutiara itu. Dia lalu memberi tahu hal ini kepada suaminya. "Tidak mungkin. Utang harus dibayar. Ini sudah seharusnya. Bagaimana mungkin saya melanggar prinsip ini?"
"Saya sudah menerima mutiara dari orang. Jika kamu tidak setuju, maka saya akan dianggap tidak bisa dipercaya. Saya akan menggunakan nyawa saya untuk membayar utang. Jika kamu enggan setuju, maka saya terpaksa mengakhiri hidup saya." Sang kakak sangat serba salah. Akhirnya, dia mengabaikan hati nuraninya.
Suatu kali, pria yang berutang ini kembali melintas di depan rumah si adik. Anak muda menghampirinya dan bertanya, "Apakah kamu datang untuk membayar utang?" "Saya tidak berutang padamu." "Ada. “Jika penjamin mengatakan saya pernah meminjam uang darimu, maka saya akan membayarnya."
Mereka pun pergi mencari si notaris. Pamannya bertanya kepada keponakannya, "Ada hal seperti ini? Saya sudah lupa." "Paman, mengapa Anda menjadi pikun sekarang?" Pamannya sangat marah. "Kamu adalah ponakan saya. Mana boleh kamu berbicara seperti itu kepada orang yang lebih tua?" Si paman pun mengusirnya.
Mengapa Buddha menceritakan kisah ini? Sesungguhnya, ada sebuah kisah lain. Pada zaman Buddha hidup, ada seorang tetua yang memiliki lima anak perempuan. Beliau tidak memiliki anak laki-laki. Saat itu, ada sebuah kebijakan negara berbunyi, "Tak peduli seberapa kaya dirimu, jika tak memiliki anak laki-laki, maka kelak semua hartamu akan menjadi aset negara."
Sebelum tetua ini meninggal, istrinya sedang mengandung. Tetua ini memberi tahu anak perempuannya, "Kamu mohonlah kepada raja untuk menunggu hingga ibumu melahirkan baru mengambil keputusan." Beberapa bulan kemudian, sang istri melahirkan seorang bayi laki-laki. Namun, bayi tersebut tidak memiliki anggota gerak, tidak memiliki lidah, tidak memiliki mata, dan tidak memiliki telinga. Banyak orang membicarakannya.
Anak perempuannya sangat pintar. Dia berkata, "Meski terlahir tidak sempurna, tetapi dia tetaplah bayi laki-laki." Raja pun menyetujuinya. Setelah hal ini terselesaikan, anak perempuan ini menceritakannya kepada suaminya. Suaminya pun bertanya-tanya jalinan jodoh seperti apa ini.
Dia pun bertanya kepada Buddha. Buddha menceritakan kisah yang saya ceritakan tadi. Karena itu, kita harus tekun dan bersemangat serta dapat membedakan yang benar dan salah. Dalam mengambil sebuah keputusan, pikiran kita harus sangat tajam. Selain itu, kita juga harus bijak dalam mengambil keputusan. Ini sangat penting.
Membedakan yang benar dan salah sangatlah penting. Banyak orang di zaman sekarang yang sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal yang mereka dengar sehingga tidak dapat membedakan yang benar dan salah. Karena itu, kini kita harus segera berbagi ajaran Buddha dengan orang-orang. Jika membiarkan pikiran tercemar, maka kelak kehidupan kita akan penuh penderitaan.