Master Bercerita: Melepaskan Ikatan Keluarga
Kondisi batin dan kondisi luar harus selaras. Kondisi fisik dan kondisi alam saja perlu dijaga keselarasannya, apalagi kondisi batin kita. Jadi, kondisi batin dan kondisi luar dalam keseharian kita juga harus selaras. Jika tidak, batin kita akan jatuh sakit. Karena itu, kita harus senantiasa mawas diri. Sebelumnya, kita membahas penderitaan akibat lahir, tua, sakit, dan mati. Kini, kita akan membahas penderitaan yang berkaitan dengan batin, salah satunya ialah penderitaan akibat berpisah dari yang dikasihi.
Makhluk awam memiliki cinta di dalam hati. Cinta ini adalah cinta yang penuh kemelekatan. Cinta yang melekat membuat orang sangat menderita. Yang kita bahas sekarang adalah perasaan cinta antarmanusia. Jadi, berpisah atau tidak bisa bersama dengan orang yang dicintai disebut penderitaan akibat berpisah dari yang dikasihi. Dengan adanya cinta yang melekat, perpisahan sungguh membawa penderitaan besar.
Ada orang yang melekat pada jalinan perasaan. Ada berbagai jenis jalinan perasaan, seperti jalinan perasaan dengan keluarga, teman, dan pasangan. Namun, jika ada kemelekatan, jalinan kasih sayang seperti apa pun akan membuat kita diliputi delusi dan kerisauan sehingga kehidupan sehari-hari kita menjadi tidak selaras. Ini mendatangkan penderitaan tak terkira. Inilah penderitaan akibat berpisah dari yang dikasihi. Tidak bisa bersama dengan yang dikasihi sungguh mendatangkan penderitaan tak terkira.
Ada sebuah kisah tentang jalinan kasih sayang keluarga.
Ada seorang umat Buddha yang sangat taat. Dia hanya memiliki seorang putra tunggal. Hubungan dia dan anaknya sangatlah baik. Adakalanya, sang putra pergi bersama ibunya untuk mendengar Dharma. Suatu hari, sang ibu mengalami suatu penglihatan. Ada setan yang menarik putranya. Dia sangat panik dan berteriak, "Aku adalah murid Buddha. Aku berpegang pada ajaran Buddha. Engkau tidak boleh membawa pergi putraku."
Raja setan berkata, "Putramu memiliki kekuatan karmanya sendiri."
Sang ibu berkata, "Mohon jangan membawa pergi putraku. Aku akan menaati sila sesuai ajaran Buddha."
Raja setan berkata, "Engkau yang begitu taat pada ajaran Buddha adalah orang yang memiliki keyakinan benar. Kini, aku akan melepaskan putramu. Namun, ini hanya sementara, kecuali dia menjadi murid Buddha dan menaati sila."
Sang ibu tiba-tiba tersadarkan. Jadi, dia menasihati putranya untuk meninggalkan keduniawian. Putranya berkata, "Meninggalkan keduniawian juga baik. Kehidupan tidaklah kekal. Aku tidak mungkin bersama Ibu selamanya. Di dunia ini, tidak ada pesta yang tidak bubar."
Jadi, dia menuruti nasihat ibunya dan menjadi murid Buddha. Namun, dia tidak dapat menenangkan pikirannya. Di dalam hatinya hanya ada ibunya. Jadi, dia terus merindukan keluarganya. Jalinan kasih sayang antara ibu dan anak sulit dilepas.
Suatu hari, dia meninggalkan Sangha dan pulang ke rumah. Melihat putranya yang telah meninggalkan keduniawian pulang ke rumah, sang ibu sangat khawatir. Begitu putranya mendekat, dia langsung menegurnya, "Tidak mudah engkau bisa meninggalkan keduniawian. Ini bukanlah hal yang mudah. Bagaikan sebuah rumah yang tengah terbakar, engkau telah bersusah payah menyelamatkan barang dari rumah itu. Mengapa malah masuk ke dalam rumah itu lagi? Kehidupan tidaklah kekal. Yang penting ialah menaati sila dan menjalankan ajaran. Memiliki jalinan jodoh untuk hidup sezaman dengan Buddha dan menerima ajaran Buddha secara langsung, mengapa engkau malah pulang ke rumah?"
Sang ibu mengajari putranya dengan bijaksana. Putranya berkata, "Aku khawatir pada Ibu. Usia Ibu terus bertambah dari tahun ke tahun. Aku khawatir tidak bisa menemui Ibu saat Ibu meninggal dunia. Karena itu, aku segera pulang untuk menemui Ibu. Mengapa Ibu tidak senang?"
Sang ibu berkata, "Engkau telah meninggalkan keduniawian. Setelah meninggalkan keduniawian, engkau hendaknya melepaskan ikatan keluarga. Setiap orang memiliki jalan kehidupan masing-masing. Engkau masih muda sekarang. Sulit untuk mendengar ajaran Buddha dan hidup sezaman dengan Buddha. Berhubung telah memiliki jalinan jodoh sebaik ini, engkau hendaknya menjaga tekad pelatihanmu. Setelah meninggalkan keduniawian, lepaskanlah ikatan keluarga dan berfokuslah menjalankan ajaran."
Bhiksu ini akhirnya memahami niat baik ibunya. Dia tahu bahwa untuk melepas dirinya, ibunya pun sangat sedih. Dia memahami bahwa ada waktunya orang-orang harus berpisah satu sama lain. Dia membulatkan tekad untuk kembali ke dalam Sangha dan berfokus mendengar Dharma, menjalankan praktik nyata, dan menyelami kebenaran.
Ini adalah sebuah kisah pada zaman Buddha tentang seorang upasika, umat perumah tangga perempuan, yang memiliki keyakinan benar setelah menerima ajaran Buddha. Sesungguhnya, selain pada zaman itu, pada zaman sekarang juga ada kisah seperti ini. Saat mendengar anak ingin meninggalkan keduniawian, ada sebagian orang tua yang sangat sukacita dan memberikan dukungan.
Di Griya Jing Si terdapat banyak contoh seperti ini. Saat putri mereka ingin meninggalkan keduniawian, saya berkata, "Apakah kalian rela melepasnya?" Mereka berkata, "Ini adalah berkahnya. Meninggalkan keduniawian adalah jalan terbaik. Bagaimanapun, kehidupan penuh dengan penderitaan."
Saya berkata, "Dia harus menyesuaikan diri di Griya Jing Si dua tahun. Apakah kalian tahu?" Mereka berkata, "Tahu, ini untuk melatihnya agar tekad pelatihannya teguh."
Saya berkata, "Dua tahun kemudian, jika anak kalian memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, apakah kalian benar-benar setuju?" Mereka berkata, "Kami telah lama menantikan hari ini."
Mereka mendukung pelatihan diri anak dengan sukacita. Namun, apakah anak mereka memiliki kesadaran untuk melatih diri dan bersedia melatih diri di ladang pelatihan ini dengan segenap jiwa dan raga?
Saat kondisi jiwa dan raga selaras dengan kondisi luar, hati mereka akan sangat tenang. Dengan hati yang tenang, barulah mereka bisa merampungkan pelatihan diri mereka. Mempelajari ajaran Buddha bergantung pada pikiran. Untuk itu, kondisi batin harus selaras.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, (DAAI TV Indonesia)